Hal itu dilakukan oleh Presiden Soekarno dengan harapan dapat membangun kembali ekonomi Indonesia melalui jalan kapitalis-liberal.
Tak pelak hal itu pun menimbulkan reaksi dari golongan kiri PKI yang kemudian menyerang program berbau kapitalis-liberal berhaluan IMF dan kreditur barat itu.
Baca: Satgas TMMD ke-103 Beri Penyuluhan Wasbang Nasionalisme dan Patriotisme Menjaga Keutuhan NKRI
Baca: Hati-hati, Ketika Orangtua Selingkuh di Depan Anak, Ada 7 Hal yang Mereka Rasakan
Protes pun dilakukan dan segera bergabung dalam satu suara Front Nasional, Nahdlatul Ulama, Partai Katolik, Partai Nasional Indonesia, dan kelompok-kelompok mahasiswa.
Bereaksi terhadap protes, pada 7 September 1963 presiden Soekarno akhirnya setuju untuk mengoreksi program bersama dengan IMF tersebut.
Namun, tahun 1963 tersebut juga sekaligus menjadi tahun yang menegangkan antara Indonesia dengan Barat (AS dan Inggris).
Hal itu karena Inggris telah mengakui kemerdekaan Malaysia dan Soekarno menganggap tindakan itu dapat mengganggu kestabilan Asia Tenggara.
Indonesia kemudian berbalik arah dan mulai menjalin hubungan dengan China.
Tak tanggung-tanggung, Soekarno juga membentuk poros Jakarta-Peking-Phom Penh-Pyongyang, aliansi yang kemudian mengkampanyekan "Ganyang Malaysia."
Atas tingkah Indonesia tersebut, AS mulai menuntut agar Indonesia mengakhiri konfrontasi dengan Malaysia.
Baca: Denmark Open 2018, Minions Berhasil Melaju ke Final Usai Tumbangkan Rekan Senegara
Baca: Detik-detik Ahmad Dhani Ngamuk & Tunjuk-tunjuk Pengamat Hukum Hingga Tinggalkan Program Televisi ini
AS menggunakan tuntutan itu sebagai syarat agar pinjaman IMF berikutnya yang telah disetujui sebelumnya dapat cair.
Namun, dengan gagah berani Soekarno berkata "go to hell with your aid" kepada AS melalui pidato 17 Agustus 1965 dan mengakhiri kerjasama dengan IMF (termasuk dengan Bank Dunia).
Indonesia keluar dari IMF hingga kembali bergabung lagi pada 1967 saat tampuk kekuasan diduduki oleh Soeharto.
IKUTI KAMI DI INSTAGRAM: