Tiba-tiba Sintong melihat jika magazin tempat peluru yang jatuh berada di antara warga suku.
Peluru itu sedang ditendang-tendang oleh seorang pemuda yang merasa bingung dengan benda asing itu.
Di luar dugaan pemuda itu mengambil magazin dan memberikannya kepada Sintong.
Ahai, itu pertanda bahwa warga suku itu ingin bersahabat.
Sintong akhirnya membiarkan saja ketika sejumlah warga suku menyentuhnya.
Mereka memeganginya, untuk memastikan bahwa "manusia burung" yang jatuh dari langit itu masih hidup dan merupakan manusia seperti mereka.
Meski diliputi perasaan was-was dan awalnya merasa akan diserang dan `dimakan' semua tim ekspedisi ternyata diperlakukan secara bersahabat.
Lebih dari itu, mereka akhirnya bisa berinteraksi secara normal dengan suku terasing itu.
Sebagai suku terasing dan menggunakan bahasa yang saat itu tidak bisa dipahami, semua anggota tim ekspedisi pun harus belajar keras memahami bahasa setempat dengan cara mencatatnya.
Seperti diduga, meski bukan merupakan suku kanibal, suku terasing di Lembah X masih sangat terbelakang.
Mereka sama sekali belum mengenal korek api, cermin, pisau, pakaian, apalagi kamera televisi yang bisa merekam mereka.
Warga suku Lembah X juga masih lari tunggang langgang setiap ada pesawat lewat atau sedang melaksanakan dropping logistik karena mengira sebagai burung raksasa yang akan menyambarnya.
Semua warga suku juga takut air dan tidak pernah mandi dan untuk minum mereka mengandalkan tanaman tebu liar.
Kebiasaan memakan tebu itu secara tidak sengaja sekaligus berfungsi sebagai sikat gigi sehingga semua warga suku giginya tampak putih bersih.
Meski sempat mengalami musibah ketika sejumlah perahu karet yang ditumpanginya terbalik di jeram dan tim NBC kehilangan rekaman film yang sangat berharga, semua tim ekspedisi bisa pulang selamat pada akhir Desember 1969.