Krisis Iklim

Krisis Iklim Dampak Pemanasan Global, Indonesia Alami 122 Hari Lebih Panas pada 2024

Krisis iklim menyebabkan enam minggu tambahan hari-hari yang sangat panas pada tahun 2024 bagi rata-rata orang, termasuk Indonesia

Penulis: Mareza Sutan AJ | Editor: Mareza Sutan AJ
TRIBUNJAMBI/SRITUTI APRILIANI
Ilustrasi kekeringan. Sawah di Kabupaten Batanghari saat musim kemarau. Krisis iklim membuat Indonesia mengalami 122 hari lebih panas. 

 

TRIBUNJAMBI.COM - Krisis iklim menyebabkan enam minggu tambahan hari-hari yang sangat panas pada tahun 2024 bagi rata-rata orang, yang memperburuk dampak fatal gelombang panas di seluruh dunia, termasuk Indonesia.

Analisis oleh World Weather Attribution (WWA) dan Climate Central menunjukkan bahwa dampak pemanasan global yang disebabkan oleh perilaku manusia.

Umumnya, hal itu diakibatkan pembakaran bahan bakar fosil.

Dampak yang paling terasa terjadi di Kepulauan Karibia dan Pasifik.

Di sekitar kawasan tersebut, banyak yang mengalami sekitar 150 hari lebih panas dari yang akan mereka alami tanpa pemanasan global, hampir setengah tahun.

Hampir setengah negara di dunia mengalami setidaknya dua bulan berisiko suhu tiggi.

Bahkan di kawasan yang seharusnya paling tidak terdampak, seperti Inggris, Amerika Serikat, dan Australia, polusi karbon dari pembakaran bahan bakar fosil telah menyebabkan tiga minggu tambahan suhu yang meningkat.

Gelombang panas yang memburuk adalah konsekuensi paling mematikan dari darurat iklim.

Para ilmuwan mengatakan bahwa penghentian pembakaran batu bara, minyak, dan gas sangat penting untuk menghentikan dampaknya menjadi lebih buruk.

Tahun 2024 diperkirakan akan menjadi tahun terpanas yang pernah tercatat dengan emisi karbon tertinggi.

Ada kemungkinan jutaan orang telah meninggal akibat pemanasan global yang disebabkan oleh manusia dalam beberapa dekade terakhir.

"Dampak pemanasan bahan bakar fosil tidak pernah lebih jelas atau lebih dahsyat daripada tahun 2024 dan menyebabkan penderitaan yang tak henti-hentinya," kata Dr Friederike Otto, dari Imperial College London dan salah satu pimpinan WWA, dilansir dari The Guardian, Jumat (27/12/2024).

"Banjir di Spanyol, badai di AS, kekeringan di Amazon, dan banjir di seluruh Afrika hanyalah beberapa contoh. Kita tahu persis apa yang perlu kita lakukan untuk menghentikan keadaan menjadi lebih buruk: hentikan pembakaran bahan bakar fosil."

Lebih lanjut, dilansir dari sumber yang sama, Joseph Giguere, teknisi penelitian di Climate Central, mengatakan suhu panas ini hampir terjadi di seluruh bumi.

“Hampir di mana pun di Bumi, suhu harian yang cukup panas hingga mengancam kesehatan manusia menjadi lebih umum karena perubahan iklim.”

 

Bagaimana dengan Indonesia?

Para peneliti meyakini gelombang panas ini lebih 'berbahaya' dibandingkan tahun-tahun sebelumnya.

Krisis iklim telah menyebabkan gelombang panas hingga cuaca ekstrem yang barangkali belum terjadi sebelumnya.

Peneliti menghitung suhu ambang batas untuk 10 persen hari terpanas dari tahun 1991-2020, yang kemudian dikaitkan dengan peningkatan risiko kesehatan.

Setelahnya, mereka membandingkan jumlah hari yang melampaui ambang batas ini pada tahun 2024.

Hasilnya, jika dirata-ratakan, manusia akan terpapar 41 hari lebih panas dari ambang batas tersebut.

Krisis iklim telah memaparkan jutaan orang lagi pada suhu berbahaya untuk periode yang lebih lama dalam setahun.

Bagaimana dengan Indonesia? Indonesia, yang menjadi rumah bagi lebih dari 280 juta orang, mengalami 122 hari tambahan 'panas berbahaya'.

Kondisi itu kurang lebih mirip yang juga dialami Singapura dan banyak negara bagian Amerika Tengah.

Itu merupakan perubahan iklim dengan tambahan hari panas paling lama.

Adapun di Timur Tengah, orang-orang di Arab Saudi mengalami 70 hari panas tambahan. Itu pula, yang menurut penelitian ini, menyebabkan dalam setahun sedikitnya 1.300 jemaah haji meninggal karena suhu ekstrem.

Brasil dan Bangladesh mengalami sekitar 50 hari panas tambahan, sementara Spanyol, Norwegia, dan negara-negara Balkan mengalami satu bulan tambahan suhu tinggi.

Dua per Tiga Populasi Global Merasakannya.

Lima miliar orang, atau hampir dua pertiga dari populasi global, mengalami peningkatan suhu yang kemungkinan terjadi dua kali lipat akibat pemanasan global pada 21 Juli, salah satu hari terpanas dalam setahun.

Selain suhu panas, badai juga menjadi lebih kuat akibat krisis iklim pada tahun 2024.

 

Apa yang Mesti Dilakukan?

Julie Arrighi, direktur program di Pusat Iklim Palang Merah Bulan Sabit Merah, mengatakan kondisi dunia saat ini tidak siap menghadapi pemanasan global.

"Pada tahun 2025, sangat penting bagi setiap negara untuk mempercepat upaya adaptasi terhadap perubahan iklim dan agar negara-negara kaya menyediakan dana untuk membantu negara-negara berkembang menjadi lebih tangguh,” katanya, mengutip The Guardian.

Langkah-langkah harus mencakup sistem peringatan dini yang lebih baik, yang menyelamatkan nyawa, dan pelaporan kematian akibat panas, kata para peneliti.

Ke depannya, pihak peneliti akan mengomunikasikan hal ini agar meningkatkan kesadaran bahwa gelombang panas adalah peristiwa ekstrem yang paling mematikan.

Selain itu, dalam peristiwa ekstrem ini, perubahan iklim telah benar-benar mengubah keadaan.

 

Baca juga: 6000 Tahanan Kabur usai Kerusuhan Pasca-Pemilu di Mozambik, 33 Tewas, 15 Terluka

Baca juga: Update Korban Kecelakaan Pesawat Azerbaijan Airlines di Kazakhstan, 38 Orang Tewas

Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved