Renungan Kristen
Renungan Harian Kristen - Warisan dari Tuhan yang Menjamin Masa Depan
Bacaan ayat: Mazmur 16:5-6 (TB) Ya TUHAN, Engkaulah bagian warisanku dan pialaku, Engkau sendirilah yang meneguhkan bagian yang diundikan kepadaku.
Warisan dari Tuhan yang Menjamin Masa Depan
Bacaan ayat: Mazmur 16:5-6 (TB) Ya TUHAN, Engkaulah bagian warisanku dan pialaku, Engkau sendirilah yang meneguhkan bagian yang diundikan kepadaku.
Tali pengukur jatuh bagiku di tempat-tempat yang permai; ya, milik pusakaku menyenangkan hatiku.
Oleh Pdt Feri Nugroho

Seberapa sering atau pernah kita berkata, "Enak ya, kamu. Kaya, pasti selalu berkecukupan. Kalau untuk berbuat baik dengan berbagi, pasti mudah dilakukan.
Penampilan juga oke, jabatan ada, pekerjaan mapan, banyak teman dan relasi.
Membayangkan kehidupanmu, pasti kamu orang yang paling bahagia dan beruntung.
Sementara aku miskin. Jangankan untuk masa depan, untuk makan besok saja aku harus kerja keras hari ini. Mana ada yang melirik aku. Tampilanku dari kata sederhana pun terasa jauh.
Menjadi terasing tanpa kemapanan dan jaminan. Siapalah yang mau memilihku untuk sekedar menjadikanku sebagai teman. Nol!"
Tahukah kita, bahwa mereka yang kita nilai sebagai orang beruntung juga sedang melakukan keluhan yang sama dalam bentuk yang berbeda?
Bisa jadi mereka mengeluhkan keadaan tubuh yang sakit.
Makanan berlimpah namun tidak bisa menikmati. Pekerjaan terlihat mapan namun penuh tekanan batin. Penampilan okay namun bergumul dengan rasa percaya diri yang rendah.
Persoalannya bukan pada apa yang dimiliki dan tidak dimiliki.
Bukan pula pada pemenuhan standar yang dibuat dalam kehidupan bermasyarakat. Terlebih kondisi fisik, alam atau kesempatan yang dipunyai.
Masalah paling mendasar adalah pada bagaimana sikap hati dalam memahami kehidupan dan memaknainya dalam kaca mata yang benar.
Ketika seseorang memahami secara benar tentang apa yang terjadi dalam kehidupan, maka ia akan tertolong untuk memaknai sesuai dengan maksud Tuhan ketika mengijinkan kehidupan itu terjadi.
Kaya, miskin, harta benda, cantik, ganteng, jelek, dan berbagai label yang dibuat dalam kategori tertentu adalah budaya manusia; ciptaan manusia dalam sejarah dan dimaknai dengan tujuan tertentu.
Pernahkah Tuhan membedakan manusia berdasarkan kriteria tersebut? Tidak pernah.
Setiap orang tanpa terkecuali, diciptakan dari debu tanah yang mendapatkan nafas kehidupan dari Allah.
Dalam prespektif (sudut pandang), bagaimana mungkin berharganya seseorang kemudian dinilai berdasarkan warna kulit, kekayaan yang dimiliki atau status sosialnya?
Penamaan dan pelabelan yang dibuat awalnya hanya untuk membedakan, dengan tujuan mempermudah menata potensi masing-masing yang dimiliki.
Seiring waktu penamaan dan pelabelan justru melekat secara personal dan dijadikan alat ukur untuk memisahkannya dengan yang lain.
Munculah pengelompokan berdasarkan warna kulit, kekayaan, ras, dan lain-lain; dengan berbagai atribut sifat yang dilekatkan.
Ironis bukan ketika, pada suatu masa pernah terjadi, melekatkan label budak pada seseorang yang berkulit hitam dan tuan kepada yang berkulit putih.
Untunglah label itu telah tergilas oleh waktu ketika seorang yang berkulit gelap dipilih untuk memimpin mereka yang berkulit putih.
Sebuah lompatan budaya yang hendak mengembalikan harkat dan martabat manusia sebagaimana dikehendaki oleh Tuhan.
Umat Tuhan di masa Perjanjian Lama memakai undi untuk menemukan kehendak Tuhan.
Ketika memasuki tanah perjanjian, undian dilakukan untuk menetapkan suku mana yang akan memperoleh wilayah tertentu. Bagian itu menjadi warisan turun temurun, dari generasi ke generasi.
Tanah warisan tidak boleh beralih karena jual beli. Semua harus kembali kepada ahli waris suku dalam tahun Yobel.
Apapun keadaan dan kondisi tanahnya, diterima sebagai berkat Tuhan, tanpa harus iri hati dengan bagian yang diterima oleh saudaranya yang lain.
Dalam prespektif yang demikian, Pemazmur menyebut mereka yang hidup saleh adalah orang yang berbahagia.
Mereka adalah orang-orang yang mampu melihat dan menilai kehidupannya dalam prespektif karya Allah.
Bahwa ketika terjadi apapun dalam pengalaman hidupnya, dilihatnya sebagai warisan yang diundi, diterimanya sebagai kehendak Allah yang dinyatakan dalam kehidupannya.
Ia melihat pengalaman hidupnya sebagai harta warisan yang permai, apapun adanya dimaknai sebagai yang menyenangkan dari Tuhan.
Ia tidak akan iri kepada orang lain yang berlaku tidak setia kepada Tuhan.
Ia memilih untuk menjadi orang saleh dalam kebenaran karena yakin bahwa Allah telah bertindak baik dalam kehidupannya.
Saatnya menghentikan segala keluh kesah hanya karena melihat orang lain terlihat lebih sukses.
Buang segala iri hati dan kedengkian yang menjadi penghalang besar bagi kita untuk bersyukur.
Sikap membanding hanya baik ketika dipakai untuk memotivasi diri; sikap tersebut akan menjadi jerat yang menyesatkan ketika dipakai untuk mempertandingkan. Dipastikan akan jatuh pada iri hati.
Setiap kita memiliki harta warisan dari Tuhan untuk dikelola dengan baik.
Apapun warisan itu, pasti baik adanya karena Tuhan yang memberikannya.
Keyakinan tersebut akan menjadi dasar bagi kita untuk memaknai segala hal sebagai yang baik.
Amin
Renungan hari ini oleh Pdt Feri Nugroho S.Th, GKSBS Palembang Siloam