Kejagung Ungkap Modus Oknum Pertamina Sulap Pertalite dari Luar Negeri Jadi Pertamax ke Masyarakat

Kejagung mengungkap modus oknum Pertamina yang membeli BBM jenis Pertalite di luar negeri lalu dijual ke masyarakat menjadi Pertamax.

|
Penulis: Darwin Sijabat | Editor: Darwin Sijabat
Facebook
ILUSTRASI: Foto disebut perbandingan bahan bakar minyak (BBM) jenis Pertalite lama dengan yang baru. Kejaksaan Agung (Kejagung) mengungkap modus oknum Pertamina yang membeli Bahan Bakar Minyak (BBM) jenis Pertalite di luar negeri lalu dijual ke masyarakat menjadi Pertamax. 

Ia menjelaskan rencana pemufakatan jahat itu dilakukan dengan mengatur proses pengadaan impor minyak mentah dan produk kilang. Melalui pengaturan tersebut pengondisian pemenangan broker seolah-olah sesuai dengan ketentuan. 

Pengondisian itu dilakukan oleh tersangka RS, SDS, dan AP yang memenangkan broker minyak mentah dan produk kilang secara melawan hukum. 

Baca juga: Kondisi 15 Sumur Minyak Ilegal di Tahura Batanghari, Polisi Langsung Segel, Makan Korban

Lalu, tersangka DM dan GRJ berkomunikasi dengan AP agar memperoleh harga tinggi saat syarat belum terpenuhi.

Tersangka RS kemudian diduga menyelewengkan pembelian spek minyak. RS disebut melakukan pembelian untuk jenis Roin 92 (Pertamax) padahal yang dibeli adalah Ron 90 (Pertalite). 

"Dalam pengadaan produk kilang oleh PT Pertamina Patra Niaga, tersangka RS melakukan pembelian untuk Ron 92 (Pertamax), padahal sebenarnya hanya membeli Ron 90 (Pertalite) atau lebih rendah kemudian dilakukan blending di storage/depo untuk menjadi Ron 92 dan hal tersebut tidak diperbolehkan," jelas Qohar.

Qohar menjelaskan Kejagung juga menemukan dugaan markup kontrak pengiriman oleh tersangka YF dalam melakukan impor minyak mentah dan produk kilang. 

Ia menuturkan negara mengeluarkan fee sebesar 13-15 persen secara melawan hukum sehingga tersangka MKAR mendapatkan keuntungan dari transaksi tersebut. Lebih lanjut, Qohar menyebut korupsi ini berdampak luas pada harga BBM di Indonesia. 

Karena sebagian besar kebutuhan minyak nasional dipenuhi dari impor ilegal, harga dasar BBM menjadi lebih mahal. Hal ini berdampak pada penetapan Harga Indeks Pasar (HIP) BBM, yang menjadi acuan subsidi dan kompensasi BBM dari APBN setiap tahunnya.

Dalam kasus ini, mereka yang ditetapkan tersangka adalah Riva Siahaan (RS) selaku Direktur Utama PT Pertamina Patra Niaga. 

Selanjutnya, SDS selaku Direktur Feed stock and Product Optimization PT Kilang Pertamina Internasional, YF selaku Direktur Utama PT Pertamina International Shipping, AP selaku VP Feed stock Management PT Kilang Pertamina International.

Selanjutnya, pihak swasta mencakup MKAN selaku Beneficial Owner PT Navigator Khatulistiwa, ⁠DW selaku Komisaris PT Navigator Khatulistiwa sekaligus Komisaris PT Jenggala Maritim, dan ⁠YRJ selaku Komisaris PT Jenggala Maritim sekaligus Dirut PT Orbit Terminal Mera.

Kapuspen Kejagung Harli Siregar mengatakan, penetapan tersangka itu usai penyidik memeriksa 96 saksi dan dua orang saksi ahli. Usai ditetapkan sebagai tersangka, kata Harli, seluruh tersangka langsung ditahan. 

"Penyidik juga pada jajaran Jampidsus berketetapan melakukan penahanan terhadap tujuh orang tersebut," ujar Harli dalam jumpa pers di Gedung Kejagung, Senin (24/2) malam.

Baca juga: Razman Arif Ngaku Prihatin Lihat Kondisi Hotpan Paris, Singgung Nama Alvin Lim

Sederet perbuatan melawan hukum tersebut telah mengakibatkan negara merugi sekitar Rp193,7 triliun. 

Total kerugian itu bersumber dari beberapa komponen yakni Kerugian Ekspor Minyak Mentah Dalam Negeri sekitar Rp35 triliun; Kerugian Impor Minyak Mentah melalui DMUT/Broker sekitar Rp2,7 triliun; Kerugian Impor BBM melalui DMUT/Broker sekitar Rp9 triliun; Kerugian Pemberian Kompensasi (2023) sekitar Rp126 triliun; Kerugian Pemberian Subsidi (2023) sekitar Rp21 triliun. 

Halaman
123
Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved