Sumpah Pemuda
Peringati Sumpah Pemuda, Ini Profil Soegondo Djojopoespito Ketua Kongres Pemuda II
Berikut Profil Soegondo Djojopoespito, Sumpah Pemuda, sejarah Sumpah Pemuda, naskah Sumpah Pemuda yang diperingati setiap 28 Oktober
TRIBUNJAMBI.COM - Berikut profil Soegondo Djojopoespito pemimpin Kongres Pemuda Indonesia II.
Soegondo Djojopoespito lahir di Tuban, Jawa Timur pada 22 Februari 1905.
Beranjak dewasa, Soegondo memakai nama adik kakek buyutnya, sehingga namanya menjadi Soegondo Djojopoespito.
Soegondo menempuh pendidikan pertama di Hollandsch Inlansch School (HIS) di Tuban.
Soegondo meneruskan pendidikan ke Meer Uitgebreid Lager Onderwijs (MULO) di Surabaya.
Kemudian Soegondo melanjutkan ke Algemeen Middelbare School (AMS) di Yogyakarta.
Selama belajar di Yogyakarta, Soegondo dan adiknya menumpang di rumah Ki Hajar Dewantara.
Soegondo aktif membaca berbagai buku dalam beragam bahasa, misalnya Inggris, Belanda, Prancis, dan Jerman.
Kata teman-temannya, Soegondo sangat pandai, meski suka berbuat nakal pada temannya.
Sooegondo tertarik dengan politik ketika di Yogyakarta.
Saat itu dia masih seorang pelajar, Soegondo tidak dapat menjadi anggota partai politik.
Ketertarikannya membuat dia sering mengunjungi rapat-rapat umum.
Pada 1932, Soegondo hijrah ke Bandung untuk menjadi Kepala Seokolah Taman Siswa di Bandung.
Soegondo menikah dengan wanita bernama Suwarsih di Bogor pada tahun yang sama.
Soegondo tiga anak, yakni Sunartini Djanan Chudori, Sunar Endrati Cahyono, dan Sunaryo Djojopoespito.
Soegondo bersama istrinya mendirikan sekolah di Bogor, bernama Loka Siswa, tetapi hanya mendapat sedikit murid.
Sekolah itu akhirnya ditutup.
Soegondo lalu pindah ke Semarang pada 1936 dan mengajar di Sekolah Taman Siswa Semarang.
Tahun 1938, Soegondo menjadi guru di Handels Coloogium Ksatrian Institut, di bawah pimpinan Dr. Dauwes Dekker (Dr. Danudirja Setiabudi).
Isteri Soegondo diangkat menjadi guru sekolah negeri di Bandung.
Setelah istrinya dipindah ke Jakarta pada 1940, Soegondo juga turut ke kota tersebut dan mengajar di Taman Siswa.
Soegondo juga menjadi wartawan lepas Bataviaasch Nieuwsblad dan Indische Courant.
Kemudian Soegondo dipercaya sebagai Direktur Kantor Berita Antara dengan Adam Malik sebagai redaktur dan Pandu Wiguna sebagai administratur.
Saat Indonesia dijajah Jepang, Soegondo menjadi pegawai Shihabu (Departemen Kehakiman), Bagian Urusan penjara.
Soegondo menjadi bawahan Notosusanto.
Notosusanto menguji kecakapan Soegondo dengan menugaskannya membuat tulisan mengenai Sejarah Kepenjaraan di Indonesia.
Hasilnya dapat diselesaikan dengan baik.
Soegondo dan istrinya menulis buku Riwayat Hidup Nabi Muhammad SAW, pernah diterbitkan di Malaysia.
Istrinya juga pernah menulis roman Buiten Het Gareer dan diterbitkan di Belanda.
Karier Politik
Ki Hajar Dewantara memiliki pengaruh besar pada jiwa Soegondo muda.
Soegondo memiliki dasar-dasar kebangsaan yang kuat darinya.
Hal ini semakin memuncak ketika Soegondo melanjutkan studinya di Recht Hooge School, Jakarta, pada 1925.
Soegondo menumpang di rumah seorang pegawai pos di Gang Rijksman.
Soegondo tinggal bersama teman-teman kosnya yang mayoritas adalah klerk pos.
Dari teman-temannya, Soegondo mendapat sebuah majalah Indonesia Merdeka, terbitan Perhimpunan Indonesia di Belanda.
Majalah yang sebenarnya dilarang masuk Indonesia.
Soegondo lalu diberikan majalah tersebut oleh temannya.
Majalah ini yang kemudian membakar semangat Soegondo dan menyadarkannya tentang arti persatuan.
Kian tertarik dengan pergerakan kebangsaan, Soegondo sering datang ke rumah Agus Salim untuk berdiskusi.
Soegondo meminjamkan majalah terlarang tersebut ke teman-temannya.
Mereka aktif berdiskusi politik setiap seminggu sekali.
Soegondo dan empat temannya, yakni Suwiryo, Sigit, Gularso, dan Darwis kemudian mendirikan sebuah perkumpulan mahasiswa bernama Perhimpunan Pelajar-Pelajar Indonesia (PPPI).
