Lengser dari Kursi Presiden, Pengawal Soeharto Ungkap Watak dan Sifat Asli The Similing General

Editor: Suci Rahayu PK
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Presiden kedua Indonesia, Soeharto

Usai dilengserkan oleh gerakan mahasis, tak banyak yang tahu kabar Mantan presiden Soeharto. Sang pengawal ungkap sifat dan watak aslinya

TRIBUNJAMBI.COM - Lengser menjadi presiden pada 21 Mei 1998 tak banyak orang yang tahu apa yang dilakukan Soeharto setelah tak lagi jadi Presiden.

Soeharto menjabat Presiden RI selama 32 tahun.

Masa yang lama bagi seorang Presiden untuk berkuasa.

Baca: Tak Lagi Menjabat dan Dijauhi, Watak Asli Soeharto Terlihat, Bikin Kaget Pengawal yang Menjaganya

Baca: Fakta Terbaru Pasca Tsunami Banten - Kekurangan Kantong Jenazah & Nasib 12 Nelayan Belum Ditemukan

Baca: Video Deddy Corbuzier Bicara soal Habib Bahar Bin Smith yang Terjerat Kasus Penganiayaan Anak

Saat tengah memimpin tak ada yang berani menentang Soeharto.

Sosoknya yang bertangan dingin membuat dirinya sangat ditakuti.

Namun krisis moneter pada tahun 1998 dan demonstrasi mahasiswa serta rakyat di berbagai wilayah Indonesia menuntut Soeharto mundur, membuat "the smilling General" memilih mengundurkan diri.

Setelah "lengser", tak banyak yang mengetahui kehidupan kesehariannya.

Presiden Soeharto. Gambar diambil pada 15 Januari 1998. (KOMPAS/JB SURATNO)

Soeharto dilengserkan melalui gerakan mahasiswa pada 1998, setelah 32 tahun berkuasa.

Peristiwa itu puncaknya pada 23 Mei 1998, setelah desakan mahasiswa dari penjuru Tanah Air.

Meski lengser, Soeharto masih mendapat pengawalan khusus dari militer.

Cerita sosok 'The Smiling General', sebutan orang Barat untuk presiden ke-2 RI itu karena raut mukanya yang selalu tersenyum, disampaikan oleh Maliki Mift.

Maliki Mift menyimpan kenangan berarti selama mendampingi Soeharto, setelah lengser pada 1998.

Baca: Ucapan Selamat Natal Dalam Berbagai Bahasa di Dunia, Bisa Untuk Update Status di Medsos dan WhatsApp

Baca: 7 Lagu Natal Terbaru 2018 - Mulai Sia hingga John Legend

Dia diperintahkan Kepala Staf Angkatan Darat kala itu menjadi pengawal khusus Soeharto.

Dianggap Lancang Gebrak Meja di Depan Soeharto, Begini Nasib Sang Jenderal Selanjutnya ()

Kesan tersebut ditulisnya dalam salah satu bab di buku berjudul Soeharto: The Untold Stories (2011).

Pak Harto, begitu Maliki menyebut Soeharto, kerap mendapat pandangan miring selama memimpin Indonesia.

Namun, dia mendapati sisi lain Soeharto yang jarang terekspose, yakni kesederhanaan.

Satu di antaranya soal pengawalan.

Soeharto sangat anti dikawal setelah tak lagi menjadi presiden.

Padahal, hak mendapat pengawalan dari polisi masih melekat kepada mantan presiden.

Baca: Update Tsunami Banten & Lampung - 373 Meninggal Dunia, 1.459 Luka-luka, 128 Hilang & 5.665 Mengungsi

Baca: Perjuangan Nelayan Rajabasa yang Sudah Digulung Ombak di Dekat Anak Krakatau, Saksikan Rekan Hilang

"Tetapi, begitu satgas polisi datang dan mengawal di depan mobil kami, Pak Harto mengatakan, 'Saya tidak usah dikawal. Saya sekarang masyarakat biasa. Jadi, kasih tahu polisinya'," tulis Maliki dalam buku tersebut, menirukan ucapan Soeharto waktu itu.

Maliki mencoba memahami keinginan Soeharto, tetapi ia tetap merasa pengawalan sangat penting.

Soeharto saat pembacakan surat pengunduran diri di Istana Merdeka, Jakarta, 21 Mei 1998. (Wikimedia/Creative Commons)

Dia memutar otak mencari cara agar Soeharto tetap dikawal, tetapi tanpa terlihat.

Akhirnya, Maliki meminta polisi mengawal di belakang saja, bukan di depan untuk membuka jalan.

Jika jalanan macet, barulah petugas pengawal maju ke depan.

"Namun, tetap saja Pak Harto mengetahui siasat itu. Beliau pun bertanya, 'Itu polisi kenapa ikut di belakang? Tidak usah'," kata Maliki.

Presiden Soeharto saat mengumumkan pengunduran diri di Istana Merdeka, Jakarta, 21 Mei 1998. (WIkimedia/Creative Commons)

Hari berikutnya, ide baru melintas di benak Maliki.

Ia meminta pihak kepolisian agar tidak lagi mengawal mobil Soeharto.

Sebagai gantinya, ia akan berkoordinasi dengan petugas lewat radio.

Jadi, setiap kali mobil Soeharto melewati lampu lalu lintas, petugas harus memastikan lampu hijau menyala.

Kalau lampunya merah, harus berubah menjadi hijau.

Baca: Buka MTQ ke-16, Bupati Masnah Busro Janji Umrohkan Peraih Juara MTQ

Akhirnya, hari itu, Soeharto berangkat tanpa pengawalan polisi.

Setiap kali melewati lampu lalu lintas di persimpangan, lampu hijau selalu menyala agar mobilnya tidak berhenti menunggu rambu berganti.

Namun, lagi-lagi Soeharto mengendus keanehan.

Ia mempertanyakan mengapa setiap persimpangan yang ia lewati tidak pernah ada lampu merah.

Ia pun menegur Maliki agar jangan memberi tahu polisi untuk mengatur lalu lintas.

"Sudah, saya rakyat biasa. Kalau lampu merah, ya, biar merah saja," ujar Pak Harto sebagaimana ditulis Maliki.

Maliki, saat itu, hanya terdiam dengan perasaan malu.

Soeharto dan Bu Tien (Instagram @cendana.archives)

Kesederhanaan Soeharto, menurut Maliki, juga terlihat dari cara berpakaian.

Sewaktu awal-awal menjadi pengawal khusus Soeharto, Maliki berpikir bahwa ia harus punya baju bagus untuk mendampingi Soeharto, paling tidak batik berbahan sutra.

Di hari pertama bertugas, Maliki mengenakan pakaian terbaiknya untuk mendampingi Soeharto keluar rumah.

Namun, apa yang dikenakan Soeharto sama sekali berbeda dengan bayangannya.

Soeharto hanya mengenakan baju batik sederhana yang biasa dia pakai sehari-hari di rumah.

"Diam-diam saya langsung balik ke kamar ajudan untuk mengganti batik sutra yang saya kenakan dengan batik yang sederhana pula," kata Maliki.

Artikel ini sudah tayang di kompas.com dengan judul "Cerita Paspampres Soeharto dan Lampu Hijau yang Tak Pernah 'Merah'"

Berita Terkini