Pemilu 2024

Ketika Politisi Tak Hiraukan Suara Suku Anak Dalam di Pemilu 2024

KPU Tanjung Jabung Barat sudah mengantisipasi untuk pendistribusian Tempat Pemungutan Suara(TPS) diwilayah yang sulit dijangkau ataupun akses jalan

|
Penulis: Rara Khushshoh Azzahro | Editor: Suci Rahayu PK
Tribun Jambi/ Rara Khushshoh Azzahro
Amira, masyarakat Suku Anak Dalam (SAD) sedang berdiri menghadap ke luar jendela di Ghumah Belajo-Rumah Belajar SAD. 

Desi, Sekretaris Dusun Dwi Karya Bakti mengatakan, warga lokal telah saling berbaur SAD, mereka hidup berdampingan dari tahun 1970-an. Menurutnya tentu kedekatan mereka berdampak pada kemudahan administrasi kependudukan untuk SAD yang difasilitasi pemerintah dusun.

“Pencetakan data kependudukan bagi SAD ke dinas terkait pun dimasukkan dalam program kerja pemerintah dusun,” kata Desi.

Iron Syahroni, Ketua KPU Provinsi Jambi menyebut data SAD di Provinsi Jambi yang sudah diterimanya sebanyak 1.991 orang yang tersebar di Kabupaten Merangin 489 orang, Kabupaten Batanghari 317 orang, Kabupaten Tebo 297 orang, Kabupaten Sarolangun 738 orang, dan Kabupaten Bungo 150 orang. Dengan rincian laki-laki 1.017 orang, sisanya perempuan.

“Kita masih menerima data SAD dari kabupaten lain. Untuk SAD pendataan mereka sudah kita lakukan sama seperti masyarakat lainnya. Mereka menetap, maka kita minta petugas kita dari bawah yaitu PPS itu untuk mendata terkait dengan pemutakhiran data pemilih, kita sudah minta petugas kita untuk turun mengecek, mendata termasuk SAD ini,” kata Iron.

Klaimnya terhadap sosialisasi pemilu, pendidikan politik ke SAD sebagai kelompok marginal sudah dilakukan secara maksimal dalam lima kabupaten melalui petugas PPS. Cara melakukan sosialisasi dan pendidikan politik katanya harus pakai pendekatan secara khusus.

Tetapi sayangnya, menurut informasi dari Azzahra, anggota panitia pemungutan suara (PPS) di Pelepat, data pilah yang spesifik untuk suara SAD di aplikasi yang dibuat oleh KPU RI tidak tertera. Data pilah masyarakat SAD tercampur dengan masyarakat umum. Padahal di lapangan petugas mengklaim telah melakukan pendataan secara terperinci.

“Percampuran data pada aplikasi itu berpotensi membuat evaluasi KPU dan Bawaslu terhadap hak pilih SAD ke depannya sulit. Mereka tidak bisa memilah data SAD, menganalisa kebutuhan, pendidikannya, dan poin lain yang krusial,” kata Azzahra.

Wein Arifin, Ketua Bawaslu Provinsi Jambi menyebutkan pendataan SAD memang harus rutin dievaluasi, SAD yang dianggap masih memiliki keterbatasan komunikasi perlu treatment khusus saat sosialisasi dilakukan oleh PPS. Terutama saat pemilu, SAD perlu tahu kapan mereka dapat mulai menggunakan hak pilihnya, dan harus tertera pendataan bagi SAD di website sistem informasi data pemilih (Sidalih).

“Kalau di Sidalih itu memang tidak ada template varian suku anak dalam, sama seperti warga negara yang lain. Tapi di KPU kabupaten/kota kami menginventarisir di mana lokasi yang ada suku anak dalam dengan mengecek DPT dalam suatu wilayah, ada berapa SAD. Kita melihat dari lokasi tinggal,” kata Wein.

Pola yang terbangun saat pemilu sampai hari ini di mata Muhammad Azim, Fasilitator Lapangan SAD dari Pundi Sumatra, selalu terulang. Deretan para caleg yang tidak mensosialisasikan visi misi dan edukasi politiknya seolah tidak peduli dengan suara SAD.

“Mungkin juga mereka merasa kesulitan merebut hati SAD. Karena mereka berpotensi hanya memilih nama caleg yang pernah membantu atau sekadar hadir di pemukiman SAD,” kata Azim.

Sementara itu, Wenny Ira Dharmasati, Akademisi dari Universitas Nurdin Hamzah Jambi menilai SAD hidup pragmatis yang mana caleg RI sampai dengan Tingkat kabupaten juga mendekati mereka melalui cara pragmatis. Memberi bantuan sembako atau uang pada SAD adalah satu di antara bentuk pendekatan pragmatis para Caleg. Sehingga itu menjadi “bargaining power” atau kekuatan melobi caleg saat mendekati SAD jelang pemilu. Tetapi Wenny mengatakan upaya pragmatis itu bukan satu-satunya cara caleg untuk melakukan pendekatan.

“Menggunakan strategi lain untuk melakukan pendekatan melalui kepala suku. caleg-caleg lain itu punya peluang yang sama untuk masuk ke komunitas mereka. Ambil lah, ini peluang yang menjual. Ini kan yang belum dilirik orang,” kata Wenny soal peluang suara SAD.

Tetapi Wenny menegaskan dari sisi etika perlu diperbaiki. Karena cara pragmatis pun perlu dimasukkan upaya membuat proses hidup SAD menjadi lebih baik. Apabila caleg RI, provinsi hingga kabupaten menjabat apa yang diperjuangkan untuk masyarakat adat ini.

“SAD jangan hanya dijadikan komoditas suara setiap lima tahunan,” tegas Wenny.

Halaman
123
Sumber: Tribun Jambi
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved