Kesehatan

Beli Obat Antibiotik Harus dengan Resep Dokter Guna Cegah Resistensi Antimikroba

Resistensi antimikroba kini menjadi isu kesehatan global. Di Indonesia sendiri, melalui Kementerian Kesehatan RI (Kemenkes) terus mengantisipasi

Editor: Fifi Suryani
Freepik.com
Ilustrasi beli obat antibiotik 

TRIBUNJAMBI.COM, JAKARTA - Resistensi antimikroba kini menjadi isu kesehatan global. Di Indonesia sendiri, melalui Kementerian Kesehatan RI (Kemenkes) terus mengantisipasi masalah kesehatan resistensi mikroba ini.

Wakil ketua PP Ikatan Apoteker Indonesia, Prof Dr apt Keri Lestari MSi mengatakan, perlu perhatian serius terhadap pratik penjualan antibiotik di masyarakat. Ia menegaskan, antibiotik merupakan obat keras yang penggunaannya harus dengan resep dokter serta pemberian obatnya sebaiknya dengan pendampingan dari apoteker di apotek.

"Sudah diatur. Jadi antibiotik itu termasuk dalam kategori obat keras sehingga penggunaannya harus dengan resep dokter. Artinya harus dipantau atau didampingi oleh dokter," kata dia saat dihubungi Tribun, Jumat (26/8).

Guru Besar Farmakologi dan Farmasi Klinik Universitas Padjajaran ini menjelaskan  penggunaan antibiotik yang tidak bijak, berlebihan, dan tidak tepat menjadi salah satu faktor munculnya resistensi mikroba.

Masyarakat perlu memahami bahwa penggunaan antibiotik tidak boleh sembarangan."Ada risiko efek sampingnya jika penggunaannya tidak sesuai aturan," kata Prof Keri.

Adapun bentuk pengawasan Ikatan Apoteker Indonesia dalam penggunaan antibiotik ini adalah memastikan apoteker berada di apotek selama apotek beroperasi melayani resep. "Di asosiasi ada yang disebut tatap, tiada apoteker tiada pelayanan. Jadi untuk pemberian antibiotik harus diresepkan oleh dokter dan diberikan apoteker. Tidak bisa diminta tanpa resep, apotek tidak akan melayani," ujar Prof Keri.

Prof Keri pun memberikan pesan kepada masyarakat agar melakukan pembelian antibiotik dilakukan di apotek, karena sumber distribusi obatnya sesuai aturan dan tata cara penyimpanannya sesuai karakter obat sehingga pasien mendapatkan obat dalam kondisi baik dan terjaga kualitasnya. Prof Keri juga mengingatkan, pentingnya masyarakat mengetahui penggunaan antibiotik yang tepat dan bijak. Saat ini, sedang dilakukan riset untuk mengetahui suatu penyakit memerlukan perlu antibiotik atau tidak.

"Nanti kita screening dulu, penyakit apa, perlu antibiotik atau tidak. Kan pemberian antibiotik ini enggak sembarangan. Sehingga antibiotiknya benar-benar digunakan untuk mengatasi penyakit," terang dia.

Selain itu, masyarakat diharapkan melakukan pembelian antibiotik di apotek yang teregistrasi, agar terjamin penyimpanan dan kualitasnya. Ia mengatakan, penggunaan antibiotik yang tidak bijak, berlebihan, dan tidak tepat menjadi salah satu faktor munculnya resistensi mikroba. Jika antibiotik diberikan pastikan minumnya secara displin serta dihabiskan. Risikonya antibiotik tidak habis, tidak sesuai dosis aturan maka terjadi mutasi mikroba, sasaran antibiotik tersebut.

Jika terjadi mutasi dan kemudian menulari pasien lain akan terjaid resistensi antibiotik komunitas. "Jadi untuk menghindari resistensi ikuti, patuhi cara makan antibiotik yang benar habiskan," pesan Prof Keri.

Mantan Direktur Penyakit Menular serta Mantan AMR focal point, WHO Asia Tenggara, Prof Tjandra Yoga Aditama jika antibiotik bisa mengalami resistensi, atau antimicrobial resistance (AMR). Hal ini mengakibatkan jutaan orang meninggal akibat AMR.

Resistensi merupakan kemampuan bakteri untuk menahan, melawan, dan menghentikan efek membinasakan dari obat antibiotik. "Suatu keadaan dimana antimikroba. Bisa dalam bentuk antibiotik, anti virus, anti jamur, anti parasit, anti tuberkulosis dan sebagainya. Tidak lagi dapat menjalankan fungsinya untuk menangani infeksi akibat berbagai bakteri, kuman, virus, jamur, parasit," ujarnya.

Namun, pada pertemuan G 20 di Bali, Prof Tjandra menyebutkan jika terdapat berbagai data di dunia yang cukup mencengangkan. Yaitu, ada 4 dampak yang bisa disebabkan oleh AMR. Pertama, tambahan beban kesehatan sampai 1 trilyun. Kedua, sebanyak 28 juta orang hidup dalam kemiskinan. Ketiga, 7,5 persen penurunan ternak pada 2050 mendatang.

Keempat, pada negara berpenghasilan menengah dan kecil, satu orang anak meninggal setiap tiga menit akibat Infeksi darah yang disebabkan bakteri yang resisten

Halaman
12
Sumber: Tribunnews
BERITATERKAIT
  • Ikuti kami di
    KOMENTAR

    BERITA TERKINI

    berita POPULER

    © 2023 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved