Editorial

Menyoal Anjloknya Harga TBS

Sebelum akhirnya harga TBS terus menukik ke harga Rp4.000-an, hingga akhirnya amblas ke harga ratusan rupiah per kilogram.

Editor: Deddy Rachmawan
TRIBUNJAMBI
TBS kelapa sawit sedang diangkut ke truk, untuk selanjutnya dibawa ke pabrik kelapa sawit. Harga TBS sawit terbaru di Jambi awal Juli 2022 akan lebih rendah dibandingkan akhir Juni 2022. 

Berbulan, bahkan hitungan tahun harga TBS (tandan buah segar)  kelapa sawit Indonesia, Jambi khususnya berada di angka menggembirakan. 

Sebelum akhirnya harga TBS terus menukik ke harga Rp4.000-an, hingga akhirnya amblas ke harga ratusan rupiah per kilogram.

Kebutuhan energi internasional pasca pandemi Covid-19 menggiringnya ke harga yang konon tertinggi dalam sejarah.  Namun, stagnannya permintaan saat ini membuat ekspor menurun, hingga pabrik harus mengurangi produksi.

Seterusnya, pabrik menolak TBS petani hingga ada yang kemudian memilih membiarkan sawit membusuk tanpa panen. Sebagian pihak menganggap pelarangan ekspor beberapa waktu lalu menjadi penyebab anjloknya harga. 

Namun, tidak berselang lama keran ekspor kembali dibuka.  Meski begitu tetap tak mengkerek harga bahkan terus ke angka terendahnya.

Dewan Minyak Sawit Indonesia (DMSI) mengungkap fenomena global kebijakan pengurangan konsumsi sawit oleh India dan China sebesar 4,8 juta ton per tahun.

Di samping itu, Asosiasi Kedelai Amerika (American Soybean Association/ASA) menggelontorkan minyak kedelai ke pasar dalam jumlah yang besar yakni 2-3 juta ton.

Fenomena tersebut menjadikan pasar ekspor untuk minyak nabati atau vegetable oil semakin ketat.  Hal tersebut berdampak pada penurunan harga CPO di pasar global.

Di sisi lain, pemerintah menetapkan kebijakan domestic market obligation (DMO) dan domestic price obligation (DPO) dengan ketentuan 5:1 bagi produsen jika ingin mengekspor CPO-nya.

Hal tersebut bertujuan agar minyak goreng curah bisa membanjiri pasaran dan harganya sesuai harga eceran tertinggi yakni Rp14 ribu per liter. Sudah ada 41 perusahaan yang memperoleh izin atau persetujuan ekspor dalam skema ini dari Kementerian Perdagangan (Kemendag). 

Petani sawit di Sungai Bahar, Provinsi Jambi
Petani sawit di Sungai Bahar, Provinsi Jambi (TRIBUNJAMBI/FB/Yohanes Manik)

Sebaliknya, DMSI mendesak beberapa kebijakan terkait minyak goreng dicabut dan dilepaskan ke mekanisme pasar.

Faktor eksternal pengurangan konsumsi sawit di negara ekspor, dan faktor internal kebijakan pemenuhan kebutuhan dalam negeri.

Baca juga: Soal Harga TBS Anjlok, Ini Tanggapan DPRD Batanghari

Kedua faktor ini bisa bergeser sesuai kebutuhan dan pencapaian target.  Jika harga minyak goreng dalam negeri sudah stabil, perusahaan bisa kembali mengekspor maksimal.

Namun, jika pihak luar sudah membatasi konsumsi tentu tak dapat didikte apalagi dipaksa.  Setiap usaha ada saatnya meraih capaian tertinggi, namun bisa saja tengkurap sewaktu-waktu.

Perhitungan akan risiko perlu dilakukan sedari dini, sehingga saat kondisi tidak baik-baik saja tidak harus terpuruk terlalu dalam.(*)

Sumber: Tribun Jambi
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved