Laporan wartawan Tribun Jambi, Mareza Sutan Ahli Jannah
TRIBUNJAMBI.COM, JAMBI - Dari tepian ke tepian, ketek itu akan melaju, menyeberang, atau berlabuh.
Perahu bermesin itu akan membawa orang-orang mengarungi Sungai Batanghari, menikmati ombak dan percikan air.
Perahu mesin itu akan menyala ketika penumpang telah penuh.
Ada di antara mereka yang berwisata, menikmati keindahan Kota Jambi dari sungai Batanghari.
Ada pula yang menyeberang, ada pula yang sekadar melihat-lihat.
Udin, satu di antara pembawa ketek menceritakan kisahnya.
"Saya hidup di air ini sudah sejak kecil. Saya tinggal di Seberang inilah," kisahnya.
Menurutnya, menjalani keseharian sebagai pembawa ketek penuh cerita.
Sehari-hari, hampir setengah hidupnya dihabiskan di atas air dengan perahu bermesin itu.
"Kalau orang kita menyebutnya ketek. Tapi di daerah seberang sana, orang menyebutnya 'pelayangan'. Di Palembang, banyak yang menyebut 'pompong'. Tapi sama saja semuanya," terangnya.
Dia bilang, ada sebuah daerah bernama Pelayangan di seberang sana.
Dulu, orang-orang di sana sering menggunakan ketek sebagai alat transportasi.
Tidak hanya itu, ternyata, sejak dulu ketek telah menjadi alat transportasi yang begitu akrab dengan masyarakat Jambi.
Sebab, relief Kota Jambi yang banyak sungai menuntut masyarakat untuk menggunakan transportasi air.
Memang, selain ketek, di Jambi juga masih ada perahu dayung.
Tapi ketek tetaplah menjadi transportasi yang disenangi.
"Kadang itu, tidak cuma untuk menyeberang. Ada juga yang untuk jalan-jalan. Macam di Ancol ini kan, tiap hari ada saja yang datang, naik ketek," ujarnya.
Disampaikannya, mereka sekadar rekreasi, menghabiskan waktu bersama keluarga, teman, atau pasangan.
Udin menceritakan, penghasilan mereka tidak pasti. Kadang, kalau sedang ramai, mereka bisa pulang-pergi 4-5 kali. Kalau sedang sepi, bahkan mereka bisa hanya berputar 1-3 kali saja.
"Di sini sistemnya antre. Dari jam empat pagi (dinihari, red), sampai jam empat sore. Nanti ada lagi dari jam empat sore, sampai jam empat pagi. Itu berputar-putar terus, ganti-gantian," katanya menjelaskan.
Dalam sekali jalan, mereka bisa memperoleh hasil sekitar Rp 10-20 ribu untuk sekali penyeberangan. Untuk berwisata, merek bisa memperoleh Rp 50-100 ribu. Dari sanalah mereka mengais rezeki.
"Sekali menyeberang, dapatlah. Kalau wisata lain lagi. Kadang ada yang nego, tergantung kesepakatanlah. Kalau ada yang tambah, syukur. Yang penting halallah, daripada kerja yang tidak jelas," tuturnya.
Sungai Batanghari menjadi tempat yang berkah bagi mereka dalam mengais rezeki.
Dari langit, suara burung-burung berkicau samar-samar terdengar.
Deru angin berpadu dengan suara mesin ketek, berlabuh ke seberang kembali ke seberang yang lain.
Jika hujan, rintik-rintik akan langsung jatuh di kulit, terasa dingin. Pemandangan rintik-rintik di luasnya sungai terlihat.
Jika panas, kulit mereka tak lekang. Sinar matahari memantul di air, menciptakan koreografi cahaya nan elok nian.
Dari tepian ke tepian itulah mereka berlabuh. Hari-hari berlalu, menjadi cerita yang akan selalu dikenang, dan disaksikan.