WAWANCARA EKSKLUSIF

Rawat Anak Meski Digempur Bom Israel, Bincang Bareng Ita Muswita, Relawan MER-C, Seri II 

Peristiwa itu terekam dalam benak Ketua Tim/Bidan dan Perawat Bedah MER-C, Ita Muswita, selama bertugas sebagai relawan medis di Gaza.

Editor: Duanto AS
TRIBUNNEWS/LENDY RAMADHAN
Relawan Medis yang pernah bertugas di Gaza, Ita Muswita (kiri), melakukan sesi wawancara dengan host Tribun Network, Geok Mengwan (kanan), di Studio Tribun Network, Jalan Palmerah Selatan, Jakarta Pusat, Kamis (27/6). 

KONDISI gempuran bom Israel tidak membuat seorang ibu di Palestina berniat menggugurkan anaknya atau memberi hak asuh kepada orang lain.

Peristiwa itu terekam dalam benak Ketua Tim/Bidan dan Perawat Bedah MER-C, Ita Muswita, selama bertugas sebagai relawan medis di Gaza.

“Sejauh saya di sana nggak dapetin itu (pemikiran itu), sejauh saya di sana ya. Di luar itu saya nggak tau. Karena saya di persalinan sejauh itu nggak ada. Ternyata mereka berjuang untuk kehamilannya,” kata Ita dalam podcast di Gedung Tribun Network, Palmerah, Jakarta, Kamis (27/6).

Pernah suatu saat, Ita menawarkan kepada seorang ibu yang akan melahirkan agar anaknya diadopsi kepada temannya yang sudah sangat mapan. Namun, tawaran Ita ditolak oleh ibu yang tengah hamil tua tersebut. “Jadi di sana sulit di sana gitu misalnya model human trafficking itu susah. Walaupun sesusah-susahnya hidup anak itu tetap direngkuh,” tuturnya.

Dia tidak menampik adanya pemikiran agar anak-anak Palestina lebih baik diungsikan atau diadopsi di negara lain. Sebab akan sangat sulit membesarkan anak di tenda dan zona pertempuran yang penuh risiko.

Mereka bilang tidak mengenal istilah adopsi. “Orang tua di sana menyambut anaknya sebagai anugerah. Mereka merasa hari-harinya itu bersama anaknya. Artinya untuk apa juga di buang, lebih baik mati sahid di tangan,” papar Ita.

Dari situ, Ita merasa dirinya belum sampai pada level tersebut dan itulah arti sesungguhnya makna kasih sayang saling mengasihi. Karena hari ini manusia hidup belum tentu besok masih hidup.

Simak lanjutan wawancara Host Tribun Network, Geok Mengwan, dengan Ita Muswita.

Adakah momen-momen yang menarik untuk diceritakan saat menangani persalinan di sana? Atau ketika mengurus bayi-bayi di sana?

Orang Gaza itu, kita lihat tipikalnya dulu ya orang Gaza. Itu orang yang sangat friendly. Friendly banget. Karena mereka sebenarnya standar Eropa. Jadi kalau manggil saya Ita, langsung nama. Dari yang kecil sampai yang tua manggil saya Ita. Itu yang saya suka dari mereka. Jadi kalau udah kenal nama kita, mereka jadi, Ita good morning.

Mereka bilang kamu besok datang lagi.

Bahkan kita teman-teman kan sebenarnya boleh saja kita ngambil libur dalam seminggu. Tapi teman-teman waktu singgalah kan kita nggak usah libur. Sayang gitu kan.

Apalagi kalau cuma sebulan buat apa kita masih libur sih. Jadi mereka enjoy. Mulai dari direktur, kemudian dokter-dokternya, perawat-perawat, bidan-bidan. Sampai tim, semua tim di rumah sakit itu sangat welcome.

Bahkan mereka suka bilang gitu, sudah tahu kita lagi perang kalian malah masuk. Saya bilang sebenarnya kita masuknya mau dari sejak lama. Cuma sulitnya akses kami masuk ke dalam. Ini yang membuat kami terlambat.

Kami sangat terlambat masuknya. Mereka ketika tahu kita tuh nunggu. Bukan kami aja ya. Bukan tim kami. Tim yang lain pun. Ada yang udah sebulan di Kairo. Ada yang sudah sebulan setengah.

Sama seperti kalian keluar. Mereka juga keluar susah. Di rumah sakit, rumah sakit itu. Saya dinas dari pagi sampai jam 2. Rencana kita sampai jam 4. Tapi mereka bilang nggak usah sampai jam 4. Jam 2 saja.

Pagi itu jam berapa sih? Jam setengah sembilan. Itu persalinan spartan. Hampir nggak ada istirahatnya Kita punya lima kamar bersalin. Lima kamar bersalin itu. Itu istirahat sepuluh menit paling itu.

Dateng lagi, dateng lagi. Saking itu rujukan. Saking banyaknya pasien. Di rumah sakit. Saat itu memang di fokuskan di

situ. Jadi saya kebayangin tuh teman-teman kalau kita hibur atau kita telat.

Kasihannya. Yang jaga mata. Jadi kalau kita datang ya. Hai, Ita. Kamu datang. Kita operan, operan. Dokternya seneng. Bidannya senang. Kita juga teman-teman senang kan.

Kayak di harpin gitu kan. Kemudian pasiennya juga nggak banyak tentu kan. Mereka tahu tuh udah dicolong. Sudah alhamdulillah. Bahkan ketika saya tahu. Kita kan nggak bisa bahasa Arab.

Kan kita pakai bahasa Inggris. Mereka tanya Malaysia? China? No, we Indonesia. Oh, Indonesia. Dia seneng gitu ya. Suatu saat teman saya pernah gini. Kak, nanti kalau ada yang lahiran. Nama aku dikasih dong sama ibunya gitu.

Kalau perempuan.

Saya bilang gini. Bu, mau nggak? Aku udah punya anak. Nama belum anaknya. Dia senyum aja. Kalau belum. Boleh nggak teman saya mau kasih nama. Nama dia. Biar nama dia ada di Palestina. Di Gaza.

Terus kata dia gini. Arti nama teman kamu apa? Saya bilang. Di Indonesia kayaknya nggak pakai arti. Kita nama Indah saja udah bagus. Kalau di sana ternyata nggak. Oh, ada makna. Nama itu harus ada makna.

Nama itu harus ada makna. Juang. Sahabat Rasul. Nama-nama Rasul. Jadi yang namanya Hamzah. Muhammad. Ahmad. Yazid. Itu semuanya tuh nama-nama. Lalu Omar. Itu banyak sekali nama. Jadi ketika saya tawarin nama teman saya.

Dia kaget. Di sini harus ada arti. Oh yaudah kalau gitu. Terus. Ada hal yang menarik. Ketika saya nolong persalinan. Datang ibu ini. Tau bukaan apa. Artinya sudah pembukaannya lumayan.

Hamil anak ketiga. Masuk sini saya siapin. Saya siapin alat-alat. Posisi ibu tarik nafas ya ibu. Tenang nanti kita ada di sini. Karena itu anak ketiga kan cepet ya.

Sebelum saya nolong. Saya dibisikin sama yang ngantar ibu itu. Masuk. Saya nggak ngerti ibu itu ngomong apa sih. Tapi kayaknya sih memohon. Terus dia panggil bidan lokal.

Ibu ini ngomong apa sih. Terus dia tanya apa. Terus. Ita Ita. Yang kamu tolong ini suami sahid minggu lalu. Saya gini.

Aduh. Kenapa sih diceritain sama ibu itu. Ini kan jadi sontak air mata kan.

Saya sama teman saya itu. Cerita. Dia ngerti kan. Betul-betul bahasa Arab. Pemenangnya kan memang ngerti Bahasa Arab. Dia ngerti gue. Ngantar. Kita rapiin. Saya kasih ibu. Ibu ini selamat ya. Anak ibu laki-laki. Air mata yang lahir.

Saya tuh paling nggak kuat kalau gini kan gitu kan. Udah saya tinggalin. Kamu pegang anak kamu ya. Saya bantu yang lain. Padahal saya tuh udah nggak kuat tuh.

Terus. Ketika saya bilang. Ada teman saya bilang. Kalau ada nggak anak gaza yang mau diadopsi. Teman saya itu kebetulan sudah 9 tahun menikah, sangat mapan siap ambil anak gaza.

Jadi di sana sulit di sana gitu misalnya model human trafficking itu susah. Walaupun sesusah-susahnya hidup anak itu tetap direngkuh. Walaupun kita lihat itu anak-anak berkeliaran di jalan. Tapi tetap aja ibu di sana itu pasti nanti selesai akan bawa anaknya itu pulang.

Keren menurut saya sih. Seringkali kita lihat itu lelah menjalankan hidup di sana mungkin ada pemikiran siapa yang mau ambil anak gue. Banyak-banyak yang gitu kan. Itu yang sulit.

Beberapa kali saya tanya bahkan saya mau punya anak. Saya mau adopsi. Saya mau ambil. Mereka bilang kami nggak ada istilah adopsi. Tetap orang tuanya tuh. Saya akan handle sendiri.

Ibu-ibu hamil di Palestina apakah pernah ada yang kepikiran untuk menggugurkan anaknya di tengah kondisi perang begitu?

Sejauh saya di sana nggak dapetin itu. Sejauh saya di sana ya. Di luar itu saya nggak tau. Karena saya di persalinan sejauh itu nggak ada. Ternyata mereka berjuang untuk kehamilannya.

Saya bilang ini sesuatu yang tidak memungkinkan untuk hamil dan punya anak. Untuk membesarkan anak di tenda. Tapi ini nggak ada. Nggak ada yang bilang ya sudah kalau mau itu ambil anak saya. Nggak ada satupun itu kami dengar.

Kalau itu ada pasti semuanya akan terinfo gitu ya. Nggak ada. Nggak ada. Mereka menyambut anaknya sebagai anugerah. Karena pernah saya bilang kenapa sih anaknya nggak diadopsi.

Mereka merasa hari-harinya itu bersama anaknya. Artinya untuk apa juga di buang, lebih baik mati sahid di tangan.
Itu yang saya bilang, sepertinya saya belum sampai pada level itu.

Seiring bertambahnya waktu karena kita ngeliat orang-orang di sana rata-rata begitu.

Oh iya, pada dasarnya memang kita antara saudara memang harus saling mengasihi karena hari ini kita hidup belum tentu besok kita hidup.

Makna kasih sayang itu. Saya dapat ketika di situ soalnya saya nggak tahu. Bisa ngebesarin anak sampai umur berapa. Kita kan terlalu pede kalau di sini.

Kita terlalu pede terhadap istri, terhadap suami, terhadap anak. Padahal kenyataannya itu bukan milik kita. Di sini saya bilang. Oh iya ya itu Cuma titipan. Persalinan sejauh ini alat-alat sih yang kurang. Obat-obatan.

Kita tahu, di sana pasokan makanan kurang, nutrisi-nutrisi untuk ibu hamil dan untuk bayi juga kurang. Bagaimana ibu kondisinya di sana saat persalinan?

Kami dari MER-C bawa logistik obat-obatan yang cukup banyak. Mungkin untuk seribu pasien pertama. Kita bawa. Bahkan sampai umbilical klep tali pusar itu serta obat-obat untuk. Kasus patah tulang.

Sampai instrumen-instrumennya. Bukannya selengkap itu. Kami bawa 40 koper besar. Peralatan itu baik dari logistik kita maupun logistik medis.

Saya pikir lumayan nih untuk sebulan. Nggak nyampe sebulan saking banyaknya yang membutuhkan disitu kita telepon lagi tim kedua. Kalian bawa ini. Langsung kita buat catatan, jadi saya minta ke setiap tim. Ayo teman-teman yang dari kamar bedah, ortopedi, yang dari primary health care kita minta lagi.

Tim kedua bawa lagi logistik cepet abis karena memang rolenya itu nggak berhenti. Umbilikal klaim lagi sebanyak 5 ribu itu Cuma buat dua minggu.

Baru pada sadar. Itu paling Cuma untuk seminggu lebih. Jadi kelihatannya besar tapi karena pemakaiannya tinggi pasokan sudah kosong.

Saya sih bilang gini ke teman-teman medis, kita saat perang jangan terpaku hospital minded. Kita harus mendayaupayakan. Apa yang bisa kita pakai kalau kita ngomong nggak steril tuh alatnya. Itu kan nggak steril. Nggak ada.

Saya juga tahu gimana. Proses steril tapi kita berharap dalam sesuatu sih. Kasih sayang Allah. Semoga tidak ada infeksi. Semoga kan kita bilang berharap ya Allah. Jangan ada infeksi ya Allah. Kasihan ini. Ya Allah. Ini yang bisa kita lakukan.

Saya cerita sama teman saya, dia tanya kak lu kok sekarang banyak nangis. Iya gua banyak nangis sekarang. Sangat saya pahami ya teman-teman di daerah perang mereka jahitnya itu dilantai, saya bilang kita sudah tidak ada tempat.

Pasien datangnya tuh. Kalau kita kan belum mampu. Nggak bisa diterima di rujuk rumah sakit lain. Nggak ada. Pasien harus diterima. Untuk rujuk ke sana pun nggak ada kendaraan.

Ambulans datang. Hilang lagi. Cari ke tempat lain. Ambil pasien. Gitu kan bulat balik. Nggak ada lagi yang kita tolong sebisa yang kita bantu.

Tadi ibu bilang, peralatan habis gitu, ya, tapi pintu Rafah belum dibuka. Memang itu dibukanya berapa kali?

Pada saat itu sebenarnya. Seminggu dua kali. Senin dan Rabu untuk tim pembedah, pokoknya untuk tim kesehatan.

Nah nanti untuk logistik. Beda lagi tidak berbarengan. Tapi itu pun tergantung otoritas. Entah bagaimana syaratnya.

Prosedurnya kami kurang tahu. Pokoknya pernah tertutup.

Kalau tertutup itu apa yang terjadi di Gaza. Semua harga-harga melonjak. Bahan bakar susah. Tepung susah. Telur susah. Ayam susah. Daging susah. Semuanya susah. Jadi kita bertahan.

Dengan harap-harap cemas. Semoga minggu besok. Pintu terbuka. Tapi kan makan tetap. Iya. Bener. Makan kan tetap. Setiap hari. Kayak kita misalnya lah orang gajian kan udah tahu nih. Kita gajian per minggu.

Sudah budget bulanan. Kita tuh nggak bisa di sana. Bisa aja mungkin. Ada orang yang punya uang. Tapi barang nggak ada. Itu saya bilang di daerah perang itu kita makan Cuma untuk survive. Alhamdulillah.

Kami punya logistik. MER-C Selalu membekali timnya dengan logistik yang cukup. Jadi kita tidak menyulitkan tuan rumah. Kita harus bertahan dengan logistik kita yang ada. Alhamdulillah sejauh ini kami tim tidak kurang makan.

Tapi dengan pengaturan cara makan. Kita makan untuk survive bukan untuk kenyang-kenyang. Bukan untuk selera, yang ada dimakan sampai teman saya mengatakan seumur-umur tidak pernah makan bawang.

Makanannya, kalau boleh tahu, apa di sana?

Kalau di sana roti, kami sendiri tetap bawa beras. Jadi mereka itu makan roti. Roti sama humus ada sesuatu yang dicolek begitu kan

Itu tiga kali sehari atau gimana?

Mereka ada yang dua. Ada yang tiga kali.

Tapi ibu bisa diceritain nggak sih, fakta-fakta menarik yang orang nggak tahu, misalnya lihat di medsos doang?

Kita itu punya teman. Tim-tim saya itu suka ngobrol begini eh elu perhatiin nggak sih kalau kita nolong pasien dari tenda. Dari luar. Keringet-keringetan nggak ada yang bau ya. Nggak ada yang bau ketiak.

Nggak ada yang bau. Nggak ada loh. Padahal kan posisinya kurang air nggak mandi dan panas. Tinggalnya juga di tenda tapi dia nggak bau. Terus kita cari lagi ke teman-teman.

Cari tahu kan. Kalau kami kan di rumah sakit kebidanan. Artinya buka-bukaan doang. Kita tahu rumah kebidanan. Kita tanya lagi ke teman-teman yang di rumah sakitan aja. Kayak, iya kak nggak bau.

Nggak ada yang bau. Itu saya bilang mereka padahal makan bawang. Sama sama kita. Makannya apa sih gitu. Saya bilang, kalau mereka pakai deodoran, saya nggak yakin dalam situasi kayak gitu. Tapi itu fakta uniknya.

Terus, kalau kita lihat, tenaga kesehatan setiap hari datang. Mereka happy. Nggak pernah marah-marah. Padahal kan mereka melayani pasien suatu saat saya iseng kita berpikir mereka digaji nggak sih.

Mereka bilang digaji 100 USD per bulan. Kalau dilihat dari nominal, nggak masuk akal. Nggak sebanding. Mereka tetap survive sampai sekian bulan itu dengan harga-harga yang mahal. Dia bilang, kalau bukan kasih sayang Allah.

Mereka bisa bertahan.

Itu jawabannya. Saya nggak mau nanya lagi. Karena kasih sayang Allah. Mereka bisa bertahan. Benarnya hitung-hitungan Allah nggak pake kalkulator. Jangan pakai kalkulator manusia. (tribun network/reynas abdila)

Baca juga: Kisah Ita Muswita di Jalur Gaza, Relawan MER-C, Seri I

Sumber: Tribunnews
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved