Ingatan saya kemudian membawa saya kembali ke tahun 1999 di mana Paulus yang baru lulus SMA, sampai datang mengejar saya yang waktu itu sedang bertugas menjadi Duta Besar RI di Singapura.
Dia memohon-mohon supaya diperbolehkan masuk Akademi Militer. Tapi saya berkata tidak.
Saya tahu bahwa saya sangat keras menentang kemauannya sampai dia menangis pada ibunya. Tapi saya tetap bersikukuh supaya Paulus menjadi sarjana saja.
Di balik itu sikap tegas itu sebenarnya saya menyimpan rasa sedih yang mendalam untuk anak saya.
“Kau masuk tentara mau diapain kau nanti?” gumam saya dalam hati karena sudah cukup saya mengalami rona-rona kehidupan di sana, bahwa seberapa keraspun dulu bekerja, seberapa hebatnya pun prestasi, saya tidak pernah mencapai puncak karir di lingkungan TNI. Tidak pernah jadi Kasdam, Pangdam atau Danjen Kopassus.
Sebagai seorang ayah saya tidak mau melihat dia nanti mengalami kesusahan yang pernah saya alami sebagai tentara.
Maka kemudian saya berpikir, menjadi pengusaha atau politisi adalah jalan yang lebih baik untuk Paulus.
Akhirnya Paulus mendaftar di UPH (Universitas Pelita Harapan) dan lulus 4 tahun kemudian sebagai sarjana hukum.
Menjelang wisuda, Paulus meminta waktu bicara dengan saya. Saya pikir mau apa lagi dia? Minta kawin atau apa? Tiba-tiba dia kembali meminta izin saya untuk diperbolehkan masuk tentara.
Kali itu saya bilang bahwa sudah terlambat baginya untuk masuk Akmil karena bakal tertinggal 4 tahun di belakang teman-teman seangkatannya.
“Pokoknya saya masuk tentara, masuk Kopassus, karena itu cita-cita saya,” jawabnya bersikukuh sembari menekankan kalaupun dia tidak mungkin masuk lewat jalur Akmil, Jalur Sepa PK (Sekolah Perwira Prajurit Karier) pun tidak masalah.
Jalur yang saya sebenarnya tidak rela untuk dia lalui.
Akhirnya dengan berat hati saya kirim dia ke Kepala Dinas Psikologi Angkatan Darat Pak Mayjen Dr. Heriyono untuk menjalani psikotes. Hasilnya, Paulus dinilai mumpuni baik secara kepribadian maupun intelektual.
Sesuai dengan janji saya pada Paulus, maka saya mengijinkan dia masuk tentara karena lolos psikotes. Berbagai tes kemudian dia jalani termasuk ujian Komando.
Dia kemudian tetap bertekun, lulus, dan semua proses dijalani dengan normal tanpa campur tangan ayahnya. Setelah menjadi prajurit komando diapun memilih untuk tinggal di barak di Cijantung dibandingkan bersama dengan orangtuanya lagi.