Kisah Nyata - Usai Ijab Kabul, Pria Ini Umumkan Wanita yang Dinikahinya Positif HIV/Aids

Editor: Suci Rahayu PK
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Gejala yang paling umum dari infeksi HIV adalah demam, ruam dan sakit tenggorokan.

Kisah Nyata - Usai Ijab Kabul, Pria Ini Umumkan Wanita yang Dinikahinya Positif HIV/Aids

TRIBUNJAMBI.COM, SEMARANG - Mati! ‎Maut bakal menjemput, ajal segera datang.

Hanya itu yang ada di bayangan‎ Anik (nama samaran) seorang wanita yang divonis dokter mengidap HIV/AIDS.

Baca: Duar, Duar, Duar Petugas Bunyikan Meriam untuk Usir Harimau dari Kebun di Dusun Tuo

Dia kaget campur syok seusai menjalani voluntary counselling and testing (VCT) di sebuah fasilitas kesehatan (faskes) di Semarang.

Unik masih ingat betul, tanggal di mana ia dinyatakan positif terinveksi human immunodeficiency virus/acquired immune deficiency syndrome (HIV/AIDS).

"Tanggal 12 Desember 2012, usai VCT saya dinyata‎kan positif. Waktu serasa berhenti, yang ada di bayangan saya waktu itu hanya mati, ajal bakal segera menjemput," cerita Anik (39) kepada Tribun Jateng (Group Tribunjambi.com).

‎Dituturkan, sebelum dinyatakan positif HIV/AIDS ia awalnya didiagnosa menderita tuberculosis (TBC). Ia didera batuk yang tak kunjung sembuh, bahkan disertai diare juga.

"Batuk tak kunjung sembuh, dua minggu sekali ke dokter, masuk rumah sakit juga. Sama teman-teman, kemudian saya didorong untuk VCT," kata guru honorer di SD negeri di Kota Semarang ini.

Diakui, sebagai seorang guru dan ibu rumah tangga (IRT) yang tak pernah melakukan pola hidup menyimpang, ia sama sekali tak menduga bakal terinveksi HIV/AIDS.

Satu-satunya potensi ia tertular adalah dari suami pertamanya, yang meninggal dunia pada Agustus 2008 silam.

Dituturkan, sebelum meninggal, suaminya sering keluar masuk rumah‎ sakit. Kala itu, sang suami didiagnosa menderita sakit paru-paru. Pada kurun waktu 2006-2007, sang suami sering opname di sebuah rumah sakit swasta di Semarang.

Namun, saat seiring sakit‎ yang bertambah parah, sang suami minta dirawat di rumah sakit pemerintah di Klaten, agar dekat dengan keluarga. Ini lantaran, ia dan sang suami memang berasal dari Klaten.

Saat perawatan di Klaten, selain didiagnosa sakit para-paru, sang suami juga didiagnosa terserang kondiloma.

Namun, hingga akhirnya meninggal, tak ada yang mendiagnosa bahwa sang suami terinveksi HIV/AIDS, lantaran memang tak pernah ada yang mendorong untuk VCT.

"Dulu almarhum suami kerja ‎di Cilegon, sering dapat job keluar kota juga," ujar ibu satu putri ini.

Sampai jelang ajal menjemput, sang saumi tak pernah bercerita bahwa dia berperilaku menyimpang atau sering melakukan hubungan seksual tak aman.

"Wong namanya istri yang baik, saya sepenuhnya percaya kepada suami. Sama sekali tak menyangka ternyata saya terinveksi darinya," tutur perempuan itu.

‎Diceritakan lebih lanjut, usai divonis positif HIV/AIDS, secara psikologis ia benar-benar drop, hancur. Selama seminggu, ia hanya bisa meratapi nasibnya.

Selain ajal, ia juga selalu terbayang bagaimana nasib dan masa depan anak semata wayangnya.

‎"Yang pertama kali tahu saya positif adalah ibu, karena waktu pas VCT, dokter minta ada keluarga, hendak diberi pengertian," ucapnya.

Selanjutnya, ia mulai berani memberi tahu sahabatnya sesama guru ‎di sekolah tempatnya mengajar. "Saya diam, mengurung diri, ternyata tak menyelesaikan masalah," sambung dia.

Tak lama kemudian, pada Januari 2013 kondisi kesehatan Anik semakin drop, didera TBC dan penyakit ikutan lainnya. Ia pun harus ‎menjalani perawatan di RS Kariadi.

"Saat itu, teman-teman dari sekolah datang, memberi support dan mendukung saya," ucapnya.

Anik beruntung. Keluarga dan orang-orang di sekitarnya selalu memberi dukungan dan support, tak ada perlakuan diskriminatif yang ia terima dari lingkungan sekitar. Sehingga menguatkan semangat dan ia kembali bergairah menjalani hidup.

‎"Ketakutan berlebihan akan kematian segera yang menghampiri, pelan-pelan terkikis. Selain dukungan keluarga dan teman-teman, bayang-bayang anak yang selalu ada di depan peulupuk mata yang turut menguatkan saya," tutur anak kedua dari empat bersaudara itu.

Baca: Dari Manakah Virus HIV Berasal? Kenapa Sangat Mengerikan?

Menikah dengan Ahmadi

Semangat hidup Anik makin bangkit saat bertemu pria bernama Ahmadi.

Ia mendapat dukungan ‎spesial dari Ahmadi (44) lelaki asal Mranggen, Demak. Ahmadi memantapkan hati mempersunting Anik di saat perempuan tersebut berada di titik nadir kehidupan.

Keduanya pun melangsungkan akad pernikahan di Klaten, tempat asal Anik, meski baru sekitar satu bulan berkenalan.

"Saya kenal lewat seorang teman. Saya tahu kondisi Anik, saya menikahinya dengan penuh kesadaran," tutur Ahmadi.

Sesaat setelah akad nikah, masih belum beranjak seusai mengucap ijab-kabul, Ahmadi langsung mengumumkan bahwa Anik positif terinveksi HIV/AIDS.

Sebuah langkah, yang diakui, bisa jadi mengherankan dan mengagetkan bagi sebagian besar orang.

"Usai akah nikah, saat itu juga saya umumkan kondisi Anik sebenarnya. Kami tidak malu untuk terbuka, mengakui kondisi sebenarnya," tutur Ahmadi kepada Tribun Jateng.

‎Dikatakan, tak bisa dipungkiri kala itu bila mendengar HIV/AIDS, yang terlintas adalah kematian.

Menurut dia, waktu itu virus ini sebagai momok yang sangat menakutkan bagi banyak orang.

"Dalam bayang orang pasti terlintas kematian, saat mendengar HIV/AIDS. Bagi saya orang sehat saja‎ pasti mati, apalagi yang sakit. Karena itu, tinggal bagaimana ikhtiar orangnya," ucap pria yang juga terapis kesehatan alternatif ini.

Diakui Ahmadi, Anik juga bagian dari eksperimen keyakinannya, bahwa semua sakit ada 'obat'nya.

Karena itu, selain menganjurkan Anik rutin meminum obat antiretroviral (ARV) tiap hari, ‎ia juga selalu memberi dorongan dan nasihat-nasihat spiritual, untuk menyembuhkan istrinya dari dalam.

"Saya ajak ngaji juga, semakin mendekat kepada-Nya. Usai menikahi Anik tekad saya ingin mementahkan pendapat orang, stigma bahwa orang dengan HIV/AIDS (ODHA) selalu negatif dan menjijikkan, semakin kuat.

Saya kampanyekan, jauhi penyakitnya bukan orangnya. Buktinya, saya yang beristrikan ODHA sampai sekarang masih sehat dan steril, tidak tertular," tandas Ahmadi.

‎Ia kembali menegaskan, ku‎nci agar orang dapat menerima bahwa ia mengidap HIV/AIDS, dan bertahan hidup selayaknya orang normal adalah kasih sayang dan dukungan dari lingkungan terdekat.

"Tanpa itu, ODHA akan semakin drop, dan penyakit ikutan akan semakin mudah menyerang, hingga akhirnya tak tertolong," tegasnya.

