Miris, Ibu Terpaksa Jual Anak Kembarnya Demi Bisa Makan, Suami: Kami Lapar dan Miskin
Seorang ibu di Afghanistan terpaksa menjual salah satu dari anak kembarnya yang baru lahir demi mendapat uang untuk membeli makanan.
TRIBUNJAMBI.COM, KABUL - Kondisi ekonomi yang buruk memaksa seorang ibu menjual anak kembarnya yang baru dilahirkan demi mendapat uang untuk makan keluarganya.
Diketahui seorang ibu di Afghanistan terpaksa menjual salah satu dari anak kembarnya.
Kondisi Afghanistan semakin buruk akibat krisis ekonomi, krisis pangan, dan kekeringan setelah Taliban menguasai negara itu pada Agustus lalu.
Ibu berusia 40 tahun dari Provinsi Jawzjan, memberikan salah satu bayi kembarnya ke pasangan tanpa anak dengan imbalan 104 dolar AS atau setara Rp1,4 juta.
Ia berharap uang tersebut akan cukup untuk membeli makan keluarganya selama 6 bulan ke depan.
Dikutip dari Daily Mail, kekeringan telah memaksa ibu itu dan keluarganya untuk meninggalkan lahan pertanian mereka di awal tahun ini dan pindah ke kota terdekat, sementara suami dan putra sulungnya bekerja sebagai buruh.
Baca juga: Kemarahan Taliban pada PBB Tak Bisa Dibendung: Ini Penolakan Terang-terangan
Tetapi setelah Taliban kembali berkuasa, ekonomi Afghanistan justru menjadi hancur dan pekerjaan terbatas.
PBB pun memperingatkan lebih dari setengah populasi Afghanistan akan menghadapi kelaparan pada musim dingin.
Masalah tersebut diperparah dengan banyaknya lembaga bantuan meninggalkan negara tersebut, seiring runtuhnya pemerintah Afghanistan.
Selain itu, bantuan internasional dengan nilai besar pun kini dibekukan sehingga Taliban tidak dapat mengaksesnya.
Kondisi keluarga itu diketahui oleh LSM Save the Children, yang masih memiliki pekerja di lapangan yang mendistribusikan makanan kepada mereka yang membutuhkan.
Ibu itu mengungkapkan kepada pekerja bantuan bahwa ia telah melahirkan anak kembar, seorang anak perempuan dan laki-laki, sekitar empat atau lima bulan lalu.
Ibu itu juga menyebutkan jika semua pakaian anak-anaknya merupakan pakaian bekas dari hasil donasi warga setempat.
Baca juga: Korban Rudapaksa Guru Pesantren di Bandung Berusia 13-15 Tahun, 8 Anak Sudah Melahirkan Bayi
Awalnya ia berencana mempertahankan keduanya, tetapi kondisi ekonomi yang sulit dia terpaksa melepas salah satu dari mereka. Ibu itu berpikir akan sulit memberikan makanan, khususnya roti dan susu bubuk jika tetap mempertahankan kedua anak kembarnya.
Suaminya yang berusia 45 tahun hanya bisa bekerja sebagai buruh. Dan dia bekerja satu dari lima hari.
Sang suami digaji per harinya sekitar 1 dolar AS atau setara Rp14.000, dan itu hanya cukup untuk makan dua hari.
Sedangkan putranya yang kedua bekerja di pasar terdekat, mendorong gerobak yang digunakan pemilik warung untuk mengangkut hasil produksinya.
Tetapi karena ia terlalu muda, dan pemilik warung lebih memilih anak yang lebih kuat, maka terkadang ia tak bisa bekerja.
Ibu itu mengaku awalnya menolak menjual anaknya, tetapi setelah beberapa hari bayinya menangis karena tidak makan, ia memutuskan yang terbaik adalah menjualnya ke orang lain.
“Ini sangat berat. Berat dari apa yang bisa Anda bayangkan. Saya memberikan anak saya karena kemiskinan. Saya tak bisa menjaganya dan tak bisa memberinya apa pun,” tutur ibu tersebut.
“Saya memberikan seluru uang itu kepada suami saya. Ia membeli nasi, minyak dan tepung. Kami telah menghabiskannya,” lanjutnya.
Sang suami menambahkan bahwa mereka membutuhkan pertolongan.
“Kami lapar dan miskin. Tak ada banyak kesempatan bekerja di Afghanistan,” ujarnya.
“Kami memiliki anak. Kami sangat membutuhkan tepung dan minyak, yang tak kami miliki. Akan sangat bagus juga jika memiliki kayu bakar,” sambungnya.
Ia pun menegaskan dirinya tak mampu membeli daging selama dua atau tiga bulan terakhir.
Mereka hanya memiliki roti untuk anak, yang juga tak selalu tersedia.
Save the Children pun memberikan keluarga itu bantuan paket darurat untuk rumahnya.
Mereka memberikan sejumlah barang untuk dapur, selimut, pakaian musim dingin, sepatu, peralatan rumah dan barang-barang esensial seperti gas untuk masak.
Berita ini telah tayang di Kompas.tv