Bayi Elang Jawa Ditemukan di Taman Nasional Gunung Gede Pangrango, Kelahiran Garuda Disambut Gembira

Editor: bandot
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Elang Jawa di Taman Nasional Gede Pangrango

Bayi Elang Jawa Ditemukan di Taman Nasional Gunung Gede Pangrango, Kelahiran Garuda Disambut Gembira  

TRIBUNJAMBI.COM - Ditemukannya bayi Elang Jawa di Taman Nasional Gunung Gede Pangrango (TNGGP) menjadi kabar gembira untuk konservasi atau perlindungan satwa langka tersebut.

Baru-baru ini pihak TNGGP menemukan sarang burung Elang Jawa yang terdapat anakan burung langka tersebut. 

Meski memiliki status sebagai lambang negara Indonesia, status burung garuda justru semakin mengkawatirkan.

Populasi burung yang secara umum dikenal sebagai elang jawa (Nisaetus bartelsi) tersebut terus menurun bahkan dianggap pada risiko tinggi untuk alami kepunahan.

Data dari Taman Safari Indonesia per 29 Maret 2019 menunjukkan bahwa populasi elang jawa kini tinggal 300 sampai 500 ekor saja.

Pengembangbiakan pun pada akhirnya menjadi perhatian utama dari burung yang dikenal sebagai penguasa langit jawa tersebut.

Tak ayal, ketika akun resmi Taman Nasional Gunung Gede Pangrango merilis sebuah video kelahiran elang jawa, banyak yang menyambut gembira.

Baca: VIDEO Semburan Lumpur di Blora Setinggi Belasan Meter, Disebut-sebut Mirip Lapindo

Baca: Fakta Karni Ilyas Mendadak Umumkan Cuti dan ILC Sementara Tak Tayang Usai Pilpres 2019

Baca: Sudah 90 Petugas KPPS Meninggal Saat Bertugas, Jokowi Anggap Pejuang Demokrasi, Jusuf Kalla Serukan

Kawasan Taman Nasional Gunung Gede Pangrango (TNGGP) sendiri memang masih menjadi ‘ rumah’ nyaman bagi elang jawa.

Elang Jawa merupakan satu diantara satwa endemik Jawa kebanggaan Indonesia yang diidentikkan dengan lambang Negara Indonesia, Burung Garuda.

Hal ini dibuktikan dengan ditemukannya sarang baru burung pemangsa yang berstatus terancam punah dan paling dilindungi di dalam kawasan TNGGP tersebut. 

KOMPAS/FERGANATA INDRA RIATMOKO
Seekor Elang Jawa (Nisaetus bartelsi) yang telah dipasangi wing marker (penanda sayap), banding (cincin bernomor seri), dan microchip, terbang meninggalkan kandang aklimatisasinya di Dusun Turgo, Desa Purwobinangun, Pakem, Sleman, DI Yogyakarta, Selasa (26/2/2013). Pelepasliaran tersebut ditujukan untuk menambah populasi sekaligus menjaga kelestarian Elang Jawa di kawasan Taman Nasional Gunung Merapi tersebut.

Tim monitoring elang jawa TNGGP, yang terdiri atas Fungsional Pengendali Ekosistem Hutan, Fungsional Polisi Hutan, Fungsional Penyuluh Kehutanan dan masyarakat mitra Polhut dapat mengabadikan induk elang bersama anaknya, yang tengah bercengkrama di dalam sarang tersebut.

Umur anak elang sendiri diperkirakan baru 1 sampai 2 minggu.

“Lokasi sarangnya di dalam kawasan konservasi. Namun, posisi tepatnya tidak bisa kami sebutkan soalnya khawatir diburu oleh pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab, terlebih elang jawa ini bernilai ekonomis yang sangat tinggi,” kata Humas Balai Besar TNGGP, Ade Bagja Hidayat, saat dihubungi Kompas.com, Senin (22/4/2019).

Ade mengatakan, keberadaan satwa paling dilindungi itu pertama kali terpantau tim monitoring elang jawa pada 13 April 2019, lalu terpantau lagi pada 18 April 2019.

“Namun, tim tidak bisa terlalu sering memantau kondisi sarang barunya dari jarak dekat karena khawatir mengganggu aktivitas mereka,” sebut Ade.

Ade mengatakan, penemuan sarang baru elang jawa ini merupakan hal yang menggembirakan, mengingat " burung garuda" ini dikategorikan ke dalam salah satu daftar satwa prioritas TNGGP untuk ditingkatkan jumlah populasinya dari tahun 2015 hingga 2019.

Selain itu, keberadaannya juga merupakan salah satu indikator kesehatan ekosistem, sehingga mengindikasikan kawasan konservasi TNGGP masih terjaga.

“Top predator ini sangat peka terhadap kerusakan lingkungan. Karena itu, apabila masih mampu melahirkan anaknya, berarti TNGGP jadi rumah nyaman bagi elang jawa untuk berkembang biak,” tutur dia.

repro bidik layar akun Instagram @tn_gedepangrango
Induk elang bersama anaknya, yang tengah bercengkrama di dalam sarang di TNGGP.

Keberadaan elang jawa bersama jenis satwa dilindungi lainnya merupakan nilai penting mengapa kawasan Gede Pangrango perlu tetap dipertahankan sebagai hutan konservasi.

“Oleh karena itu, perlu peran serta semua pihak untuk tetap menjaga kelestarian kawasan konservasi TNGGP ini agar menjadi rumah nyaman elang jawa dan tentunya jenis satwa yang dilindungi lainnya,” ujar dia. (Firman Taufiqurrahman)

Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul "Gede Pangrango Jadi Rumah Nyaman "Burung Garuda""

Fakta Tentang Elang Jawa

Melansir Wikipedia Sebaran Elang Jawa ini terbatas di Pulau Jawa, dari ujung barat (Taman Nasional Ujung Kulon) hingga ujung timur di Semenanjung Blambangan Purwo.

Namun penyebarannya kini terbatas di wilayah-wilayah dengan hutan primer dan di daerah perbukitan berhutan pada peralihan dataran rendah dengan pegunungan.

Sebagian besar ditemukan di separuh belahan selatan Pulau Jawa.

Agaknya burung ini hidup berspesialisasi pada wilayah berlereng.

Elang jawa menyukai ekosistem hutan hujan tropika yang selalu hijau, di dataran rendah maupun pada tempat-tempat yang lebih tinggi.

Mulai dari wilayah dekat pantai seperti di Ujung Kulon dan Meru Betiri, sampai ke hutan-hutan pegunungan bawah dan atas hingga ketinggian 2.200 m dan kadang-kadang 3.000 mdpl.

Baca: Bukan Prabowo, Ini Sosok yang Bakal Jemput Rizieq Shihab Agar Bisa Lebaran di Indonesia: Saya Harus

Baca: KPU Dituding Curang di Pilpres 2019, Mahfud MD Sindir: Tunggu 22 Mei Akan Ketahuan Siapa yang Curang

Baca: Syahrini Ditantang Tiru Luna Maya Pamer Wajah Tanpa Make Up, Begini Reaksi Istri Reino Barack

Pada umumnya tempat tinggal elang jawa sukar untuk dicapai, meski tidak selalu jauh dari lokasi aktivitas manusia.

Agaknya burung ini sangat tergantung pada keberadaan hutan primer sebagai tempat hidupnya.

Walaupun ditemukan elang yang menggunakan hutan sekunder sebagai tempat berburu dan bersarang, akan tetapi letaknya berdekatan dengan hutan primer yang luas.

Burung pemangsa ini berburu dari tempat bertenggernya di pohon-pohon tinggi dalam hutan.

Dengan sigap dan tangkas menyergap aneka mangsanya yang berada di dahan pohon maupun yang di atas tanah, seperti pelbagai jenis reptil, burung-burung sejenis walik, punai, dan bahkan ayam kampung. Juga mamalia berukuran kecil sampai sedang seperti tupai dan bajing, kalong, musang, sampai dengan anak monyet.

Masa bertelur tercatat mulai bulan Januari hingga Juni.

Sarang berupa tumpukan ranting-ranting berdaun yang disusun tinggi, dibuat di cabang pohon setinggi 20-30 di atas tanah. Telur berjumlah satu butir, yang dierami selama kurang-lebih 47 hari.

Pohon sarang merupakan jenis-jenis pohon hutan yang tinggi, seperti rasamala (Altingia excelsa), pasang (Lithocarpus sundaicus), tusam (Pinus merkusii), puspa (Schima wallichii), dan ki sireum (Eugenia clavimyrtus).

Tidak selalu jauh berada di dalam hutan, ada pula sarang-sarang yang ditemukan hanya sejarak 200–300 m dari tempat rekreasi.

Berita Terkini