‎Kini, sambung Ahmadi, ia dan istrinya seringkali memberi semangat dan dorongan kepada para penderita HIV/AIDS untuk tetap semangat dan tak patah arang.

"Dalam pandangan saya, jarang yang memasuki mereka melalui jalan spiritual, itu yang sedang kami dorong dan upayakan," imbuhnya.

Bertekad Tidak Menulari Orang Lain

Terpisah, ‎ODHA lainnya, Puta (38), menuturkan kisahnya. Sekitar 2006, ia menderita sakit, yang didiagnosa sebagai tipes.

Selanjutnya, pada 2007, usai mengalami sesak nafas ia juga didiagnosa menderita TBC.

"Sebulan tak sembuh, malah semakin parah. Berat badan turun drastis. Bahkan, saat itu keluarga sudah dikumpulkan, mungkin mau pesan rumah masa depan (kuburan, red)," kelakar pria asal Salatiga ini.

‎Namun, menurut dia, dikumpulkannya anggota keluarga ini memberi hikmah. Dari sana, dokter mengobrol dan mengorek perilaku Puta, sejak jauh sebelum ia sakit.

Dari sana, muncullah kecurigaan dokter jika Puta terinveksi HIV/AIDS.

"Saat keluarga dikumpulkan itu, dokter mendapat cerita bahwa saya dulu adalah pengguna narkoba suntik‎. Dokter pun meminta keluarga untuk melakukan tes terhadap saya," ujarnya.

Diakui lebih lanjut‎, medio 1980 - 1990-an, ia sekeluarga tinggal di Jakarta.

Pada sekitar 1995 ia mulai berkenalan dengan narkoba, dan secara berkala menyuntikkan obat haram itu ke dalam tubuhnya.

Selanjutnya, sampel darah Puta kemudian diambil dan dibawa ke RS Kariadi.

Hasilnya, Puta memang dinyatakan positif terinveksi HIV/AIDS, bahkan sudah stadium empat.

Puta pun kemudian dirawat selama sekitar tiga bulan di RS Kariadi.

Usai menjalani perawatan, Puta belum tahu bila ia mengidap HIV/AIDS. Saat di rumah, keluara juga sama sekali‎ tak singgung hal itu.

"Namun, saya agak aneh, karena usai saya sakit di rumah banyak buku-buku soal HIV/AIDS. Pernah juga ada orang datang mengantar buku-buku soal itu. Begitulah, cara keluarga memberi tahu saya, tidak diberitahu langsung," ujarnya.

Kendati demikian, Puta sangat shock begitu menyadari ia menderita HIV/AIDS. Ia sempat benar-benar menutup‎ diri selama sebulan, tak keluar rumah.

Beruntung, keluarga terus memberi dukungan.

Selain itu, ia kemudian bergiat dalam kelompok dukungan sebaya (KDS), wadah sesama ODHA untuk saling memberi dukungan.

Dari kegiatan itu, Puta pun mendapat tambatan hati kepada seorang wanita yang sekarang m‎enjadi istrinya.

"Kami menikah pada 2010. Kita sama-sama positif, dan aktif di kegiatan," ujarnya.

Kendati didapati fakta bahwa ODHA dapat kembali ke kehidupan normal, Puta prihatin terkadang masyarakat masih ‎berperilaku diskriminatif.

Menurut dia, ini lantaran mitos bahwa berdekat-dekatan ODHA dapat secara mudah tertular HIV/AIDS.

"Kegiatan sosialisasi perlu lebih diintensifkan, agar tak ada persepsi yang salah," kata Puta.

Ditegaskan, ia dan sesama ODHA lain di lingkarannya punya komitmen, tak menu‎larkan virus ini kepada siapapun. Karena itu, mereka sangat berhati-hati, terhadap hal-hal yang berpotensi menularkan virus ini.

"Perilaku benar-benar kita jaga. Kita juga ingatkan, agar berpola hidup sehat, jangan sampai virus ini tertular kepada yang lain," tandasnya. (Tribun Jateng/tim)

Berita Terkini