Kelima orang tersebut menghubungi para mahasiswa baru dan perkumpulan pemuda untuk menanamkan persatuan Indonesia.
Mereka pernah membuat pamflet rahasia yang berisi ajakan menggulingkan pemerintah jajahan.
Pada 1927, Sigit kemudian meletakkan jabatannya sebagai Ketua PPPI karena ditunjuk sebagai Indonesische Clubgebouw (IC).
IC lokasinya di Kramat 106 dan menjadi tempat diskusi para pemuda pergerakan.
Pada 1928, Soegondo menjadi simpatisan Partai Nasional Indonesia.
Soegondo dan Suwiryo aktif menghadiri rapat-rapat PNI.
Bahkan suatu ketika, mereka diikuti agen polisi rahasia.
Soegondo dan Suwiryo menjebak agen tersebut.
Mereka sengaja melewati jembatan sempit dan diikuti sang agen.
Ketika di tengah jembatan, mereka berdua berbalik arah dan bertemu dengan agen tersebut di tengah jembatan.
Soegondo pun berkata, "Marilah bang, kembali saja. Ini malam abang tidak usah cape-cape mengikuti kita. Duduk saja di tempat abang biasa nungguin kita. Sebab ini malam kita enggak pergi ke mana-mana."
Agen tersebut merasa terkejut dan malu.
Ketika PNI terpecah menjadi Partindo dan Pendidikan Nasional Indonesia, Soegondo masuk Pendidikan Nasional Indonesia.
Soegondo memberi kursus pada kader-kader Pendidikan nasional.
Saat tokoh-tokoh Pendidikan Nasional Indonesia ditangkap, rumah Soegondo juga digeledah.
Soegondo diinterogasi di kantor polisi dan dijatuhi hukuman larangan mengajar.
Soegondo satu di antara pendiri Partai Sosialis Indonesia (PSI).
Soegondo menjadi anggota Politbiro dan Ketua PSI Jawa Tengah dan Yogyakarta.
Kongres Pemuda II
Soegondo menggantikan Sigit sebagai ketua PPPI pada 1927.
Usaha untuk mempersatukan perkumpulan permuda yang telah dirintis Kongres Pemuda I terus dilanjutkan.
Pada rapat pertemuan 20 Februari 1927, PPPI ambil bagian.
PPPI mengambil inisiatif untuk mengadakan pertemuan-pertemuan selanjutnya.
PPPI mendesak perkumpulan pemuda agar melebur ke dalam suatu perkumpulan pemuda yang berdasarkan kebangsaan.
bentuk peleburan fusi atau federasi masih menjadi perdebatan.
Pada suatu pertemuan wakil-wakil perkumpulan pemuda diputuskan membawa persoalan tersebut dalam suatu rapat umum atau kongres.
Hingga akhirnya dibentuk suatu paniti yang terdiri dari wakil-wakil perkumpulan pemuda.
Mereka kemudian membentuk suatu kepanitiaan pada Juni 1928.
Tidak hanya kalangan pemuda yang hadir, tetapi juga dari perwakilan partai politik, Dewan Rakyat, pers, dan juga orang Belanda.
Rapat lalu dibuka oleh Soegondo.
Ditegaskannya, Kongres Pemuda I (1926) digelar atas nama panitia yang tidak berhubungan sama sekali dengan pehimpunan pemuda, sedangkan Kongres Pemuda II terdiri dari wakil-wakil perkumpulan pemuda.
Kongres Pemuda I hanya bertujuan menyiarkan perasaan persatuan Indonesia, sedangkan Kongres Pemuda II bertujuan menguatkan perasaan tersebut.
Soegondo menutup aktivitas pidatonya dengan seruan “Perangilah pengaruh cerai-berai dan majulah terus ke arah Indonesia bersatu yang kita cintai.”
Pada rapat yang ketiga, ketika istirahat, W.R. Supratman menghampiri Soegondo kemudian meminta izin memperdengarkan “Indonesia Raya.”
Saat membaca liriknya, Soegondo khawatir jika Belanda akan melarangnya.
Soegondo menemui W.R. Supratman dan memintanya agar jangan menyanyikan dangan liriknya.
W.R. Supratman setuju dan hanya akan membawakan lagu itu dengan biolanya.
Sidang ketiga ditutup dengan pembacaan resolusi Soegondo.
Resolusi ini kemudian dikenal dengan nama Sumpah Pemuda.
Soegondo berhasil menjalankan tugasnya sebagai ketua dengan baik.
Soegondo Djojopoespito meninggal di Yogyakarta pada 22 April 1978.
Jenazahnya dimakamkan pada 22 April 1978 di makam Keluarga Taman Siswa "Wijaya Brata" di Desa Celeban Yogyakarta, di samping makam istrinya (meninggal 24 Agustus 1977).
Beberapa bulan kemudian, Soegondo diberikan anugerah Bintang Jasa Utama.
Anugerah tersebeut diterima putri tertuanya pada 17 Agustus 1978.
Sumber: Sri Sutjiatiningsih, Soegondo Djojopoepito: Hasil Karya dan Pengabdiannya, Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan RI, 1999
(TRIBUNNEWSWIKI/Febri)
Baca Artikel Sumpah Pemuda Lainnya di sini