Harga BBM Naik
Harga Tiket Bus Kompak Naik, Termahal Rp675 Ribu Termurah Rp146 Ribu
Perusahaan otobus (PO) kompak menaikkan harga tiket dalam hitungan lima jam setelah pemerintah memberlakukan kenaikan harga
Selanjutnya, khusus bus Lampungan LE-110, LE-112, LE-114, LE-111, LE-113 dan LE116, Lorena - Karina menggunakan tarif TMT 1 Juni 2022 ditambah Rp 40.000. Kenaikan harga BBM dimulai sejak Sabtu (3/9) pukul 14.30 WIB. Ada tiga jenis BBM yang dinaikkan harganya untuk mengurangi beban subsidi, diantaranya Pertalite dari harga awal Rp 7.650 per-liter menjadi Rp 10.000 per-liter. Lalu ada Solar dari Rp 5.150 per-liter naik menjadi Rp 6.800 per-liter. Terakhir Harga Pertamax naik dari Rp 12.500 per-liter menjadi Rp 14.500 per-liter.
Harus Mitigasi
Ketua Komite Analis Kebijakan Ekonomi Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Ajib Hamdani, menyatakan ada dua efek yang perlu dimitigasi dengan baik oleh pemerintah karena dampak kenaikan harga BBM ini.
"Efek pertama adalah tertekannya daya beli dan tingkat konsumsi oleh masyarakat. Karena pertumbuhan ekonomi sedang dalam tren positif dan hal ini secara signifikan ditopang oleh konsumsi masyarakat. Kuartal kedua tahun 2022 ini pertumbuhan ekonomi mencapai 5,44 persen dan diproyeksikan oleh pemerintah bisa konsisten di atas 5 persen secara agregat di akhir 2022. Untuk mencapai proyeksi ini, daya beli dan konsumsi masyarakat harus terjaga dengan baik," tutur Ajib.
Efek kedua yang menjadi potensi masalah adalah tingkat inflasi. Data inflasi pada kuartal kedua sebenarnya sudah cukup mengkhawatirkan karena sudah menyentuh angka 4,94 persen.
Di sisi lain, proyeksi pemerintah, inflasi hanya di kisaran 3 persen secara agregat sampai akhir tahun 2022. Karena inflasi ini, secara langsung akan menjadi pengurang tingkat kesejahteraan masyarakat.
"Sebuah capaian pertumbuhan ekonomi yang tinggi, akan menjadi tidak bermakna ketika inflasi juga tidak terkontrol. Karena secara substantif, tingkat kesejahteraan masyarakat tidak naik," jelasnya.
Imbas kenaikan BBM ini, akan memberikan dampak kenaikan inflasi, karena dua hal, yaitu karena aspek kesekonomian dan aspek psikologi pasar.
Dalam konteks ekonomi, setiap kenaikan Harga Pokok Produksi (HPP) akan berakibat secara langsung terhadap harga akhir barang atau jasa, sehingga harga di tingkat konsumen akhir atau masryarakat, akan mengalami kenaikan.
Sedangkan dalam konteks psikologi pasar, maka masyarakat yang terbebani konsumsinya karena kenaikan harga-harga, juga akan menaikkan harga produksinya, walaupun tidak ada efek secara langsung atas kenaikan Harga Pokok Produksi atau HPP.
"Menarik kemudian, ketika pemerintah membuat paket kebijakan dengan menggelontorkan bantuan sosial (bansos) yang langsung dicairkan pada Bulan September ini. Dimana Bansos ini terbagi dalam enam paket, yakni Bantuan Subsisdi Upah (BSU), BLT Dana Desa, Kartu Prakerja, BLT Masyarakat, Bantuan Pokok Nontunai (BPNT) dan BLT UMKM. Alokasi bansos ini diambilkan dari dana APBN, yang bersumber dari program penanganan pandemi Covid-19 dan Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN)," ungkap Ajib.
Ajib menambahkan Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati, melakukan langkah cerdas dengan mekanisme ini, karena secara jangka penjang akan mengamankan struktur APBN."Tahun 2023 nanti sudah habis masa berlakunya UU No 2 tahun 2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan untuk Penanganan Pandemi Covid-19, sehingga selanjutnya struktur keuangan APBN kembali maksimal defisit 3 persen dari PDB," imbuhnya.
Setelah dimanjakan dengan UU ini, sehingga tiga tahun berturut-turut APBN bisa defisit di atas 3 persen, tahun 2023 pemerintah harus kembali menyusun APBN dengan lebih prudent. Alternatifnya adalah dengan menambah penerimaan melalui peningkatan pajak, atau mengurangi beban subsidi.
"Pengurangan subsidi BBM ini adalah langkah rasional yang didorong oleh Kemenkeu untuk mengamankan APBN 2023," ujar Ajib.
Paket kebijakan pemerintah dengan memberikan bansos, relatif bisa menjawab potensi masalah dalam menjaga daya beli masyarakat."Pertanyaan selanjutnya adalah, bagaimana pemerintah akan menjaga inflasi? Ketika belum ada regulasi yang didorong untuk mengendalikan inflasi, maka proyeksi pemerintah akan sulit tercapai. Proyeksi inflasi akan terkerek di atas 4 persen secara agregat di akhir 2022. Jadi, pemerintah sudah relatif bisa menjaga potensi masalah jangka pendek atas tertekannya daya beli masyarakat, tapi masih ditunggu kebijakan strategis jangka panjang untuk bisa mengendalikan meroketnya inflasi," ucapnya.