Sumpah Pemuda

Wibawa Soekarno Saat Berpidato Diungkap Kwee Thiam Hong Tokoh Sumpah Pemuda

Berikut artikel tentang Kwee Thiam Hong tokoh Sumpah Pemuda yang memuji kepiawaian Soekarno saat berpidato

Editor: Heri Prihartono
ISTIMEWA
Sosok Soekarno yang berkharisma saat Berpidato 

TRIBUNJAMBI.COMKwee Thiam Hong, sempat memuji  kepiawaian pidato Presiden pertama Republik Indonesia, Soekarno, semasa perjuangan kemerdekaan.

 Bung Karno adalah tokoh yang selalu dinanti dalam setiap pidatonya. Menurut Kwee Thiam Hong, anggota Jong Sumatranen Bond, setiap kali Soekarno pidato, yang mendengarkan bisa diam semua.

Saat pendengar mulai ribut, Bung Karno bilang, "Hei, kamu, diam! Diam! Diam!" Kwee Thiam Hong menirukan sambil menunjuk ke arah yang berbeda.

Kwee Thiam Hong alias Daud Budiman adalah pelaku Sumpah Pemuda.

Kwee Thiam Hong sudah aktif dalam pergerakan pemuda umurnya masih 18 tahun.

Dia adalah seorang  seorang pelajar Eerste Gouveraements Mulo Batavia. Meski sekolahnya di Jakarta, saat itu dia  memilih bergabung dengan Jong Sumatranen Bond.

Kwee Thiam Hong  berasal dari Palembang. 

Momentum Sumpah Pemuda menyatukan  pemuda dari  semua daerah dan suku dari Sabang sampai Merauke.

Kwee Thiam Hong berkisah tentang  pengalamannya terlibat sejarah penting itu dalam liputan Majalah HAI edisi Oktober 1985, Cerita Pelaku Soempah Pemoeda; "Susah menyebut Indonesia, apalagi merdeka".

Kwee Thiam Hong muda mengikuti semua rangkaian pergerakan pemuda secara sadar. Terlibatnya dalam pergerakan itu karena  terinspirasi oleh pidato-pidato H.O.S. Cokroaminoto dan Ir. Soekarno.

Kwee Thiam Hong cukup aktif  berdiskusi terkait semangat nasionalisme bersama kawan-kawannya.
Di Jong Sumatranen Bond, Kwee Thiam Hong menjabat ressort komisaris. "Saya juga aktif dalam kepanduan Jong Sumatranen Bond itu sebagai Patrouille leider. Setingkat komandan peleton dalam ketentaraan sekarang. Sekaligus penabuh genderang."

Kwee Thiam Hong sekolah di Jakarta, dia tak masuk Pemuda Kaum Betawi atau Jong Java. Dia lebih tertarik bergabung dengan Jong Sumatranen Bond. Pilihannya itu karena dirinya lahir di Palembang. Masa kecilnya di Palembang.

Masa kecil digunakan dengan  bermain dan mandi di sungai bersama anak-anak sekampung. Mereka mandi di Sungai Sekanak, anak Sungai Musi. "Jadi saya lebih memilih masuk Jong Sumatranen Bond," katanya.

Kwee Thiam Hong  sangat ingat situasi ketika Kongres Pemuda II. Dalam sebuah wawancara, Kwee Thiam Hong menjawab dengan bersemangat.

"Masih! Itu ketuanya, Suwondo Joyo ...," Pak Budiman memejamkan mata sambil mengerutkan dahi.

"Sugondo Joyopuspito!"

Kwee Thiam Hong: Soempah Pemoeda (HAI_No. 40, Oktober 1985)
Kwee Thiam Hong: Soempah Pemoeda (HAI_No. 40, Oktober 1985) (net/warungarsip.co)

"Hah, betul itu! Sugondo Joyopuspito. Dia dari Sekolah Tinggi Hakim. Dan dia itu teman saya. Saya ada potretnya. Sudah berusia lebih dari 50 tahun. Saya simpan baik-baik. Kalau hilang, cari di mana juga nggak ada. Permisi, ya, saya ambilkan," Kwee Thiam Hong berlalu.

Beberapa sesaat kemudian dia  kembali dengan sebuah album kertas yang sudah tua. Di tangan yang lain tergenggam sebuah amplop yang sudah robek.

"Nah, ini, Sugondo! Di sini saya tidak kelihatan. Ada di belakang," kata Kwee Thiam Hong sambil menunjuk ke album.
Kwee Thiam Hong lalu membalik lembaran album itu

“Ini Sutan Syahrir. Nah, ini Sutan Takdir Alisyahbana. Ia masih hidup dan setahun lebih tua dari saya."

"Lalu bagaimana situasi Sumpah Pemuda itu?"

"Oh, ini cerita saya mulai ngelantur. Waktu itu kan begini.

Katanya jam lima sore sudah harus kumpul di asrama Kramat " jelas Kwee Thiam Hong

“Waktu itu datang dalam barisan pandu sambil menabuh genderang atau bagaimana?"

Mendengar kata menabuh genderang, Kwee Thiam Hong langsung tertawa terbahak-bahak.
la mempunyai kenangan tersendiri tentang hal itu.

"Waktu itu kami datang sendiri-sendiri. Saya mengajak tiga teman, Ong Kay Siang, John Liaw Tjoan Hok dan Tjio Jin Kwie. Sayangnya mereka semua sudah meninggal. Waktu itu, rapatnya dibuka agak telat lantaran harus ada izin dari polisi. Tapi untunglah intelijen lah yang datang."

