Anggotanya dihimpun dari Grup 4 di Cijantung. Jadi, baik Nanggala 1, 2 maupun 3 telah beroperasi di Timtim sejak sebelum dimulainya Operasi Seroja yang merupakan operasi militer terbuka.
Grup 1 dibawah pimpinan Letkol Inf Soegito, yang melaksanakan serbuan linud di Dili 7 Desember 1975.
Sedangkan Grup 1 dipimpin Mayor Inf Kuntara, Wakil Komandan Grup 1 yang melakukan kegiatan intelijen dari perbatasan Timtim sejak September 1975, adalah Nanggala 5.
Nanggala 6 Grup 2 dari Magelang, bertugas melakukan pembersihan di sekitar Dili.
Nanggala 7 dioperasikan di Kalimantan Barat, semntara Nanggala 8 diterjunkan di Suai tanggal 4 Februari 1976.
Jika Nanggala 10 sampai 13 dioperasikan di Timtim, Nanggala 9, 14 dan 20 dioperasikan di Irian Jaya.
Mayor Inf Sofian Effendi memimpin Nanggala 16 di Aceh yang kemudian disusul Nanggala 27 dipimpin Kapten Inf Sutiyoso.
Salah satu peran penting Nanggala 28 pimpinan adalah mengoordinasikan pasukan yang beroperasi di Maubessie Kecil, Sektor Tengah.
Dalam penyergapannya, Nanggala 28 berhasil menewaskan Nikolau Lobato, Presiden Republik Demokrasi Timor Leste pada tanggal 30 Desember 1978.
Sehubungan pengejaran Nikolau Lobato, sebelumnya telah dibentuk batalion Parikesit yang merupakan batalion gabungan.
Anggotanya terdiri dari satu kompi Para Komando TNI AD, satu kompi Marinir TNI AL dan satu kompi Komando Pasukan Gerak Tjepat TNI AU.
Seluruhnya menggunakan senapan AK-47.
Tujuan pembentukan batalion untuk melancarkan operasi mobil udara di Sektor Tengah guna menutup kemungkinan Lobato lolos dari pengepungan.
Untuk memantapkan integrasi antar ketiga angkatan, mereka melakukan latihan bersama selama satu minggu di Batujajar, Bandung.
Batalion Parikesit tiba di Laklobar dan Soibada sebagai pangkal tolak operasi mobil udara pada 14 Desember.
Operasi mobil udara menggunakan dua helikopter SA-330 Puma TNI AU dengan daya angkut 19 pasukan dan tiga awak pesawat.