Laporan Wartawan Tribunjambi.com, Mareza Sutan A J
TRIBUNJAMBI.COM, JAMBI - Ade Lesmana Syuhada akhirnya
memberikan kesaksiann dalam sidang lanjutan kasus dugaan korupsi perumahan pegawai negeri sipil (PNS) Sarolangun 2005. Sidang digelar di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jambi, Kamis (11/10/18).
Dalam sidang yang dipimpin ketua majelis hakim Edi Pramono itu, Ade selaku Direktur Utama PT NUA yang mengerjakan proyek perumahan, mengatakan pembangunan tersebut sempat disetop pada 2014.
"Sekitar 2014, pembangunan itu disetop. Saat itu bangunan selesau sekitar 60-70 persen. Alasannya, belum ada perizinan. Bersama dengan koperasi, diuruslah perizinan itu," ujarnya.
Penyetopan pembangunan tersebut setelah masa peralihan tanggung jawab dari PT NUA ke PT NP yang dipimpin Ferry Nursanti sebagai Direktur Utama. Alasannya, terdapat pembayaran yang macet, sehingga menyebabkan proses pembangunan tersebut tidak bisa dilanjutkan.
Dia mengatakan sebelumnya PT NUA yang dia kelola sempat mengajukan pencairan di Bank BTN dan mendapat pencairan. Namun, karena terjadi permasalahan dalam pembangunan tersebut, menyebabkan dana yang dicairkan itu tidak terbayar (macet).
"Dari situ, kami ajukan PKS (perjanjian kerja sama) dengan PT NP, yang mana pembangunan tersebut dilanjutkan sepenuhnya oleh PT NP dengan perjanjian mereka menebus yang macet itu," katanya.
Menurutnya, perjanjian tersebut dibuat atas dasar kepercayaan. Perjanjian pengalihan tersebut dibuat pada 2013, dengan isi selanjutnya pembangunan perumahan PNS tersebut dikerjakan oleh PT NP yang dikomandoi Ferry Nursanty dengan pemindahan saham sebesar 51 persen. Hal tersebut juga, kata dia, diketahui oleh pihak koperasi (Joko Susilo).
Kepercayaan tersebut dia berikan dengan alasan sudah mengenal Ferry Nursanti sejak masih bekerja di PT NUA.
"Dulu dia (Ferry Nursanti) karyawan di PT NUA. Karena dia termasuk yang berprestasi, akhirnya dia naik, sampai ke direktur yang menangani pemasaran dan keuangan. Dia sering ikut saya," terang Ade.
Selanjutnya, Ferry Nursanti memegang kendali PT NP sebagai Direktur Utama. Setelah perjanjian tersebut, PT NP mengajukan pencairan ke Bank Muamalat dan mendapatkan pencairan.
Dia terkejut dengan temuan kerugian negara pada 2014 lalu.
Diulasnya, dari lahan seluas sekitar 111 Hektare (Ha)yang sudah dibebaskan itu, 70 persen merupakan kompleks perkantoran, dan 30 persen Kompleks perumahan PNS.
Pembangunan proyek perumahan tersebut dilakukan dalam tiga tahapan. Tahap pertama, pada tahun 2003 dengan pendanaan pinjaman dari Bank Kerja Sama Ekonomi (BKE) Jakarta. Selanjutnya dilanjutkan pada tahun 2005 dengan pendanaan dari bank BTN. Terakhir, tahun 2014 dengan bank Muamalat.
Namun mengenai berkas-berkas dan arsip, Ade mengaku tidak lagi mengetahui letaknya.
"Kalau ditanya berkas-berkas sama arsipnya di mana, saya tidak tahu lagi itu. Barang itu tidak ada lagi sama saya," katanya.
Pada akhir persidangan, Ade mengaku hanya menjadi korban dari kasus tersebut.
"Semoga tidak ada lagi korban-korban setelah saya. Saya ini korban," katanya.
Atas keterangan Ade Lesmana, Ferry Nursanti angkat bicara. Dia membenarkan posisinya pernah menjadi karyawan PT NUA, namun dia mengaku tidak mengetahui semua hal yang ada di dalam perusahaan tersebut.
"Tadi Pak Ade bilang, saya tahu semuanya. Saya memang sering ikut, tapi posisi saya hanya sebagai bagian pemasaran dan keuangan," katanya.
Untuk diketahui, Ade Lesmana Syuhada telah menjalani hukuman atas kasus ini sejak 2017 lalu.
Kini, kasus ini melibatkan Madel selaku mantan Bupati Sarolangun, Joko Susilo selaku mantan Ketua Koperasi Pemkasa dan Ferry Nursanti selaku rekanan.
Untuk diketahui, berdasarkan laporan hasil pemeriksaan hasil penghitungan kerugian daerah nomor 2/LHP-PKM/XVIII.JMB/8/20!6 tanggal 3 Agustus 2016 dari BPK RI perwakilan provinsi Jambi tentang Laporan Hasil Perhitungan Kerugian Daerah atas pengalihan hak atas tanah Pemerintah Kabupaten Sarolangun kepada Koperasi Pegawai Negeri Pemkasa pada Sekretariat Daerah Pemerintah Kabupaten Sarolangun, tahun anggaran 2005 yang menyatakan telah terjadi kerugian negara sebesar Rp 12.956.240.172.
Perbuatan ketiga terdakwa diancam dakwaan primair, Pasal 2 ayat (1) dan akwaan subsidair, Pasal 3 jo Pasal 18 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 31/1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20/2001 Tentang Perubahan atas Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 31/1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.
Kasus ini turut menyeret sejumlah nama, di antaranya Mantan Sekretaris Daerah Kabupaten Sarolangun, Hasan Basri Harun (HBH), dan Ade Lesmana Syuhada.
Diberitakan sebelumnya, kasus perumahan PNS Sarolangun merupakan pembangunan rumah 600 unit sesuai perencanaan. Namun, yang terealisasi hanya 60 rumah. Temuan BPK (Badan Pemetiksa Keuangan) menemukan adanya dugaan korupsi pada pelepasan hak atas aset berupa tanah milik Pemerintah Kabupaten Sarolangun yang luasnya 241.870 meter persegi dengan nilai Rp12,09 miliar.
Sidang yang dipimpin ketua majelis hakim Edi Pramono ini akan kembali digelar Kamis (11/10/18) mendatang, masih dengan agenda mendengarkan keterangan saksi.
Baca: Download 15 Contoh Soal CPNS 2018, Buka Link 1 Kali Klik
Baca: 8 Link Kisi-kisi dan Contoh Soal Tes CPNS 2018, Bisa Download
Baca: Update CPNS 2018 - Ada Perubahan Jadwal Ujian dan Seleksi Administrasi, Catat Tanggalnya!