LIPUTAN KHUSUS

Bertaruh Nyawa Demi Anak Didik, Kisah Guru di Daerah Terpencil Tanjab Barat dan Tanjab Timur Seri 1

Menurut Hadi, suka duka yang saat mengajar di wilayah terpencil seperti Sadu, selain lokasi jauh, juga terkendala sinyal. "Sehingga, ketika ada

|
Penulis: tribunjambi | Editor: Duanto AS
TRIBUN JAMBI/SOPIANTO
Siswa SMPN Satap 7 Pengabuan, Desa Sungsang, Kecamatan Senyerang, Kabupaten Tanjab Barat, melakukan pengamatan kondisi lingkungan di SDN 126. 

TRIBUNJAMBI.COM, JAMBI -  Budi Teguh Haryanto harus berjalan kaki sekira lima kilometer untuk menjemput anak didiknya supaya sekolah, ketika masa panen kelapa sawit tiba.

Penyebabnya, sang murid meliburkan diri dari sekolah untuk membantu orang tua panen.

Itulah secuil gambaran perjuangan guru di Desa Sungsang, Kecamatan Senyerang, Kabupaten Tanjung Jabung Barat, Provinsi Jambi, dalam kegiatan belajar-mengajar, Jumat (24/11).

Setiap kabupaten di Provinsi Jambi, dari ujung timur hingga barat, memiliki kisah unik dunia pendidikan.

Tribun Jambi secara khusus menyajikan kisah-kisah perjuangan para guru, untuk memperingati Hari Guru yang jatuh pada Sabtu, 25 November.

Seperti yang dialami Budi Teguh, guru SMP Satap 7 Pengabuan di Desa Sungsang.

Guru yang berstatus aparatur sipil negara (ASN), itu mengatakan ada 59 anak didik di sekolahnya.

Dari jumlah itu, ada sebagian orang tua murid yang menganggap pendidikan sebagai hal penting, namun ada yang sedikit mengabaikannya.

"Tidak semuanya seperti itu, ada satu atau dua orang, bahkan ada juga yang sampai ke perguruan tinggi. Dan kami pihak sekolah menfasilitasi, kita cari perguruan tinggi mana yang bisa masuk," kata guru yang mengajar di daerah terpencil itu.

Budi bercerita kesulitan anak-anak belajar ke sekolah lantaran kurangnya motivasi dari orang tua bahwa pendidikan sangat penting bagi individu dan masyarakat. "Memandang pendidikan bukan suatu prioritas," tuturnya.

Sebagian dari siswa meliburkan diri demi ikut membantu orang tua pada musim panen kelapa sawit dan kelapa. "Itu untuk pekerjaan ya, mereka meliburkan diri," terangnya.

Libur Saat Pesta

Cerita lain di daerahnya, saat ada hajatan atau pesta keluarga atau tetangga, anak didiknya juga meliburkan diri.

Padahal, waktu hajatan itu dua hingga tiga hari, tentunya mereka akan tertinggal pelajarannya.

"Saya sering kasih motivasi juga. Ketika kamu rajin ke tempat budemu, apakah ketika kamu sudah besar nanti, apakah kamu minta duit kepada budemu? Jika kamu tidak kerja dengan layak, kan tidak bisa," kata ujar Budi.

Budi mengatakan tujuan pendidikan, seperti di Kurikulum Merdeka, ruh dari pendidikan menjadikan manusia menemukan kodrat alam dan kodrat zamannya.

Dia meyakini, setiap manusia memiliki bakat sejak lahir untuk menjadi manusia yang utuh.

"Siapa manusia yang utuh itu, manusia yang mandiri yang bermanfaat bagi dirinya sendiri dan orang-orang lain disekitar nya," ucapnya.

Susah Sinyal

Di Desa Sungsang, kondisi layanan telekomunikasi sedikit terganggu, semisal sinyal internet.

Namun di titik tertentu, sinyal ada. Namun, kata Budi, sangat disayangkan titik itu malah dimanfaatkan anak-anak untuk bermain permainan dalam jaringan (daring; game online).

Para guru pun kerap mendapat kendala mengakses layanan internet karena jaringan tidak stabil. Imbasnya, saat pelaksanaan Asesmen Nasional Berbasis Komputer (ANBK) pengganti Ujian Nasional (UN), mereka harus mengungsi ke tempat dengan jaringan lebih stabil.

"Kami ngungsi ke rumah yang sinyalnya bagus. Sebenarnya sinyal ada, cuma hilang timbul," ungkapnya.

Inovasi pun coba dilakukan Budi dan kawan-kawan guru agar proses belajar-mengajar terus berlangsung.

Untung saja, saat ini ujian sudah berbasis offline, menggunakan aplikasi, tidak membutuhkan sinyal internet.

Di wilayah itu, akses menuju sekolah masih jalan tanah, pengerasan jalan belum merata.

Para guru dan murid akhirnya harus berjalan kaki ke sekolah. "Karena jalan tersebut tidak bisa dilalui kendaraan saat turun hujan," terangnya.

Jarak rumah mereka ke sekolah pun cukup jauh. Ada yang 1 Km, 3 Km, 5 Km dan 6 Km.

Meski kondisi seperti itu, Budi Teguh tak pernah mengeluh saat memberikan pengetahuan kepada anak didiknya.

112 Guru di Tanjab Barat

Kepala Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kabupaten Tanjab Barat, Dahlan, mengatakan ada 127 guru yang mengajar di daerah terpencil. Mereka tersebar di beberapa desa.

"Ada 127 orang guru yang mengajar di desa terpencil di Kabupaten Tanjung Jabung Barat," ujarnya.

Dari jumlah itu, 47 orang berstatus ASN, 31 orang berstatus pegawai pemerintah dengan perjanjian kerja (PPPK), dan 49 orang berstatus tenaga honorer.

Mengarungi Laut Bertaruh Nyawa

Agus Hadi, pernah mengajar di SMPN 6 Tanjab Timur, di Desa Sungai Lokan, Kecamatan Sadu, sejak 2009-2018, sebelum menjadi Kepala SMPN Satap 1 Desa Alang-Alang, Tanjab Timur.

"Selama ini saya tidak pernah bermimpi untuk mengajar di daerah terpencil yang sangat jauh dari ibu kota Tanjab Timur," ujarnya, Jumat (24/11)

Perjuangan Hadi kala itu sangat berat. Untuk sampai ke lokasi mengajar, dia harus menyeberangi laut sekira 40 menit.

Meski nyawa menjadi taruhan, Hadi tetap mengabdi demi mencerdaskan anak bangsa.

Awal mula bertugas di Sadu, setelah lulus CPNS pada 2009 silam. Sadu merupakan wilayah paling timur Jambi.

Perlu waktu seharian untuk sampai ke sana jika berangkat dari Jambi.

"Jadi waktu itu transportasi belum bisa melalui Sabak, karena belum ada jembatan. Tentunya kami harus lewat Swak Kandis, dan sambung speedboat menju Nipah dan baru nyebrang menggunakan pompong ke Sadu," ujarnya.

Itu memang daerah terpencil. Tapi, kata Hadi, kalau untuk semangat kerja dan motivasi, guru-gurunya tidak tertinggal dengan guru di kabupaten.

Terbukti, Hadi pernah mengikuti uji kompetensi dan lolos passing grade di atas rata-rata.

Dalam mata pelajaran IPA, Hadi termasuk tiga terbaik dan tiga nilai tertinggi untuk Kabupaten Tanjab Timur.

"Dan alhamdulillah, pada masa Menteri Pendidikan Anies Baswedan, saya terpilih sebagai instruktur nasional untuk mata pelajaran IPA," ucapnya.

Selalu Ketinggalan Informasi

Menurut Hadi, suka duka yang saat mengajar di wilayah terpencil seperti Sadu, selain lokasi jauh, juga terkendala sinyal.

"Sehingga, ketika ada infomasi secara online, kita sering terlambat. Dan jika ada informasi mendadak, seperti pertemuan, tentu kita tidak bisa hadir," ucapnya.

Namun, jika berbicara masalah kultur masyarakat di sana, meski Sadu merupakan daerah terpencil, tapi rasa hormat masyarakat terhadap guru sangatlah tinggi.

"Mereka sangat menghormati keberadaan guru, tegur sapa dan ramah, itu yang saya rasakan selama di sana.

Tentunya suasana hangat seperti itu sangat saya rindukan," ucap Hadi.

Berkat kinerja dan dedikasi yang tinggi, akhirnya Hadi pindah tugas dari Sadu, lalu sempat bertugas di Nipah Panjang selama 4 tahun, hingga kini menjadi Kepala SMPN Satap 1 Desa Alang-Alang Tanjabtimur.

Dengan prestasi yang diperoleh, Hadi merasa bersyukur, karena pekerjaan yang saat ini ia jalani, barang kali merupakan impian dari ratusan atau ribuan orang lain.

"Maka, ketika Allah memberikan kesempatan ini, tentu saya sangat bersyukur, dan saya selalu berusaha semaksimal mungkin membagi apa yang saya tahu kepada murid-murid sewaktu masih menjadi guru," ucapnya.

"Walapun kita mengajar didaerah terpencil dan mungkin orang memandang kita sebelah mata, tapi itu tidak menghalangi atau tertinggal dalam meraih prestasi," pungkasnya. (cso/cna)

Baca juga: Dulu Sekolah SMP dan Pondok Pesantren, Bincang Bareng Maulana, Wawako Jambi 2018-2023

Baca juga: Kisah Istri Capres, Siti Atiqoh dan Jurus Jaga Kondisi Ganjar Pranowo

Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved