TRIBUNJAMBI.COM -Mohammad Yamin adalah Pelopor Sumpah Pemuda yang mempengaruhi persatuan Indonesia
Mohammad Yamin seorang sastrawan, sejarawan, budayawan, politikus, sekaligus ahli hukum.
Mohammad Yamin piawai berpidato. Kalau pidato, suaranya besar. Dia disebut Gajah Mada.
Julukan Gajah Mada terkait Mohammad Yamin ini sempat diceritakan oleh Kwee Thiam Hong alias Daud Budiman.
Dalam sejarah, Mohammad Yamin seorang sejarawan memang pernah menulis biografi Gajah Mada berjudul "Gadjah Mada Pahlawan Persatuan Nusantara" (1945). Sebagai sejarawan, dia memang menggali sosok Gajah Mada.
Hingga suatu hari pada 1940-an, Mohammad Yamin datang ke trowulan. Dia melihat bekas kerajaan Majapahit dan menemukan pecahan terakota, satu di antaranya berupa wajah pria berwajah gempal dan berambut ikal.
Mohammad Yamin kemudian menafsirkan seperti itulah wajah Gajah Mada. Hingga akhirnya dia menulis biografi Gajah Mada.
Kwee Thiam Hong begitu mengingat dengan sosok Muhammad Yamin, sekretaris panitia Kongres Pemuda II.
"Ingat betul! Dia juga Jong Sumatranen Bond toh? Dia disebut Gajahmada. Kalau pidato suaranya besar. Bung Karno juga pinter berpidato. Yang dengar bisa diam semua. Kalau abang baca mulai ribut, Bung Karno bilang, "Hei, kamu, diam! Diam! Diam!" Kwee Thiam Hong menirukan sambil menunjuk ke arah yang berbeda.
Pergerakan sumpah pemuda menyatukan semangat satu nusa, satu bangsa. Para pemuda menjunjung satu bahasa persatuan, bahasa Indonesia. Tepatnya 28 Oktober 1928.
Sejarah sumpah pemuda bagian dari catatan penting tentang kebangkitan Indonesia.
Kwee Thiam Hong kala aktif dalam pergerakan pemuda umurnya masih 18 tahun yang sangat muda. Ia seorang pelajar Eerste Gouveraements Mulo Batavia. Meski sekolahnya di Jakarta, ia memilih bergabung dengan Jong Sumatranen Bond.
Kwee Thiam Hong berasal dari Palembang. Pada saat para pemuda berkumpul, hampir semua daerah dan suku datangkan perwakilan. Dari Sabang sampai Merauke.
Kwee Thiam Hong berbagi pengalamannya terlibat sejarah penting itu dalam liputan Majalah HAI edisi Oktober 1985, Cerita Pelaku Soempah Pemoeda; "Susah menyebut Indonesia, apalagi merdeka".
Kwee Thiam Hong muda mengikuti semua rangkaian pergerakan pemuda sampai rampung. Terlibatnya dalam pergerakan itu terinspirasi oleh pidato-pidato H.O.S. Cokroaminoto dan Ir. Soekarno. Kwee Thiam Hong aktif berdiskusi terkait semangat nasionalisme bersama kawan-kawannya.
Di Jong Sumatranen Bond, Kwee Thiam Hong menjabat ressort komisaris. "Saya juga aktif dalam kepanduan Jong Sumatranen Bond itu sebagai Patrouille leider. Setingkat komandan peleton dalam ketentaraan sekarang. Sekaligus penabuh genderang."
Meski Kwee Thiam Hong sekolah di Jakarta, dia lebih tertarik bergabung dengan Jong Sumatranen Bond.
Masa kecilnya dia habiskan waktu bermain dan mandi di sungai bersama anak-anak sekampung. Mereka mandi di Sungai Sekanak, anak Sungai Musi. "Jadi saya lebih memilih masuk Jong Sumatranen Bond," katanya.
Kwee Thiam Hong sangat ingat situasi ketika Kongres Pemuda II. Dalam sebuah wawancara, Kwee Thiam Hong menjawab dengan bersemangat.
"Masih! Itu ketuanya, Suwondo Joyo ...," Pak Budiman memejamkan mata sambil mengerutkan dahi.
"Sugondo Joyopuspito!"
"Hah, betul itu! Sugondo Joyopuspito. Dia dari Sekolah Tinggi Hakim. Dan dia itu teman saya. Saya ada potretnya. Sudah berusia lebih dari 50 tahun. Saya simpan baik-baik. Kalau hilang, cari di mana juga nggak ada. Permisi, ya, saya ambilkan," Kwee Thiam Hong berlalu.
Beberapa sesaat kemudian dia kembali dengan sebuah album kertas yang sudah tua. Di tangan yang lain tergenggam sebuah amplop yang sudah robek.
"Nah, ini, Sugondo! Di sini saya tidak kelihatan. Ada di belakang," kata Kwee Thiam Hong sambil menunjuk ke album.
Kwee Thiam Hong membalik lembaran album itu
“Ini Sutan Syahrir. Nah, ini Sutan Takdir Alisyahbana. Ia masih hidup dan setahun lebih tua dari saya."
"Lalu bagaimana situasi Sumpah Pemuda itu?"
"Oh, ini cerita saya mulai ngelantur. Waktu itu kan begini.
Katanya jam lima sore sudah harus kumpul di asrama Kramat " jelas Kwee Thiam Hong
“Waktu itu datang dalam barisan pandu sambil menabuh genderang atau bagaimana?"
Mendengar kata menabuh genderang, Kwee Thiam Hong langsung tertawa terbahak-bahak.
Sebab dia mempunyai kenangan tersendiri tentang hal itu.
"Waktu itu kami datang sendiri-sendiri. Saya mengajak tiga teman, Ong Kay Siang, John Liaw Tjoan Hok dan Tjio Jin Kwie. Sayangnya mereka semua sudah meninggal. Waktu itu, rapatnya dibuka agak telat lantaran harus ada izin dari polisi. Tapi untunglah intelijen lah yang datang."
"Ketika Pak Budiman sampai. sudah banyak yang datang?"
"Lumayan! Ada sekitar lima ratus orang.
"Kok banyak banget? Kan gedungnya kecil?"
"Ya, memang banyak. Gedung itu jadi penuh dan sebagian ada di luarnya. Tapi saya bisa masuk. Ha, ha, ha!" ujarnya.
"Masih ingat bagaimana ketika Sugondo membacakan ikrar itu?"
"Masih!" Pak Budiman menjawab tegas dan mengangguk dalam-dalam.
"Waktu itu sudah malam. Sugondo membacakannya dengan khidmat. Semua berdiri kecuali yang dari P.I.D. Itu, dinas intelijennya Belanda. Malam itu, Supratman juga memainkan lagu Indonesia Raya dengan violnya. Aduh, dengar lagu itu, hati ini bukan main dah," kata Kwee Thiam Hong sambil memegang dada. Suaranya bergetar dan matanya berkaca-kaca.
"Cuma itu waktu, lagunya agak beda dengan yang sekarang."
Raut muka Kwee Thiam Hong berubah.
Sambil menggerakkan tangannya mengikuti irama, Kwee Thiam Hong bernyanyi
"Indones! Indones! Mulia! Mulia! Begitu itu! Sebab, Belanda itu tidak suka dengar nama Indonesia. Dan kata merdeka itu seperti momok bagi Belanda. Kata merdeka itu saja bisa buat orang masuk penjara."
"Kenal dengan WR. Supratman?"
"Ya, dulu kita sama-sama di Sinpo. Kita sering makan siang bersama. Makan gado-gado atau sate kambing."
Sin Po adalah surat kabar Cina yang terbit waktu itu.
"Jadi Pak Budiman pernah jadi wartawan?"
Kwee Thiam Hong tertawa dan sesudah itu berkata, "Begini, ya. Terus terang saja, sejak umur 9 tahun saya sudah kirim berita ke Berita Andalas. Waktu itu saya suka kirim berita kota. Orang nyolong ayam. Orang lagi judi ketangkep polisi.
Lumayan, untuk tiap berita dapat segobang. Segobang dulu itu banyak. Nah, waktu saya tahu, Supratman buat lagu Indonesia Raya, saya pikir, boleh juga anak itu."
"Oh, ya, tentang penabuh genderang itu bagaimana?"
"Yah, itu ceritanya begini! Waktu itu ada perayaan tentang penutupan kongres. Acaranya macam-macam, antaranya api unggun. Kelompok saya mengadakan api unggun di daerah Tanah Tinggi. Dulu di sana masih banyak lapangan terbuka. Ternyata api unggun diserbu polisi Belanda. Kita terpaksa bubar dan digiring ke Hopbiro.
Semacam tahanan. Saya sempat menginap semalam di sana. Waktu itu polisi Belanda bilang, he, kamu kan orang Cina! Buat apa ikut-ikutan?"
"Pak Budiman bilang apa?"
"Wah, waktu itu nggak-berani lawan. Kita belum bisa apa-apa. Jadi saya bilang, tidak apa-apa toh. Saya kan anggota pandu. Lalu dia tanya, apa jabatan saya. Saya bilang, itu pemukul genderang," cerita Pak Budiman sambil menggerakkan tangannya menirukan menabuh genderang.
Pembicaraan sudah berlangsung dua jam. Padahal Kwee Thiam Hong tidak boleh bercerita panjang. Sebab biasanya ia jadi sesak napas.
"Ini, saya ada sedikit pesan. Pemuda-pemuda sekarang harus belajar sejarah. Supaya tahu, bagaimana susahnya negara ini didirikan. Wah, bukan main dah, waktu itu. Kalau dinding rumah ini bisa bicara, ia akan cerita panjang. Dulu, rumah ini pernah digeledah gara-garanya saya pasang bendera merah putih. Waktu itu baru saja proklamasi."
"Digeledah siapa?"
"Itu, tentara Inggris," jawabnya.
"Oh, tentara Nica?"
Ternyata pertanyaan saya salah. Padahal baru saja Kwee Thiam Hong berpesan, pemuda harus belajar sejarah.
"Bukan! Nica kan datang sesudahnya. Itu Iho, tentaranya Christison. Kan Nica membonceng tentara Inggris. Ceritanya begini. Waktu itu pagi-pagi. Di jalan ini tidak ada yang berani pasang bendera merah putih.
Hanya rumah ini saja. Tentara Inggris datang. Saya takut juga. Lalu saya tanya, apakah mereka sudah makan pagi: Dan mereka jawab, go to hell. Makan pagi gimana? Pagi-pagi sudah disuruh ke sini.
Saya lalu suruh istri saya bikin kopi. Waktu itu tidak pakai gula pasir. Tidak ada. Jadi pakai gula merah saja. Lalu disuguhi sedikit kue. Sesudah mereka makan, saya buka pintu kamar.
Nah, silakan diperiksa. Tapi mereka tidak jadi dan pergi sambil mengucapkan terima kasih. Katanya sudah merepotkan.
Bayangkan, pasang bendera merah putih saja sudah didatangi," katanya mengakhiri pembicaraan.
Saat diwawancarai, Kwee Thiam Hong berusia 76 tahun. Dia menikmati masa tuanya pensiunan Bank Niaga. (tribunjambi.com)
Baca Artikel Sumpah Pemuda Lainnya
di sini