TRIBUNJAMBI.COM, JAMBI - Adi mengeluarkan setumpuk kertas dari dalam ranselnya. Satu per satu kertas itu kemudian ia bagikan kepada sejumlah pedagang di Pasar Talang Banjar, Kota Jambi, Kamis (23/1). Kertas yang dibagikannya adalah brosur. Ada logo dan nama BPR tempatnya bekerja di brosur itu.
Ia mengatakan kegiatan yang sedang dilakukannya biasa disebut canvasing atau nganvas. Ini dilakukan sebagai upaya mencari orang yang mau mengajukan kredit. Upaya seperti ini kata dia, masih efektif dilakukan di pasar tradisional. Ada saja yang menghubunginya usai nganvas.
Adi mengatakan yang banyak menghubunginya hingga akhirnya menjadi debitur adalah para pedagang. Dilihat dari sisi usia, ucapnya, umumnya sudah di atas 40 tahun. “Konsumen kami memang untuk sekarang banyak dari pedagang dan sudah tidak muda lagi,” ungkapnya.
Sementara debitur dari kalangan pekerja kantoran dan profesional serta pegawai negeri, kata dia, tergolong jumlahnya sedikit.
“Ada tapi tidak banyak. Mereka lebih memilih di bank umum. Apalagi BPR Jambi belum ada yang punya ATM. Mereka paling deposito,” terangnya.
Ia menyebut strategi pemasaran yang mereka lakukan masih konvensional, seperti canvasing ini. Penggunaan teknologi, ucapnya, masih sangat minim. Teknologi dalam pemasaran masih seputar penampilan informasi di website.
PH Manik, Ketua Perbarindo Jambi menyebut hingga kini kinerjanya masih bagus. Namun melihat tantangan ke depan, memang diperlukan adanya kolaborasi antar BPR agar semakin kuat dari permodalan dan juga terjadi efisiensi. Namun, ucapnya, merealisasikannya masih sulit, termasuk di Jambi.
Persoalan utamanya terletak pada owner BPR tersebut. Keengganan melakukan kolaborasi itu karena ada prestise tersendiri bagi owner bila memiliki bank. Akan beda bila akhirnya menjadi pemilik sebagian saham.
“Walau hasil deviden bisa jadi lebih besar saat kolaborasi,” ujarnya.
Hingga saat ini, ucapnya, belum ada mendengar rencana BPR melakukan kolaborasi. Hal itu juga bukan kewajiban, sehingga kolaborasi untuk penguatasn BPR ini hanya sebatas imbauan.
“Ibaratnya kan tidak bisa kawin paksa. OJK juga tidak mungkin memaksakan. Paling melalui regulasi seperti syarat permodalan itu saja yang diatur, bagi yang tidak memenuhi bisa lakukan merger. Tapi bank tentu tidak bisa begitu saja dipaksa kawin,” ucapnya. (ang)