Militer Indonesia
Kisah Kopassus Dikepung Suku Pedalaman Lembah X, Ini yang Terjadi Selanjutnya
Berikut artikel yang membahas tentang Kopassus, Komando Pasukan Khusus (RPKAD) saat diterjunkan di lembah x
TRIBUNJAMBI.COM - Kisah nyata pernah terjadi dan dialami oleh satuan elite TNI AD, Komando Pasukan Khusus (Kopassus) yang dulu bernama RPKAD.
RPKAD diturunkan setelah ditemukannya jasad Rockfeller yang hanya berupa sepotong kaki masih mengenakan sepatu.
Di tahun 1960-an daerah Papua tersebut memang masih merupakan hutan lebat yang belum terjamah.
Pada 5 Mei 1969 sekitar 7 anggota pasukan baret merah (RPKAD/Kopassus), 5 anggota Kodam XVII Cenderawasih Papua dan tiga warga asing yang juga kru televisi NBC, AS serta satu wartawan TVRI, Hendro Subroto melaksanakan ekspedisi ke Lembah X yang berlokasi di lereng utara gunung Jayawijaya.
Tim ekspedisi yang berjumlah total 16 orang tersebut dipimpin oleh personel RPKAD Kapten Feisal Tanjung sebagai Komandan Tim dan Lettu Sintong Panjaitan sebagai Perwira Operasi.
Lokasi ekspedisi dikenal sebagai Lembah X dan berada di lereng utara Gunung Jayawijaya yang berpemandangan elok sekaligus merupakan tempat yang belum pernah dijamah oleh manusia dari luar.
Beredar kabar suku setempat masih dikenal sebagai suku yang sangat terasing dan dimungkinkan merupakan suku yang masih memakan manusia seperti yang dialami oleh Rockfeller.
Dengan risiko yang tinggi itu pengendali ekspedisi Pangdam XVII/Cenderawasih Brigjen TNI Sarwo Edhie Wibowo berpesan agar tim siap menghadapi kemungkinan apapun ketika di dalam hutan lebat.
Semua anggota militer mengenakan seragam militer lengkap, bersenjata senapan serbu AK-47 dan pistol, parang, tali-temali dan lainnya.
Misi tim ekspedisi Lembah X diawali pemantauan melalui udara.
Lettu Sintong terlebih dahulu melakukan orientasi medan melalui udara dengan cara menumpang pesawat misionaris jenis Cesna.
Lalu sesuai rencana tim akan diterjunkan pada lokasi padang ilalang yang berdekatan dengan perkampungan yang diduga masih dihuni oleh suku terasing pemakan manusia.
Pada 2 Oktober 1969, semua tim bersama keperluan logistik diterjunkan sesuai rencana meski dengan ada rasa kekhawatiran.
Mereka harus mendarat di daerah sangat terpencil yang konon didiami suku terasing yang kanibal.
Maka aksi penerjunan termasuk misi nekat.
Sebab meski bersenjata lengkap para personel RPKAD dan Kodam Cenderawasih dilarang melepaskan tembakan kecuali dalam kondisi sangat terpaksa.
Semua tim akhirnya melakukan penerjunan dengan selamat.
Begini Suasana Sengit Pertempuran di Timor Timur, 30 Prajurit ABRI Berangkat, Cuma 9 Orang Selamat (Istimewa/Warta Kota)
Tapi Lettu Sintong yang seharusnya mendarat di padang ilalang yang lokasinya jauh dari perkampungan suku terasing justru mendarat di tengah kampung.
Komandan RPKAD itu langsung dikepung oleh warga yang hanya mengenakan koteka sambil mengacungkan tombak, panah, dan kapak batu.
Ketika menghadapi bahaya dan masih terbayang, secara reflek Sintong memindahkan posisi senapan AK-47 di bahu ke posisi di depan dada serta mengokangnya.
Sintong terkejut ketika melihat senapan AK-47-nya ternyata tanpa magazin karena terjatuh saat terjun.
Dengan kondisi senapan AK-47-nya tanpa peluru maka Sintong mencari cara menghadapi warga suku terasing yang terus memandanginya secara curiga sambil mengacungkan semua senjata tradisional itu.
Sintong melihat jika magazin tempat peluru yang jatuh sedang ditendang-tendang oleh seorang pemuda yang merasa bingung dengan benda asing itu.
Ternyata mengambil magazin dan memberikannya kepada Sintong.
Hal itu pertanda bahwa warga suku itu ingin bersahabat.
Sintong membiarkan saja ketika sejumlah warga suku menyentuhnya, lalu memeganginya, untuk memastikan bahwa ‘manusia burung’ yang jatuh dari langit itu masih hidup dan merupakan manusia seperti mereka.
Awalnya diliputi oleh perasaan was-was semua tim ekspedisi ternyata diperlakukan secara bersahabat.
Akhirnya mereka bisa berinteraksi secara normal dengan suku terasing itu.
Sebagai suku terasing dan menggunakan bahasa yang saat itu tidak bisa dipahami, semua anggota tim ekspedisi belajar keras memahami bahasa setempat dengan cara mencatatnya.
Mereka ternyata sama sekali belum mengenal korek api, cermin, pisau, pakaian, apalagi kamera televisi yang bisa merekam mereka.
Warga suku Lembah X khawatir setiap ada pesawat lewat atau sedang melaksanakan dropping logistik karena mengira sebagai burung raksasa yang akan menyambarnya.
Warga suku juga takut air dan tidak pernah mandi dan untuk minum mereka mengandalkan tanaman tebu liar.
Kebiasaan memakan tebu secara otomatis berfungsi sebagai sikat gigi sehingga semua warga suku giginya tampak putih bersih.
Tim RPKAD sempat mengalami musibah ketika sejumlah perahu karet yang ditumpanginya terbalik di jeram dan tim NBC kehilangan rekaman film yang sangat berharga, semua tim ekspedisi bisa pulang selamat pada akhir Desember 1969.
Bagi anggota RPKAD dan Kodam Cenderawasih ekspedisi Lembah X dinilai berhasil karena menginspirasi ekspedisi berikutnya yang kemudian dikenal sebagai Ekspedisi Nusantara Jaya.
Berbeda dengan kru NBC yang merasa ekspedisi itu gagal total karena telah kehilangan semua rekaman yang bernilai jutaan dollar.