"Ketika Pak Budiman sampai. sudah banyak yang datang?"

"Lumayan! Ada sekitar lima ratus orang.

"Kok banyak banget? Kan gedungnya kecil?"

"Ya, memang banyak. Gedung itu jadi penuh dan sebagian ada di luarnya. Tapi saya bisa masuk. Ha, ha, ha!" ujarnya.

"Masih ingat bagaimana ketika Sugondo membacakan ikrar itu?"

"Masih!" Pak Budiman menjawab tegas dan mengangguk dalam-dalam.

"Waktu itu sudah malam. Sugondo membacakannya dengan khidmat. Semua berdiri kecuali yang dari P.I.D. Itu, dinas intelijennya Belanda. Malam itu, Supratman juga memainkan lagu Indonesia Raya dengan violnya. Aduh, dengar lagu itu, hati ini bukan main dah," kata Kwee Thiam Hong sambil memegang dada. Suaranya bergetar dan matanya berkaca-kaca.

"Cuma itu waktu, lagunya agak beda dengan yang sekarang."

Sampai di sini, raut muka Kwee Thiam Hong sontak berubah. Dengan bersemangat sambil menggerakkan tangannya mengikuti irama, Kwee Thiam Hong bernyanyi

"Indones! Indones! Mulia! Mulia! Begitu itu! Sebab, Belanda itu tidak suka dengar nama Indonesia. Dan kata merdeka itu seperti momok bagi Belanda. Kata merdeka itu saja bisa buat orang masuk penjara."

"Kenal dengan WR. Supratman?"

"Ya, dulu kita sama-sama di Sinpo. Kita sering makan siang bersama. Makan gado-gado atau sate kambing."
Yang dimaksudnya dengan Sin Po adalah surat kabar Cina yang terbit waktu itu.

"Jadi Pak Budiman pernah jadi wartawan?"

Kwee Thiam Hong tertawa dan sesudah itu berkata, "Begini, ya. Terus terang saja, sejak umur 9 tahun saya sudah kirim berita ke Berita Andalas. Waktu itu saya suka kirim berita kota. Orang nyolong ayam. Orang lagi judi ketangkep polisi.
Lumayan, untuk tiap berita dapat segobang. Segobang dulu itu banyak. Nah, waktu saya tahu, Supratman buat lagu Indonesia Raya, saya pikir, boleh juga anak itu."

"Oh, ya, tentang penabuh genderang itu bagaimana?"

"Yah, itu ceritanya begini! Waktu itu ada perayaan tentang penutupan kongres. Acaranya macam-macam, antaranya api unggun. Kelompok saya mengadakan api unggun di daerah Tanah Tinggi. Dulu di sana masih banyak lapangan terbuka. Ternyata api unggun diserbu polisi Belanda. Kita terpaksa bubar dan digiring ke Hopbiro.

Semacam tahanan rupanya dia sempat menginap semalam di sana. Waktu itu polisi Belanda bilang, he, kamu kan orang Cina! Buat apa ikut-ikutan?"

"Pak Budiman bilang apa?"

"Wah, waktu itu nggak-berani lawan. Kita belum bisa apa-apa. Jadi saya bilang, tidak apa-apa toh. Saya kan anggota pandu. Lalu dia tanya, apa jabatan saya. Saya bilang, itu pemukul genderang," cerita Pak Budiman sambil menggerakkan tangannya menirukan menabuh genderang.

Pembicaraan kami sudah berlangsung dua jam. Meskipun sebenarnya  Kwee Thiam Hong tidak boleh bercerita panjang. Sesudah itu biasanya ia jadi sesak napas.

"Ini, saya ada sedikit pesan. Pemuda-pemuda sekarang harus belajar sejarah. Supaya tahu, bagaimana susahnya negara ini didirikan. Wah, bukan main dah, waktu itu. Kalau dinding rumah ini bisa bicara, ia akan cerita panjang. Dulu, rumah ini pernah digeledah gara-garanya saya pasang bendera merah putih. Waktu itu baru saja proklamasi."

"Digeledah siapa?"

"Itu, tentara Inggris," jawabnya.

"Oh, tentara Nica?"

Ternyata pertanyaan saya yang  salah. Padahal baru saja Kwee Thiam Hong berpesan, pemuda harus belajar sejarah.

"Bukan! Nica kan datang sesudahnya. Itu Iho, tentaranya Christison. Kan Nica membonceng tentara Inggris. Ceritanya begini. Waktu itu pagi-pagi. Di jalan ini tidak ada yang berani pasang bendera merah putih.

Hanya rumah ini saja. Tentara Inggris datang. Saya takut juga. Lalu saya tanya, apakah mereka sudah makan pagi: Dan mereka jawab, go to hell. Makan pagi gimana? Pagi-pagi sudah disuruh ke sini.

Saya lalu suruh istri saya bikin kopi. Waktu itu tidak pakai gula pasir. Tidak ada. Jadi pakai gula merah saja. Lalu disuguhi sedikit kue. Sesudah mereka makan, saya buka pintu kamar.

Nah, silakan diperiksa. Tapi mereka tidak jadi dan pergi sambil mengucapkan terima kasih. sebab merasa sudah merepotkan.
Bayangkan, pasang bendera merah putih saja sudah didatangi," katanya mengakhiri pembicaraan.

Saat diwawancarai, Kwee Thiam Hong berusia 76 tahun. Ia menikmati masa tuanya pensiunan Bank Niaga.

SUMBER ARTIKEL : TRIBUN JOGJA 
Sumber: Tribun Jambi
Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved