Berita Internasional
YAKINNYA Beijing Bahwa Joe Biden Ingin Memulai Perang Usai Armada PLA China Usir Kapal Perang AS
Pertemuan kapal perang Amerika Serikat dan China kembali terjadi, kali ini armada laut Xi Jinping mengusir armada perang dari Joe Biden di wilayah
Chen Xiangmiao, asisten peneliti di Institut Nasional untuk Studi Laut China Selatan di Provinsi Hainan China Selatan, mengatakan bahwa "keputusan Arbitrase Laut China Selatan" lahir di bawah manipulasi politik oleh kekuatan Barat yang dipimpin AS dan berfungsi sebagai alat untuk menahan dan mencoreng China dengan kedok hukum internasional.
AS dan mitranya juga termasuk Jepang dan Kanada berusaha dengan menggambarkan China sebagai "perusak norma internasional dan multilateralisme" dan AS sebagai "pembela" dalam narasi mereka dengan meningkatkan keputusan di Laut China Selatan, kata Chen.
Zhao Lijian, juru bicara dari Kementerian Luar Negeri China, pada hari Senin turut mengecam AS karena pernyataannya mengabaikan fakta.
AS dinilai sudah melanggar dan menyimpangkan hukum internasional, bertentangan dengan komitmen publik lama pemerintah AS untuk tidak mengambil posisi dalam masalah kedaulatan di Laut China Selatan, memprovokasi sengketa di Laut China Selatan dengan sengaja, dan menghancurkan perdamaian dan stabilitas di kawasan itu, yang sangat tidak bertanggung jawab.
Adapun China turut mengklaim telah menganjurkan negosiasi dan konsultasi yang bersahabat untuk bisa menyelesaikan masalah Laut China Selatan, memperlakukan tetangga Laut China Selatan secara setara dan menahan diri secara maksimal ketika menjaga kedaulatan, hak, dan kepentingan kami di Laut China Selatan.
Baca juga: Mendukung Pencapaian Tujuan Berkelanjutan, UIN STS Jambi MoU dengan 4 Non-Govermental Organisation
Baca juga: VIDEO Jelang Hari Raya Idul Adha, Peternak Sapi di Tanjabbar Akui Sepi Pembeli
Baca juga: VIDEO 24 Tahun Terpisah dari Anaknya, Pria di China Tempuh Perjalanan 500 Ribu Kilometer
Sebaliknya, sejak awal tahun ini, pihak AS juga disebut Beijing telah melakukan pengintaian jarak dekat selama hampir 2.000 kali dan lebih dari 20 latihan militer skala besar di laut China Selatan.
"Ini memperlihatkan logika politik kekuasaan dan praktik hegemoniknya," ujar Zhao.
Serangkaian provokasi oleh AS itu terhadap masalah Laut China Selatan telah mengungkap bahwa AS sebenarnya adalah “perusak norma-norma internasional dan multilateralisme,” ujar Chen.
Selama lima tahun terakhir, hubungan antara China-Filipina telah mengalami perkembangan yang baik dan situasi di Laut China Selatan dinilai telah mengalami peningkatan yang stabil, yang tidak disebabkan oleh keputusan ilegal.
Tetapi Chen juga mencatat, kebijakan rasional pemerintah Filipina di Laut China Selatan dan konsensus yang dicapai dengan China untuk mengesampingkan keputusan tersebut dan tidak menganggap keputusan tersebut sebagai prasyarat untuk menangani masalah Laut China Selatan.
Bahkan dalam beberapa tahun terakhir, China dan Filipina juga telah meluncurkan kerja sama di industri perikanan, penegakan hukum kelautan, dan memerangi epidemi, kata Chen.
China dan negara-negara lain terkait di Laut China Selatan pun telah secara efektif mengelola perbedaan melalui dialog dan konsultasi, dan terus-menerus mempromosikan kerja sama praktis, kata Zhao.
Zhao turut menambahkan, China dan anggota ASEAN telah sepenuhnya dan efektif menerapkan Deklarasi tentang Perilaku Para Pihak di Laut China Selatan, dan membuat kemajuan penting dalam memajukan konsultasi tentang kode etik di Laut China Selatan.

Namun, beberapa politisi Filipina ini mencoba menekan pemerintahan Duterte tentang masalah Laut China Selatan untuk keuntungan politik mereka sendiri, klaim Vhina.
Wakil Presiden Leni Robredo pada hari Senin turut mengecam pemerintahan Duterte karena kegagalannya untuk memanfaatkan “kemenangan arbitrase” Filipina melawan China lima tahun setelah keputusan itu, media Filipina melaporkan.