Citizen Journalism

AZA, Teman dan Sahabat Tionghoa Sejak 1950-an, Para Tukang yang Sukses Jadi Pengusaha

Editor: Duanto AS
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Antony Zeidra Abidin (AZA)

Saya kenal sewaktu dalam perjalanan saya naik kapal laut dari Jambi ke Jakarta tahun 1967.

Dia tahu saya pertama kali ke Jakarta, kemudian mengantarkan saya ke rumah kakak saya di Kebon Sirih yang berjarak hanya beberapa puluh meter dari rumah bapak angkatnya itu.

Yasin, sahabat saya itu, kini menetap di Jambi sebagai pengusaha cukup sukses.

Di kesempatan lainnya pada tahun 90an, dalam perjalanan ke Eropa, saya juga mengenal seorang tua yang juga bernama Yasin.

Nama yang sangat religius dan banyak dibaca pada acara “Yasinan” pada acara-acara tertentu, terutama saat ada yang meninggal.

Tetapi Tionghoa tua asal Palembang ini, bukanlah seorang muslim.

Tionghoa lainnya yang dulunya biasa dipanggil Abi, ketika ganti nama pada awal Orde Baru, memilih nama ayah saya: Abidin. Sesuatu yang biasa di beberapa daerah Sumatera.

Selama lebih dari setengah abad saya tinggal di Jakarta, teman dan sahabat Tionghoa saya sangat banyak.

Tetangga saya, di sebelah dan di depan rumah saya sejak dulu selalu ada warga Tionghoanya.

Bahkan teman sekamar saya di asrama UI Daksinapati adalah seorang Tionghoa asal Surabaya yang berkarier sebagai diplomat dan pernah menjadi duta besar di beberapa negara.

Di perusahaan penerbitan saya, saya biasa mempekerjakan bidang marketing orang Tionghoa.

Di salah satu perusahaan yang saya dirikan tahun 1994, komisaris utamanya Ir Ciputra yang sampai beliau wafat Desember sebulan lalu, almarhum tetap tercatat sebagai preskomnya.

Sebagai anggota dan pengurus DPP Real Estat Indonesia, saya bergaul akrab dengan sejumlah pengusaha Tionghoa.

Beberapa di antaranya juga pernah aktif dan menjadi anggota DPR-RI dari Fraksi Partai Golkar. Antara lain Enggartiarso Lukita.

Minggu lalu saya bertemu Budiarsa, menantu Pak Ciputra, di rumah duka tempat ayahnya di semayamkan.

Halaman
1234

Berita Terkini