Kejagung Ungkap Modus Oknum Pertamina Sulap Pertalite dari Luar Negeri Jadi Pertamax ke Masyarakat

Kejagung mengungkap modus oknum Pertamina yang membeli BBM jenis Pertalite di luar negeri lalu dijual ke masyarakat menjadi Pertamax.

|
Penulis: Darwin Sijabat | Editor: Darwin Sijabat
Facebook
ILUSTRASI: Foto disebut perbandingan bahan bakar minyak (BBM) jenis Pertalite lama dengan yang baru. Kejaksaan Agung (Kejagung) mengungkap modus oknum Pertamina yang membeli Bahan Bakar Minyak (BBM) jenis Pertalite di luar negeri lalu dijual ke masyarakat menjadi Pertamax. 

TRIBUNJAMBI.COM - Kejaksaan Agung (Kejagung) mengungkap modus oknum Pertamina yang membeli Bahan Bakar Minyak (BBM) jenis Pertalite di luar negeri lalu dijual ke masyarakat menjadi Pertamax.

Modus itu diungkap Kejagung pasca menetapkan tujuh tersangka dalam perkara dugaan korupsi tata kelola minyak dan produk pada PT Pertamina, Sub Holding, Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS) periode 2018-2023. 

Ketujuh tersangka itu terdiri dari empat pegawai Pertamina dan tiga pihak swasta. 

Sementara Direktur Penyidikan Jampidsus Kejagung, Abdul Qohar menjelaskan kasus dugaan korupsi ini bermula ketika pemerintah menetapkan pemenuhan minyak mentah wajib dari dalam negeri pada periode 2018-2023. 

Atas dasar itu, Pertamina wajib mencari pasokan minyak bumi dari kontraktor dalam negeri, sebelum merencanakan impor. 

"Hal itu sebagaimana tegas diatur dalam Pasal 2 dan Pasal 3 Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Nomor 42 Tahun 2018 tentang prioritas pemanfaatan minyak bumi untuk kebutuhan dalam negeri," kata Qohar.

Namun kata Qohar, aturan itu diduga tidak dilakukan oleh RS (Dirut Pertamina Patra Niaga) dan SDS (Direktur Feed Stock and Product Optimization PT Kilang Pertamina Internasional) dan AP (VP Feed Stock Management PT Kilang Pertamina International). 

Sebaliknya, mereka diduga bersengkongkol untuk membuat produksi minyak bumi dari dalam negeri tidak terserap, sehingga pemenuhan minyak mentah dan produk kilang harus dilakukan dengan cara impor.

Baca juga: Negara Rugi Rp193,7 T, Bagaimana Dugaan Korupsi Tata Kelola Minyak Mentah di Pertamina Terjadi?

Baca juga: Rektor Buka Pelatihan Perancangan Kontrak, Tingkatkan Tata Kelola UNJA

Qohar menyebut produksi minyak mentah oleh Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS) dalam negeri juga ditolak setelah produksi kilang diturunkan. 

Penolakan dilakukan dengan membuat berbagai alasan. Pertama, produksi minyak mentah KKKS dinilai tidak memenuhi nilai ekonomis, padahal harga yang ditawarkan masih masuk rentang harga perkiraan sendiri (HPS). 

Alasan kedua, spesifikasi dianggap tidak sesuai kualitas kilang. Padahal, minyak dalam negeri tersebut seharusnya masih memenuhi kualitas jika diolah kembali dan kadar merkuri atau sulfurnya dikurangi.

Qohar menjelaskan saat produksi minyak mentah dalam negeri oleh KKKS ditolak dengan berbagai alasan, Pertamina kemudian mengimpor minyak mentah. 

"Harga pembelian impor tersebut apabila dibandingkan dengan harga produksi minyak bumi dalam negeri terdapat perbandingan komponen harga yang tinggi," kata Qohar.

Kemudian, Qohar menjelaskan ada dugaan pemufakatan jahat (mens rea) dalam proses impor minyak mentah tersebut oleh tersangka SDS, AP, RS, YF, bersama tersangka pihak swasta MK, DW, dan GRJ. 

"Sebelum tender dilaksanakan, dengan kesepakatan harga yang sudah diatur yang bertujuan mendapatkan keuntungan secara melawan hukum dan merugikan keuangan negara," tutur dia.

Halaman
123
Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved