Harga Beras dan Cabai Naik, Imbas Demo Sopir Truk Tolak Aturan ODOL
Dampak aksi demo menolak kebijakan truk kelebihan muatan dan berdimensi lebih atau over dimension-over load (ODOL) di berbagai daerah
TRIBUNJAMBI.COM, JAKARTA - Dampak aksi demo menolak kebijakan truk kelebihan muatan dan berdimensi lebih atau over dimension-over load (ODOL) di berbagai daerah memicu kenaikan harga beras. Wakil Ketua Persatuan Pengusaha Penggilingan Padi dan Beras Indonesia Billy Haryanto menyampaikan, pada hari ini beras yang masuk ke Pasar Induk Cipinang, Jakarta kurang dari 1.000 ton, di mana idealnya sehari 2.500 ton per hari.
Akibat dari kekurangan pasokan beras tersebut, kata Billy harga jual beras menjadi meningkat. "Saat ini harga beras naik di angka Rp 200 sampai Rp 300 per kilogram. Kebijakan ODOL ini lebih banyak mudaratnya, semua logistik bermasalah, bukan hanya beras," kata Billy, Rabu (23/2).
Selain beras, Billy menyebut harga komoditas lain di Jakarta seperti cabai turut terkerek naik gara-gara kebijakan ODOL. Oleh sebab itu, Billy pun meminta pemerintah meninjau kembali kebijakan tersebut agar alur logistik kembali normal.
"Ini kebijakan ekstrem, dampaknya juga cukup ekstrem," kata Billy.
Diketahui, sopir angkutan barang di Jawa Timur, Jawa Tengah, dan Jawa Barat menggelar demo memprotes aturan Kementerian Perhubungan tentang muatan truk obesitas atau over dimension over loading (ODOL). Adapun Kementerian berencana menerapkan kebijakan zero ODOl mulai 1 Januari 2023. Sopir meminta pemerintah mengkaji ulang aturan larangan truk ODOL, karena dinilai merugikan perusahaan pengangkutan.
Masih banyaknya truk kelebihan muatan dan berdimensi lebih atau over dimension-over load (ODOL) beroperasi di jalan dinilai akibat pengusaha yang enggan mengurangi keuntungannya. Ketua Bidang Advokasi dan Kemasyarakatan Masyarakat Transportasi Indonesia (MTI) Djoko Setijowarno mengatakan, akar masalah truk ODOL adalah tarif angkut barang semakin rendah, karena pemilik barang tidak mau keuntungan selama ini berkurang di tengah biaya produksi dan lainnya meningkat.
"Pemilik armada truk atau pengusaha angkutan barang juga tidak mau berkurang keuntungannya. Hal yang sama, pengemudi truk tidak mau berkurang pendapatannya," ujar Djoko.
Menurutnya, pengemudi selama ini telah menutupi biaya tidak terduga saat membawa truk yang kelebihan muatan dengan menggunakan kendaraan berdimensi lebih. "Sejumlah uang yang dibawa pengemudi truk untuk menanggung beban selama perjalanan, seperti tarif tol, pungutan liar yang dilakukan petugas berseragam dan tidak seragam, parkir, urusan ban pecah, dan sebagainya. Uang dapat dibawa pulang buat keperluan keluarga tidak setara dengan lama waktu bekerja meninggalkan keluarga," paparnya.
Djoko menyebut, membawa kelebihan muatan jelas tidak diinginkan pengemudi, karena mereka tahu kalau hal itu berisiko terhadap keselamatannya dan apabila terjadi kecelakaan lalu lintas akan dijadikan tersangka. Oleh sebab itu, Djoko menilai penetapan tarif angkut barang dapat dikendalikan pemerintah dengan tarif batas atas dan tarif batas bawah. Hal ini dilakukan agar pemilik barang tidak seenaknya menentukan tarif yang berujung pengemudi truk harus mengangkut muatan yang berlebihan dengan kendaraan berdimensi lebih. "Jika terjadi kecelakaan lalu lintas, tidak hanya pengemudi yang dijadikan tersangka, namun pemilik barang dan pemilik angkutan juga harus dimintakan pertanggungjawabannya," paparnya.
Pemerintah selama ini, kata Djoko, baru mengajak pemilik barang dan pengusaha angkutan barang untuk berdiskusi menyelesaikan masalah truk ODOL. "Tidak ada salahnya untuk mendengar keluhan pengemudi truk, karena mereka adalah bagian tidak terpisahkan dari proses mata rantai penyaluran logistik dari hulu hingga hilir," ucap Djoko.
"Titik lemah penertiban atau pemberantasan truk ODOL ada di penegakan hukum. Jika konsisten, pasti ada perubahan dan jika hanya sekedar memenuhi perintah pimpinan dan hanya sesekali dilakukan, jangan harap ada perubahan," sambungnya.
Kemenhub Audiensi
Direktur Jenderal Perhubungan Darat Kementerian Perhubungan Budi Setiyadi mengatakan, pihaknya akan melakukan audiensi terhadap perwakilan dari para sopir. Namun dipastikan soal aturan yang sudah ada untuk ODOL akan tetap berjalan.
"Kita berusaha kooperatif, mungkin nanti beberapa perwakilan dari pengemudi atau asosiasi bisa bertemu langsung dengan saya. Kita dengar aspirasi dan diskusikan bersama," ucap Budi.
Soal sanksi, Budi menjelaskan bila tersebut sudah dibahas jauh-jauh hari yang akan dituangkan pada revisi Undang Undang Lalu Lintas dan Jalan Raya Nomor 22 Tahun 2009. Menurut Budi, terkait soal penindakan nantinya tidak hanya menyasar sopir dan pemilik kendaraan saja, tapi juga ikut menyeret para pemilik barang atau pengguna jasa.
"Rencana pada revisi UU Nomor 22 ada perluasan sanksi terkait ODOL yang juga menyertakan pemilik barang. Bahkan kami sudah sering mendiskusikan bersama dengan Komisi V DPR atau di FGD. Selain itu, ada juga nanti sanksi yang dibuat lebih berat lagi," kata Budi. Lebih lanjut Budi menjelaskan, langkah-langkah pemerintah dalam melakukan penertiban ODOL dilakukan bersama dengan asosiasi pengemudi, bahkan menggandeng pihak lain termasuk agen pemegang merek (APM) yang memasarkan truk.
Hal tersebut lantaran pada dasarnya, pemerintah peduli dengan para sopir. Bahkan berusaha untuk tak menjadikan pengemudi dari truk ODOL sebagai korban, baik dari sisi pengenaan sanksi dan yang lebih penting terkait keselamatan saat beroperasi. Upaya-upaya tersebut beberapa sudah mulai dilakukan, misal seperti penindakan atau pemberian sanksi bagi pelaku karoseri. Sampai mengusut oknum-oknum yang dengan sengaja mengoperasikan ODOL sampai menelan korban jiwa akibat menyebabkan kecelakaan.
"Selama ini banyak pengemudi yang tak tahu menahu bila tiba-tiba kendaraannya dimuati barang berlebih sampai 100 persen. Itu kan berbahaya, kendaraan jadi lambat kecepatannya, rawan rem blong, kasihan bila pengemudi jadi korban. Sebetulnya kami melindungi dan mencari jalan tengah supaya mereka tak menjadi korban saja," ujar Budi.
Terkait hal tersebut, pemerintah diminta membenahi hulu atau perusahaan yang membawa produknya dengan truk kelebihan muatan dan berdimensi lebih atau over dimension-over load (ODOL). Anggota Komisi V DPR Irwan mengatakan, penindakan truk ODOL di lapangan jangan pilih kasih dan tidak berkeadilan. "Sopir yang merupakan rakyat kecil ditindak atau dihentikan kendaraannya tapi pemerintah tidak pernah menyentuh hulunya, para pengusaha pemilik kendaraan, pemilik barang pun juga para pabrik yang memproduksi kendaraan ODOL ini," kata Irwan.
Menurutnya, para sopir truk jangan jadi korban kepentingan ekonomi para pelaku usaha, misalnya dengan mengerahkan melakukan aksi demo menolak aturan ODOL. "Itu harus ditindak penegak hukum kalau ada upaya para pelaku usaha atau pemilik barang mengkonsolidasi sopir untuk demo menutup jalan," papar Irwan.
Irwan menjelaskan, permasalahan ODOL sudah lama terjadi dan berlarut-larut, tetapi kerugian maupun kerusakan yang ditimbulkannya tiap hari berlangsung. Bahkan, setiap tahunnya terhitung Rp 43 triliun kerugian negara ditimbulkan oleh ODOL.
"Belum lagi polusi, korban meninggal dari kecelakaan lalu lintas akibat operasional mereka. Makanya ditargetkan 2023 bebas ODOL, negara-negara lain sudah lebih dulu bebas ODOL," tutur politikus partai Demokrat itu.
Untuk mengatasi persoalan tersebut, kata Irwan, Komisi V DPR mendorong melakukan revisi Undang-Undang Nomor 22 Tahun tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan (LLAJ) agar mendukung penegakan dan penindakan ODOL. "UU Jalan sudah selesai dan tahun 2022 ini kita akan revisi UU LLAJ yang akan lebih tegas lagi untuk sanksi dan penindakan pelanggaran ODOL," ujarnya.
Terkait adanya penolakan pengusaha terhadap aturan dan bebas ODOL 2023, Irwan menyebut, mereka harus patuh pada amanat undang-undang dan peraturan di bawahnya. "Tidak boleh menang dan mau untung sendiri sementara negara dan mayoritas rakyat menanggung kerugiannya," ujarnya.
"Saya pikir Kemenhub bersama Korlantas Polri, Kementerian PUPR bisa memanggil perwakilan pengusaha dan menjelaskan rencana pemerintah ke depan terkait Bebas ODOL 2023," sambungnya.
Pengusaha Minta Tunda
Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) mengusulkan agar kebijakan bebas truk kelebihan muatan dan dimensi (over dimension overload/ODOL) diundur pemberlakuan penuhnya dari semula tahun 2023 menjadi 2025. Hal ini mempertimbangkan kondisi industri nasional yang masih terpukul akibat pandemi Covid-19.
Ketua Umum Apindo Hariyadi Sukamdani mengatakan penerapan zero ODOL ini akan sulit dilaksanakan pada 2023 mendatang. Dia beralasan masa pandemi Covid-19 telah membuat perekonomian Indonesia mundur.
“Kita tahu semua bahwa perekonomian selama pandemi sangat terpuruk. Karenanya, kami usul kebijakan zero odol ini diundur paling tidak dua tahun atau di Januari 2025,” kata Hariyadi.
Hariyadi menegaskan, Apindo mendukung penerapan zero ODOL yang dicanangkan Kementerian Perhubungan (Kemenhub). Namun lantaran dunia usaha terpukul pandemi Covid-19, maka pihaknya mengusulkan agar kebijakan zero ODOL ini diundur hingga 2025 mendatang.
Dengan mundurnya batas akhir kebijakan tersebut, kata Hariyadi, ada waktu bagi pelaku usaha untuk mempersiapkan diri. “Untuk saat ini, tidak mungkin memaksakan sesuatu yang hanya bisa dilakukan dalam kondisi normal,” kata Hariyadi. Dia mengatakan zero ODOL mempunyai konsep bagus yakni menyesuaikan kondisi daya dukung jalan dengan angkutan truk yang lewat agar biaya perawatan jalan jadi tidak mahal. “Pada prinsipnya dunia usaha mendukung kebijakan itu,” katanya.
Sembari menunggu penundaan kebijakan zero ODOL di 2025, Hariyadi menyarankan pemerintah perlu menyiapkan sejumlah insentif bagi dunia usaha agar kebijakan itu bisa direalisasikan. Hal ini, kata Hariyadi, karena ada alokasi dana cukup besar yang harus dikeluarkan pengusaha untuk peremajaan truk dan investasi truk baru.
Hariyadi juga minta ke pemerintah agar memberikan subsidi kepada pelaku usaha yang meremajakan truk lama dan pengadaan truk baru. “Anggaran subsidi ini bisa diambilkan dari pos anggaran pemeliharaan jalan,” katanya.