WAWANCARA EKSKLUSIF

Sikap Politik PDIP dan Kekhawatiran Konfigurasi Pilkada Mirip Pilpres, Masinton Pasaribu, Seri I

Masinton Pasaribu mengatakan hal itu akan disayangkan, mengingat pilkada serentak akan menentukan pemimpin di 38 provinsi dan 540 lebih kabupaten/kota

Editor: Duanto AS
TRIBUNNEWS/LENDY RAMADHA
Masinton Pasaribu (kiri), Politikus Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP), melakukan sesi wawancara khusus dengan Direktur Pemberitaan Tribun Network, Febby Mahendra Putra (kanan), di Studio Tribun Network, Jalan Palmerah Selatan, Jakarta Pusat, Kamis (4/7). 

POLITIKUS PDI Perjuangan (PDIP), Masinton Pasaribu, mengkhawatirkan konfigurasi Pilkada Serentak 2024 akan seperti Pilpres 2024 yang akan ditentukan oleh figur-figur tertentu.

Masinton mengatakan hal itu akan disayangkan, mengingat pilkada serentak akan menentukan pemimpin daerah di 38 provinsi dan 540 lebih kabupaten/kota.

"Kita kan ingin pelaksanaan pilkada ini sebagai momen demokrasi momentum rakyat memiliki kedaulatannya untuk memilih siapa pemilih di daerahnya baik gubernur, bupati, dan wali kota," kata Masinton dalam podcast di kantor Tribun Network, Palmerah, Jakarta, Kamis (4/7/2024).

Masinton berharap sarana kedaulatan rakyat sebaiknya biarkan para kontestan, biarkan para kontestan, biarkan rakyat yang memilih. Pelaksanaan pilpres kemarin mestinya menjadi momentum untuk mengingkatkan partisipasi dan kualitas demokrasi tanpa melibatkan aparatur negara. “Ini sarana demokrasi di masyarakat tadi itu. Jadi, artinya apa? Kita mau, ya ini kualitas pemilu, kualitas demokrasi harus kita tingkatkan lah. Kita jangan mengulangi yang dikritik pada masa pilpres lalu gitu, ya,” imbuhnya.

Setiap daerah, lanjut Masinton, memiliki karakteristik masing-masing dan masyarakat punya referensi pilihan masing-masing terhadap tokoh-tokoh di daerah-daerah tersebut yang mencalonkan diri.

Berikut wawancara Direktur Pemberitaan Tribun Network, Febby Mahendra Putra, dengan Masinton Pasaribu.

Sekarang ini mulai hangat pilkada serentak dan banyak pihak menyebut bahwa konfigurasi pilkada nanti mirip-mirip sama pilpres, yaitu bahwa Pak Jokowi, Pak Prabowo yang konon akan sangat menentukan figur-figur yang akan menang pilkada. Abang sebagai Kader PDI Perjuangan yang mengikuti perjalanan politik negeri ini tentu punya pendapat?

Pertama, ini kan pilkada dilakukan serentak dalam sejarah republik, gubernur, bupati, dan wali kota secara serempak seluruh Indonesia, 38 provinsi sama 540 lebih kabupaten-kota, gitu.

Nah, tentu, kita kan ingin pelaksanaan pilkada ini sebagai momen demokrasi momentum rakyat memiliki kedaulatannya untuk memilih siapa pemilih di daerahnya baik gubernur, bupati, dan wali kota.

Sebagai pemilih, sebagai sarana kedaulatan rakyat, maka ini tuh biarkan para kontestan, biarkan para kontestan, biarkan rakyat yang memilih. Jadi, jangan seperti pilpres pemilu kemarin. Ini sarana demokrasi di masyarakat tadi itu.

Jadi, artinya apa? Kita mau, ya ini kualitas pemilu, kualitas demokrasi harus kita tingkatkan lah. Kita jangan mengulangi yang dikritik pada masa pilpres lalu gitu, ya. Sehingga ada koreksi dan evaluasi gitu ya agar pelaksanaan pilkada di daerah-daerah itu menjadi momentum untuk mengingkatkan partisipasi dan kualitas demokrasi kita serta pemilu kita.

Nah, kemudian tentu ini akan menjadi menarik, ya. Karena semua nanti energi bangsanya di seluruh daerah, dia akan merayakan, apa, menghadapi momentum pemilu pilkada tadi untuk memilih siapa yang akan menjadi kepala daerahnya. Nah, tentu apakah, orang kan sering mengkaitkan gitu ya, apakah ini akan sama nanti referensi di pusat, pilpresnya sama dengan di daerah. Saya rasa itu berbeda.

Berbedanya apa? Tiap daerah itu memiliki karakteristik masing-masing. Kemudian di daerah itu, dia figur yang dekat dengan masyarakat itu akan berpengaruh lebih besar. Pas dia mau didukung partai mana, dia tidak langsung otomatis linier dengan hasil pilpres, hasil pileg gitu, ya.

Nah, artinya apa? Bahwa tiap daerah itu memiliki karakteristiknya masing-masing dan masyarakat punya referensi pilihannya masing-masing terhadap tokoh-tokoh di daerah-daerah tersebut yang mencalon.
Kemarin, di pilpres kemarin itu ada tiga fenomenal, Pak Masinton, yang menurut saya luar biasa. Satu, bahwa calon yang didukung oleh Pak Jokowi menang. Yang kedua, suara PDIP anjlok dibandingkan yang lalu. Dengan skema persis seperti zamannya pilpres. Ada operasi bansos. Lalu, ada kelompok organ pemerintah dipakai. Apakah ini tidak menjadi kekhawatiran juga dengan melihat situasi yang pernah terjadi di pilpres, Bang?

Ya, artinya kalau itu dijalanin lagi di tiap daerah, artinya kan kita tidak melakukan koreksi dan evaluasi. Terhadap kritik banyak elemen masyarakat terhadap penyelenggaraan pilpres kita yang lalu. Pelibatan aparatur negara, penggelenggaran anggaran yang sangat besar di topang APBN gitu, ya. Untuk program-program seperti bansos apa segala macem yang motifnya politik. Kemudian hukum digunakan untuk alat politik.

Lakukan tekanan. Iya, tekanan, ajakan, maupun sifatnya menciptakan intimidasi. Nah, artinya kalau itu terjadi di daerah, dalam pilkada nanti, itu akan semakin memerosotkan kualitas demokrasi dan pemilu kita. Dan ini akan menjadi bom waktu nantinya. Artinya apa, kita nggak boleh, biar itu pemilu, sebagai sarana masyarakat sipil, tidak perlu ada campur tangan negara di sana untuk melakukan proses intervensi pilihan-pilihan masyarakat.

Tadi, ya, diarahkan ke A, B, melalui perangkat-perangkat negara gitu, ya. Baik itu lembaganya maupun aparaturnya.

Serta anggaran, di anggaran-anggaran program-program pemerintah yang dibiayai pakai duit rakyat.

Kemudian diarahkan untuk memenangkan kontestan gitu, ya. Nah, itu menurut saya akan semakin menampakkan kualitas demokrasi kita semakin merosot.

Kemudian saya berangkat dari pengalaman politik ini dulu, ya. Apa? Peristiwa, apa, ya? Pengalaman politik sebelumnya lah. Pilkada-pilkada sebelumnya. Dia tidak linear saya katakan itu tadi.

Umpamanya yang didukung oleh pemerintah di pusat dengan kandidat di daerah, gak otomatis menang tuh. Gak otomatis menang. Ambil contoh, contohnya Jakarta lah. Ya, kan.

Pada saat Pilkada 2017. Presiden kan maunya pada saat itu Basuki Cahaya Purnama, tapi kalah. Kemudian di Sumut juga begitu. Ketika Mas Djarot. Di Jawa Barat juga begitu. Artinya tuh, dia tidak otomatis.

Begitu pun ketika PDI Perjuangan berada di luar pemerintah. Ketika pada masa Pak SBY, contohnya. Nah, kader-kader PDI Perjuangan yang ikut dalam kontestan pilkada, baik gubernur, bupati, wali kota, mampu tuh memenangkan berbagai daerah begitu loh.

Meskipun yang berkuasa pada waktu itu Pak SBY. Artinya presentasinya malah tinggi tuh. Pada saat itu hampir 40 persen lebih kita memenangkan calon kepala daerah yang kita usung dari kader sendiri, mungkin yang kita dukung.

Artinya apa? Bahwa itu tadi, karakteristik dinamika politik di masing-masing lokal, di masing-masing daerah tuh berbeda-beda.

Nah, jadi saya kasih gambaran tadi. PDI Perjuangan pernah di luar pemerintah, berpisah pilkada, memenangkan banyak pilkada.

Ketika PDIP berkuasa, belum tentu juga kadernya menang, tetapi dalam kondisi ketika alat-alat negara relatif tidak cawe-cawe, tidak digunakan. Kalau dulu ada MK, mahkamah kakak. Sekarang ada mahkamah adik, kan artinya situasinya mirip saja, Bang?

Ya, sekarang KPU-nya juga kemudian ikut-ikutan untuk mengubah itu juga.

Berarti kan sebenarnya indikasi ini mulai muncul?

Kalau itu dilakukan, ya. Itu tadi. Itu kan semakin telanjang ke publik. Tapi kalau saya melihat ini, mungkin di beberapa daerah bisa.

Bisa dikondisikan begitu, ya. Mungkin di daerah-daerah lainnya bisa mendatangkan resistensi dari masyarakatnya.

Karena kedekatan emosional masyarakat yang mendukung dengan yang didukungnya kan sangat dekat. Mereka, katakan tuh, mereka kan juga nggak mau dicurangin, dong. Kan begitu? Iya.

Beda ketika Pilpres membengkakkan dianggap terlalu jauh, gitu. Nah, kalau tadi kita lihat, memang ada beberapa daerah yang juga sudah terkondisi sekarang. Seperti itu.

Contoh, Sumatera Utara. Kita juga udah mendengar-dengar tuh, ya kan? Beberapa pengondisian-pengondisian.
Jawa Tengah? Nah, di Jawa Tengah juga sudah mulai relatif ada pengondisian, gitu, ya. Nah, yang menurut kita, kalau itu bertarung, dia pure, memang benar-benar dilepas begitu, ya. Tanpa ada pengarahan aparat negara negara, gitu, ya.

Nah, menurut saya, itu kontestasinya justru menarik. Menjadi lebih fair, dia. Ya, kan? Jadi, masyarakat itu memang memberikan suara tanpa ada intervensi dan tekanan-tekanan atau arahan-arahan dari aparatur yang seharusnya netral. Gitu, ya.

Bang, banyak daerah yang menjadi satu perebutan kunci. Terutama di Jawa, di Sumatera. Dan tidak terlepas juga di daerah Bali dan di daerah Jakarta. DKI sekarang kan. Khusus DKI ini, meskipun dia bukan ibu kota negara lagi, tapi punya pengaruh kuat lah. Anda melihat konstelasi politik dan konfigurasi politik di Jakarta jelang pilihannya, bagaimana?

Ya, karena Jakarta ini kan wilayahnya sangat seksi lah kira-kira secara politik gitu, ya. Dianggap sebagai ini barometer untuk next politik nasional gitu, ya. Nah, jadi dinamika politik di Jakarta itu nggak lepas dari konstelasi politik nasional atau dinamika politik nasional.

Nah, jadi semua orang berkepentingan. Setiap partai politik juga berkepentingan untuk menang di Jakarta. Nah, jadi

Jakarta ini ya juga bisa sebagai etalase politik untuk gambaran politik nasional kita ke depan.

Jadi, maka dari sekian, dari seluruh Indonesia ini pasti fokus orang adalah pada satu di antaranya. Fokus utamanya itu pasti pemberitaan apa segala macam itu pasti Jakarta. Itu akan menjadi sangat seksi lah nanti.

Nah, kalau dilihat dari survei ini, mantan calon presiden kita ini, mantan nih, Pak Anies Baswedan, kan dianggap sebagai satu figur yang kuat gitu, ya, di DKI Jakarta. Abang melihat bagaimana?

Ya, saya kan juga dapilnya Jakarta, ya. Jadi kalau saya berinteraksi ke bawah begitu ya, bentar-bentar tanya figurnya Pak Anies.

Ya, mereka masih, Pak Anies. Kenapa saya tanya begitu? Pak Anies kan pernah jadi gubernur di sini. Mereka merasakan kepemimpinannya gitu kan. Nah, dan menurut saya ya sangat wajar aja masyarakat begitu karena memang gubernur sebelumnya kan Pak Anies.

Kemudian dilanjutkan oleh Pj. Karena pemilunya kan diserentakkan gitu, ya. Nah, jadi di publik khususnya di Jakarta, mereka masih percaya pada kepemimpinan Pak Anies.

Nah, gitu lah. Dan kalau ditanya pengen ngelanjutin, ya pengen. Kira-kira gitu lah.

Nah, ini kan potret di bawah ya. Itulah persepsi yang muncul di bawah kenapa sehingga dari potret berbagai survei apa segala macam, tuh pasti nama Pak Anies pasti elektabilitas jauh lebih tinggi dibanding figur-figur lainnya.

Termasuk jauh di atasnya Pak Ridwan Kamil sama Pak Anies, jauh tuh.

Karena Pak Ridwan Kamil lebih terasosiasi sebagai Jawa Barat dari pemerintahan Jakarta. Nah, jadi dari pengalaman kepemimpinan di Jakarta kemudian, ya, dianggap relatif lebih baik gitu, ya. Sehingga masyarakat Jakarta tuh ya dia ingin ada kepemimpinan yang definitif. Gubernur yang definitif bukan Pj begitu, ya. Sehingga yang bisa melayanin dan memperbaiki dan melakukan kesinambungan tahapan pembenahan dan pembangunan Jakarta itu.

Bang, sebagai kader PDI perjuangan gitu, ya, dulu kan ketika lima tahun yang lalu, 2017, PDI kan punya calon sendiri. Lalu head-on lah sama Pak Anies gitu, ya. Nah, apakah di pemilu atau pilih kader 2024 ini PDI perjuangan perlu memunculkan kadernya sendiri atau cukup memberikan support kepada orang yang memang elektabilitasnya tinggi semacam Pak Anies itu, Bang?

Ya, tentu. Pertama, gini, ya, mas Feb. Kalau kami, PDI perjuangan. Pertama, dalam setiap event kontestasi itu karena kaminya adalah partai kader. Jadi bahkan ada sekolah partai, sekolah kader gitu, ya. Nah, karena kami memiliki kader yang kami anggap mumpuni dan memang kader ini layak ikut dalam kontestasi, maka selalu prioritas utama kami adalah kader. Nah, itu tadi satu.

Namun, ya, kader ini kan bisa di number one atau number two. Nah, artinya PDI Perjuangan itu pasti mengutamakan kader dulu dia. Nah, dalam realitas politiknya itu bisa nanti, ya, tergantung.

Pertama, kalau saya lihat nih, ya, di Jakarta, PDI perjuangan kan 15 kursi, ya, DPRD ya. Nah, syarat untuk mengusung itu harus 20 persen. Dari 106 kursi berarti ada 22 kursi. Harus 22 kursi. Nah, artinya kan PDI perjuangan tidak cukup sendiri.

Nah, tentu harus membangun komunikasi dengan partai-partai politik lainnya. Nah, mungkin saya juga, partai politik lain juga sudah punya preferensi. Nah, ini kan harus dikomunikasikan secara intensif terus menerus.

Kan gitu? Ya. Nah, sehingga kami, umpama, sedang melakukan proses penjajatan komunikasi tadi. Jadi kami pun belum memutuskan, umpama, apakah akan mendukung Pak Anies.

Belum. Karena kami juga sedang membangun komunikasi. Tapi, kami harus membangun komunikasi dengan partai-partai lain, kan? Mengajak kerjasama dan kemudian bisa mengusung sama-sama, kan? Tentu yang kami usung adalah kader PDI perjuangan.

Nah, itu satu. Tadi realitas politiknya. Nah, karena pertama itu tadi prioritas kader.

Nah, kemudian kami kan juga harus realistis juga dalam membangun komunikasi nanti. Oke. Katakan, umpama, nama Pak Anies juga ada dalam proses penjaringan kami.

Ya. Terutama PDI perjuangan Jakarta dan itu sudah disampaikan ke DPP. Nah, artinya nama Pak Anies juga ada di situ.

Meskipun kami mengutamakan memprioritaskan kader. Tapi kan nanti, ya itu tadi, tergantung dari realitas politik yang ada dan pembangunan komunikasi serta jalan komunikasi yang kami lakukan dengan partai-partai politik lainnya.

Tapi dalam fatsun PDIP, penentu akhir tetap ada ketua umum? Atau gimana? Untuk pilkada ini?*

Itu bukan fatsun, tapi mekanisme organisasi kami.

Ya, artinya kongres, kami berkongres seluruh daerah, kader-kader, memberikan kewenangan kepada ketua umum.

Termasuk untuk penentuan calon kepala daerah ya, ya.

Bukan hanya capres, tapi calon kepala daerah juga?

Kepala daerah, di tingkat provinsi.

Kalau di tingkat kabupaten, kota?

Kalau kabupaten, kota nanti mengusulkan juga.

Nanti tentu kan berdasarkan masukan-masukan dari daerah. Baru nanti kan kalau mekanismenya, itu udah aturan undang-undang, ya. Dia harus melalui surat rekomendasi partai politik yang ditanda tangani oleh ketua umum dan sekjen. Semua partai politik begitu.

Bang, sebagai kader gitu, dan Anda berada di wilayah daerah pemilihan DKI, dulu sekarang namanya masih DKI. Masih. Bapak Masinton punya ketertarikan nggak tuh? Untuk masuk gitu, untuk mencoba di dalam kontestasi kali ini. Pernah-pernah ada terbersit gitu kan boleh dong, Bang? Meskipun itu nanti wewenang DPP kan? Ini kader boleh dong untuk punya keinginan itu? Tapi kalau secara pribadi, ada nggak keinginan atau hasrat gitu, Bang?

Ya, boleh saja. Jadi beginilah, Mas Feb. Kalau kami kan kader, ya, tergantung dari penugasan partai sebenarnya. Dan juga, ya, partai yang memberikan panduan ke kita kan. Nah, kalau saya sebenarnya, umpama, kalau saya, ya, pribadi gitu. Ya pribadi-pribadi. Saya umpama sebagai anggota DPR dua periode nih, ya kan. Kalau secara pribadi, saya juga harus ada tantangan lain lagi tuh. Ke cabang eksekutif, contohnya begitu.

Tapi kan itu lagi-lagi tergantung dari penugasan partai. Bukan maunya kita saja. Kalau umpama, kalau saya maunya pribadi gitu, ya, ditanyakan begitu tadi, ya.

It’s okay. Kalau saya, saya selalu memang gitu. Umpama di DPR, oke dua periode, tantangan berikut tuh ke eksekutif.

Saya selalu gitu tuh. Katakan tuh umpama, ntar suatu saat saya di DPR, berapa periode saya batasin, kemudian mencari tantangan baru itu di eksekutif. Kenapa? Karena kita lebih bisa, kewenangannya lebih besar ketimbang di legislatif.

Dari fungsi pengawasan kemudian kita bisa mengeksekusi. Membuat program yang bisa tuh manfaatnya dirasakan publik, dirasakan oleh masyarakat. Dan bisa membuat legacy kan gitu.

Nah ketimbang di legislatif. Nah artinya tuh sebagai kader saya untuk melakukan eksperimentasi. Normal-normal saja. Sebagai politisi itu, ya, jadi harus bisa di situ.

Bang, kalau boleh saya tanya, Bang, apakah merasa dikerjain dalam pileg 2024?

Ya, sudah lah, kalau itu, nggak.

Nah, ini kan bisa jadi pelajaran juga kan, buat siapa pun kader yang akan maju nanti pilkada. Bisa jadi dikerjain juga kan. Betul nggak, Bang? Ya, kan? Betul nggak? Memang itu sudah berlaku, betul kan? Sudah berlalu oke.

Tapi kan tentu hikmahnya harus didapatkan. Buat kader kita siapa pun, Abang boleh, kader yang lain boleh?

Itu menurut saya sih, sebagai pembelajaran lah.

Gitu ya? Iya lah, artinya pembelajaran buat kita. Oh iya oke, politiknya begitu.

Tapi ini tidak membuat abang menjadi berkecil. Ah, gue dulu itu kenceng dikerjain, lalu sekarang jadi lembek biar nggak dikerjain?

Enggak dong? Enggak dong? Enggak ya? Karena itu kan karakter. Kalau saya begini nih, saya politik itu kan berangkatnya dari dunia pergerakan, yang selalu bersentuhan dengan masyarakat.

Kemudian kita ini sudah dilatih dalam pergerakan aktivisme mahasiswa dulu itu, nalar kritis kita itu dilatih, diuji. Dan konsisten terus menerus di situ. Kenapa? Karena cara berpikir kita itu adalah cara berpikir kritis dulu.

Nah, gitu lah. Jadi, ya, itu yang kemudian membentuk pola sikap perilaku politik kita. Sehingga kita melihat sesuatu secara kritis. Kemudian kita punya pisau analisis. Sejauh mana sih kalau ada program begini, itu punya kemanfaatan kepada masyarakat? Atau kebijakan seperti ini, sejauh apa sih? Itu bisa mendatangkan kebaikan buat dirinya.
Nah, kalau kita rasa kurang pas, ya, kita kritisi. Kita kasih solusi.

Sikap kritis itu tidak lenyap atau berkurang hanya gara-gara Abang pernah dikerjain. Kalau teman-teman kader PDI yang lain merasa dikerjain, kaya Sekjen Mas Hasto tiba-tiba dipanggil, handphone-nya dirampas, jadi perlu tiarap dulu atau enggak?

Enggak lah. Karena berjuang itu kan punya konsekuensi. Punya risiko, ya? Dan konsekuensi itu kan secara sadar kita tahu, dan kita mengambil sikap kritis itu juga secara sadar kan.

Dengan berbagai konsekuensi tentunya yang akan kita hadapi. Kan gitu. Ketika saya datang ke KPK contohnya pada saat itu, saya datang bawa koper.

Kalau kalian nuduh, kan gitu ya, nuduh kita melakukan obstruction of justice ketika kita dulu bikin angket KPK segalam macam, di mana itu adalah ramah kewenangan kelembagaan DPR untuk melakukan penyelidikan terhadap pelaksanaan undan-undang, kemudian kita dianggap pro-koruptor gitu.

Daripada distigma begitu, kan begitu, atau dituduh-tuduh tidak berdasarkan fakta hukum, kan gitu, ya, saya datangin aja. Kalau kita ini korup, atau pro-koruptor, dan kalian bisa buktikan itu, ya, ayo dong. Gak usah dibangun opini begini begitu. Kira-kira kan gitu.

Nah tentu konsekuensinya apa? Pasti kan orang di KPK mungkin gak, ada yang gak suka dengan kita, kan gitu, ya.

Mungkin kita dikorek-korek, kan pasti begitu. Maka kita memastikan, ya, kita harus clean and clear, kan begitu. Nah, artinya apa? Dalam setiap sikap, tindakan pasti memiliki konsekuensi.

Nah tinggal kita menghitung, ya, kan, taktis tidak, strategis tidak. Nah artinya bukan berarti mengendurkan semangat kita, atau menghilangkan daya kritis kita, kan gak gitu. Nah kalau saya sih itu basic ya, Mas, maka oke saja, ya. Risiko pasti sudah tahu kan.

Oh, ya, kok kita menyuarakan kebenaran kok, melakukan hal-hal yang baik, menurut saya, ya, artinya itu menyuarakan yang baik, menyuarakan yang benar, kira-kira gitu. Ya, dengan segala konsekuensinya, kan begitu.

Kalau saya sih mikirnya begitu, karena politik itu harus punya dasar nilai, ya.

Ya, kan? Kalau politik tanpa nilai, sudahlah itu zombi lah. Cuma penikmat fasilitas, ya, kan? Penikmat jabatan, dan kemudian tidak memberikan guidance apapun terhadap bangsa ini.

Bang, pemilu di negeri ini ada satu lembaga yang memang diberi tugas untuk menyelenggarakan. Yaitu Komisi Pemilihan Umum. Banyak kritik kepada KPU. Dan belakangan kemarin, DKPP menyatakan bahwa Ketua KPU. Ketua KPU ini di pusat, itu melakukan pelanggaran berat, berkait dengan asusila, kemudian dipecat sebagai anggota maupun ketua. Lalu muncul anggapan ini, Bang, kenapa ini baru dilakukan sekarang, bahwa memang Ketua KPU sengaja dikerangkeng lah gitu masa lalu. Lalu, politik sandera lah gitu. Abang, saya ingin tanya abang dulu mengenai fenomena ini. Menurut Abang, apa sih?

Ini semua fenomenanya, ya. Negara dikelola amatiran. Semua. Termasuk tadi.

Dalam penyelenggaran pemilu tadi, ya, amatiran. Nah, sehingga, ya, hasilnya begini. Kalau kita lihat, kan sudah, ini yang kelima, ya, kalau nggak salah. Pelanggaran etiknya. Sanksi, sanksi, sanksi. Bahkan pernah keras dan terakhir.

Ini nggak ada apa-apain juga. Baru yang ini, udah nggak ada lagi keras dan terakhir, terakhir, terakhir. Maka harus diberhentiin terpaksa. Dan nanti juga fatal kan. Artinya itu, lima. Kita lihat tuh.

Pertama, ya, kasusnya juga tali air sama perempuan. Wanita emas, Yang paling pertama sih. Kedua, ya, persoalan PKPU. Pascaputusan MK, meloloskan calon wakil presiden. Tanpa PKPU, ya, diubah dulu. Ya, kan? Kemudian, yang ketiga itu, persoalan tentang kuota 30 persen perempuan. Ya, juga diberikan sanksi. Ya, kan? Tiga kali sanksi, ya, nggak ada apa-apa.

Kemudian itu, ya, yang keempat itu, eks terpidana koruptor yang harus jeda dulu lima tahun satu periode pemilu berikutnya juga gak diapa-apain tuh, ya, kena sanksi juga, ya Cuma begitu doang. Baru kemudian yang terakhir, ya, baru sanksi pemberhentian. Seharusnya sih sebenarnya, ya, sejak awal itu, ya, sudah fatal itu.

Ketika putusan MK itu kan fatal. Yang PKPU. Di situ, dia kan sudah diberikan peringatan tapi kan DKPP nggak bisa memberikan, membatalkan PKPU-nya kan. Karena menyangkut kewenangan DKPP itu masalah etika.

Nah, belajar dari pengalaman ini, ya, tentu ini hanya satu pucuk gunung es saja, yang di bawahnya masih banyak masalah-masalah yang bisa ini. Nah, apakah ini bisa juga menjadi sesuatu yang perlu kita cermati dalam pilkada serentak? Karena ini kan gunung es bisa jadi di banyak tempat, orang-orang penyelenggara pemilih itu tersandera oleh hal-hal yang pernah dia lakukan, tetapi tidak diungkapkan ketika gawenya belum kelar?

Ya, kalau kita lihat kan beberapa di daerah-daerah juga, KPU-nya juga.

Nah, artinya, itu tadi ya, pola rekrutmen atau segala macam itu kan nggak jelas.

Nah, kalau, ya, begini, kan ngeri-ngeri sedarp. Nah, kalau saya melihat beginian, ya, ada hari ini, kita ini sebenarnya itu berada pada titik yang tinggal menunggu pemicu saja sebenarnya. Ini bukan nakut-nakuti kan? Saya nggak nakut-nakuti, tapi kalau melihat fenomenanya, di kelas menengah, yang sadar, melek informasi, kan sudah di level, kalau saya kutip seperti ininya pernyataan Prof Mahfud gitu, ya, sudah terserah yang berkuasa lah.

Kan gitu, ya? Semua yang berkuasa. Di level-level kelas menengah itu sudah begitu sekarang. Apalagi kemarin putusan MA.

Orang kan sudah males saja juga mau komentar. Tapi orang males, bukan berarti dia masa bodoh atau apa, tapi dia menyimpan amarah. Kan gitu mas, orang yang merasa, apa tuh, ini kita lihat nggak adil, tapi kok semau-maunya saja, ya? Tapi kan, orang yang sadar tadi itu namanya apa tadi? Dia menyimpan amarah.

Tinggal, nah artinya kan, kalau situasi ini tidak diperbaiki, dia kan menunggu pemicu aja. Nunggu meledak saja. Kenapa?

Kita siapa sih tahu dulu bahwa Pak Harto itu akan jatuh tahun 98, Mei 98. Termasuk kita mahasiswa yang memprotesnya pada saat itu, kita nggak tahu. Tapi kan kemudian ada rentetan peristiwa dari awalnya krismon.

Krismon itu apakah terjadi di seluruh negara di dunia? Tidak. Cuma beberapa negara Asia. Tapi yang paling terdampak itu Indonesia. Nah, habis Krismon, muncul krisis ekonomi, naik harga-harga.

Krisis ekonomi, kemudian lahir krisis politik. Kemudian Pak Harto berhenti. Nah, lama tuh kelas menengah kan juga memendam rasa.

Ini yang berkuasa semau-maunya. Kan gitu, teman. Tapi, ya, jika penguasanya berjalan sekehendak kemauannya, mengabaikan seluruh protes, masukan, kritik dari elemen masyarakat sipil, gitu kan pada saat itu.

Tapi, ya, terus masyarakat ya, dikritik, dikasih saran masukan, itu kan juga gak berubah. Kan gitu kan, tetap saja tuh yang namanya perilaku semena-mena itu, perilaku kekuasaan yang semena-mena tadi itu berlangsung terus, dia kan menemukan momen itu.

Nah, kalau saya sih berharap, Pak Prabowo nanti setelah dilantik, mampu me-recovery ini.

Ya, gitu. Ini gak bisa dibiarkan. Yang saya khawatir nanti pada masa kesinambungan Pak Prabowo, imbasnya malah ke situ.

Kita kan gak tahu nih, ada krisis, ya, kan, harga dolar kita. Tidak terkendali ya. Fluktuasi, ya. Naik saja terus tuh. Ya, kadang di intervensi BI paling turunnya berapa. Selanjutnya naik lagi, naik lagi.

Kemudian, ya, kondisi global juga. Artinya, kondisi global juga tidak bagus-bagus amat, gitu kan.

Nah, ini kan rantainya kan bisa. Nah, kemudian, kalau itu tadi, kalau saya melihat, ya, Pak Prabowo ya harus mempertimbangkan untuk melanjutkan ini. Mana sih yang mau dilanjutkan, mana yang tidak. Mana yang perlu dikoreksi, dievaluasi, sehingga tidak terjadi pemborosan anggaran.

Kemudian juga, ya, APBN-nya juga masih punya ruang fiskal untuk memberikan stimulan, program kepada terutama masyarakat, pelaku-pelaku usaha, gitu kan.

Nah, kalau ini, pertama, katakan di Pak Prabowo, masyarakat mengambil jalan, apa tadi nih, melanjutkan program, sementara banyak nih programnya yang harus dievaluasi, gitu kan. Semuanya melek-melek tanpa ada koreksi dan evaluasi. Dan saya khawatirkan menjadi beban buat pemerintahan Pak Prabowo ke depan.

Nah, kapan pemicu, kita nggak tahu. Tapi kan, hari ini kan suasana di kelas menengah. Saya juga lihat, saya yakin juga Mas Feb juga punya suasana kebatinan yang sama, terserah yang berkuasa lah.

Jadi, ya, kita yang waras ini kan, gitu, ya. Masa begini amat. Kira-kira kan begitu tuh, Mas.

Bang, kalau apa sebagai kader PDI Perjuangan, melihat, ke depan ini PDI Perjuangan lebih baik di dalam atau di luar, Bang? Sebagai seorang politikus yang cukup lama menggeluti ini, Bang, melihatnya bagaimana sih? Perlu di dalam atau di luar?

Sebelum memutuskan di luar atau di dalam, menurut aku sih bangun komunikasi dengan pemerintah. Yya, artinya mengomunikasikan itu tadi.

Apa sih program pemerintah? Ya, kan? Sehingga kemudian dasar itu kita bisa memutuskan, oke, kita berada di pemerintahan atau berada di luar pemerintahan. Atau separuh-separuh? Ya.

Bisa gak, Bang, separuh-separuh? Ya, atau kita tematik gitu kan?

Tematik lah sih pertanyakan ini apa segala macam gitu.

Nah, menurut saya, itu tadi, dia harus, gak mungkin dong ujuk-ujuk kalau saya berpandangan, ya, ya, sudah, kita di luar pemerintahan aja. Kan gak mungkin begitu juga. Menurutku, ya.

Tapi bagus tuh kan, di ini kan tuh dalam konteks kebangsaan, ya. Kita bicara apa yang sebenarnya mau dikerjakan pemerintah ini selama lima tahun ini apa aja.

Mana yang bisa kita support atau mana yang kita bisa ikut. Atau kita rasa kayaknya belum pas deh. Kita mau dukung secara ini tapi kita tetap berteman, tapi kita berada di luar.

Untuk melakukan kritik, pengawasan, ataupun memberikan alternatif-alternatif pilihan kebijakan nantinya. Kira-kira itu yang baik buat masyarakat. Nah, kalau saya sih lebih awal tuh memang mendialogkan ini dulu. Dengan presiden terpilih nantinya gitu kan. Nah, kemudian ya tentu lagi-lagi, ya, itu kan sikap partai, ya.

Nah, kalau saya sih pribadi tadi, ya, bicara ya lebih bagus sih, bangun komunikasi, kita bedah programnya gitu, ya.

Kalau memang ada yang kita rasa, ya, mohon maaf nih karena programnya begini-begini-begini, mohon maaf pak presiden, presiden terpilih, kami belum belum bisa gitu. Ya, tapi kami akan tetap support, kita bantu dan kami akan kawal dari luar dan kita akan kasihkan alternatif-alternatif kebijakan nantinya.

Kira-kira kan begitu. Itu kan menurut saya, politik seperti itu menjadi penting tuh, Mas. (tribun network/reynas abdila)

Baca juga: Analisis Politik Pasca Al Haris Dapat PKS, Romi Hariyanto Bisa Sulit dan Bisa Untung di Pilgub Jambi

Baca juga: Sepedañya Pak Jokowi Tinggal Berapa? Ali Mochtar Ngabalin Tenaga Ahli Utama KSP, Seri I

Sumber: Tribunnews
Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved