Kisah Yohana Marpaung Fasilitator Pendidikan Orang Rimba, Bergelut dengan Alam dan Budaya Baru
Menjadi fasilitator pendidikan bagi anak-anak Orang Rimba di pedalaman Provinsi Jambi memberi pengalaman tak ternilai bagi Yohana Marpaung
Penulis: Mareza Sutan AJ | Editor: Suang Sitanggang
TRIBUNJAMBI.COM, JAMBI - Menjadi fasilitator pendidikan bagi anak-anak Orang Rimba di pedalaman Provinsi Jambi memberi pengalaman tak ternilai bagi Yohana Pamella Berliana Marpaung.
Yohana Marpaung, yang kini berusia 28 tahun menceritakan pengalamannya selama dua tahun bergabung dengan KKI Warsi.
Perempuan yang biasa disapa dengan nama Juana di kalangan anak-anak rimba ini mengaku sudah mulai tertarik bertemu dengan Orang Rimba sejak kuliah S1.
Saat itu ia menempuh pendidikan di Jurusan Antropologi Fakultas Ilmu Sosial dan Politik Universitas Sumatera Utara.
"Awal kuliah S1, sudah pengin skripsinya tentang Orang Rimba, khususnya di bidang pendidikan. Cuma karena bujet ke sana minim, dari kampusnya juga sarankan ambil skripsi yang dekat-dekat saja, jadi belum kesampaian," Yohana menceritakan kepada Tribun, Jumat (6/11/2020).
Lulus dari USU, Yohana meneruskan pendidikan S2 di Universitas Gajah Mada, linear dengan jurusan yang ia dapatkan saat menempuh S1.
Awalnya, dia berniat menjadi dosen. Namun setelah lulus dan bekerja, dia mendapat informasi lowongan di KKI Warsi.
Tidak ingin menyia-nyiakan kesempatan, dia langsung mendaftar. Motivasinya, ketemu Orang Rimba dan mengajar di sana.
Awalnya, KKI Warsi tidak membuka lowongan sebagai staf pendidikan, tapi Yohana punya keinginan tinggi sampai akhirnya menemukan jalan untuk mewujudkan harapannya.
Yohana menuturkan, dia mulai mengenal orang rimba dari buku-buku dan pencarian di internet.
Saking penasarannya, dia juga sempat mengobrol lewat pesan facebook dengan orang rimba yang sudah tinggal di pedalaman Jambi. Namanya Pangendum Tampung.
Dia juga sampai mencari tahu bagaimana bisa berangkat menuju kawasan hidup orang rimba.
"Aku searching-searching. Aku dari Medan, naik bus apa ke sana, tinggal di sana di mana, bahasa rimbanya bagaimana. Sudah sampai ke sana. Cuma dari kampus, dari dosennya bilang, tidak usahlah ke sana. Jauh banget," kenangnya.
Sejak gabung di KKI Warsi pada November 2018, dia menyadari banyak perbedaan. Meski pernah keluar-masuk hutan saat jadi peneliti independen, tapi suasananya berbeda.
Dia ingat, tahun 2018, saat orang-orang kota sudah sibuk dengan gawai dan berbagai teknologi, orang rimba masih hidup dengan lampu damar.
Masih sangat tradisional. Sampai sekarang pun, kata dia, setiap masuk ke rombongan baru itu selalu ada hal baru yang dia temui.
Saat awal masuk rimba, dia mulai belajar memahami bahasa Suku Rimba.
Menurutnya, bahasa rimba susah-susah gampang. Bahasa perempuan dan bahasa laki-laki itu berbeda.
Bahasa yang belum menikah dan sudah menikah juga berbeda.
Beruntungnya, Yohana ditempatkan sebagai fasilitator pendidikan yang mengajar anak-anak. Ketika dia salah bicara, anak-anak rimba akan mengajari bahasa yang laik digunakan.
Butuh sekitar tiga bulan untuk perempuan Batak ini fasih melafalkan bahasa rimba, mengingat logat dan aksen bahasanya yang jauh berbeda.
Pengalaman itu kemudian menjadi keseruan bagi Yohana. Setiap anak dan setiap rombongan punya perbedaan, yang jadi tempat dia belajar.
Namun, mengajar di rimba bukan tidak punya tantangan.
Lokasi antarrombongan yang jauh dan medan yang sulit, cukup menguras tenaga. Apa lagi ketika harus menggendong carier yang berisi persediaan makanan, buku-buku, dan peralatan lainnya.
Masyarakat Suku Rimba juga hidup seminomaden. Tingkat mobilitas mereka tinggi. Jika bulan ini mereka hidup di suatu lokasi, belum tentu mereka tetap di sana bulan depan.
Yohana menuturkan, mereka punya rasa ingin tahu yang luar biasa. Ambil contoh, misalnya, ketika Yohana mengetik di laptopnya, membuatkan akta lahir untuk anak-anak rimba.
Mereka penasaran dan bertanya, siapa yang memindahkan huruf-huruf di keyboard ke layar. Hal sama juga terjadi ketika Yohana mencetak akta lahir tersebut. Mereka bertanya, "siapo nang bewo huruf-huruf ko kemari?"
Pengalaman Yohana saat bersama anak Rimba di ibu kota juga menggelitik.
Kata Yohana, mereka sampai berkali-kali keluar-masuk mal, hanya karena pintu mal bisa terbuka otomatis.
Mereka sampai tanya, "siapo nang bukak pintu ake ni?" Aih, sederhana sekali kebahagiaan mereka.
Rasa ingin tahu itu juga yang menjadikan semangat belajar anak-anak rimba sangat tinggi.
Ketika sedang semangat, sesulit apa diberikan, walau mereka tidak bisa, mereka pasti minta lagi. Buat lagi sampai bisa.
Sayangnya, ketika malas, sebaik apa pun cara membujuknya, mereka tetap menolak.
"Kalau lagi mood, mood banget. Kalau lagi enggak, enggak banget. Mereka belajarnya kayak begitu," ujar Yohana.
Anak-anak rimba biasanya belajar di sudung, sebutan untuk rumah mereka yang terbuat dari kayu dan ditutupi terpal.
Dahulu, sudung terbuat dari tiang-tiang kayu yang dindingnya kulit-kulit kayu dan atapnya dari daun-daun. Sudung menjadi rumah mereka, menjadi tempat untuk sehari atau beberapa hari.
Belajar di rimba sama seperti belajar di alam. Pernah sekali waktu akhir tahun saat awal bergabung di Warsi, sekitar rimba sedang musim buah.
Saat mengajar, tiba-tiba ada durian jatuh, anak-anak sontak kabur semua.
Namun itu tidak bikin Yohana memarahi mereka. Dia menjadikan durian sebagai alat belajar. Misalnya, kata dia, dua biji durian ditambah dua biji durian, hasilnya empat biji.
"Segala sesuatunya bisa kita jadikan untuk pembelajaran. Apa yang ada itu harus bisa jadi bahan ajarnya," ungkapnya.
Satu lagi, anak-anak rimba tidak ada jadwal belajar. Bahkan, ketika tengah malam ingin belajar, mereka akan membangunkan fasilitator. Awalnya memang sulit, tapi lama-kelamaan Yohana terbiasa.
Pendidikan untuk anak-anak rimba pada dasarnya untuk baca tulis hitung, agar mereka tidak diloloi atau ditipu oleh orang luar.
Namun belakangan, KKI Warsi juga berkoordinasi dengan Dinas Pendidikan, sehingga anak-anak rimba sudah belajar di sekolah formal.
Ada ratusan anak rimba yang masuk ke sekolah formal, mulai dari SD, SMP, hingga SMK. Ada juga yang masuk jenjang kuliah, meski jumlahnya belum banyak.
Tahun lalu juga sudah didirikan yayasan pendidikan baru, PKBM (pusat kegiatan belajar masyarakat). Itu menjadi wadah buat orang rimba. Bukan sekadar baca tulis hitung, tapi juga bagaimana peningkatan kemampuan ekonominya.
Di situ menjadi tempat menampung hasil hutan dari orang rimba, yang kemudian dibantu jual.
Meski ada kesulitan yang dihadapi, Yohana mengaku, dirinya tidak mengeluh. Dia menganggap itu tantangan yang harus dia taklukkan.
Setiap turun ke lapangan, selalu ada pelajaran baru. Meski sempat mengeluh karena kenakalan anak-anak, tapi anak rimba tidak mengenal dendam. Ketika seorang anak dimarahi, dia tahu kita marah, dia akan pergi.
Tapi tidak lama kemudian, dia akan datang lagi ke tanpa ada muka merasa kesal atau menyimpan dendam. Marahnya cepat, baiknya juga cepat. Justu akhirnya Yohana menganggap itu lucu.
Saat memilih jadi fasilitator, timbul pertanyaan di keluarganya. Namun, akhirnya mereka mengerti apa yang Yohana lakukan.
Ayahnya hanya berpesan agar bertanggung jawab dalam tugasnya, sementara ibunya belakangan ikut belajar banyak hal melalui orang rimba.
Di sela-sela aktivitasnya, Yohana acap melakukan panggilan video. Dia menampakkan kehidupan orang rimba melalui layar gawainya.
Banyak pelajaran yang bisa dipetik. Kata Yohana, ada tradisi yang masih teguh dipegang orang-orang rimba.
Setiap anak lahir, ada pohon yang ditanamkan sebagai akta lahir anak. Secara tidak langsung, apa yang dilakukan masyarakat Suku Rimba merupakan reboisasi hutan.
Ketika banyak orang membalak, mengambil-ambil kayu, mereka sampai sekarang, meski tinggal lagi tinggal di rimba, tetap ada pohon lahirnya.
Bahkan, jika orang rimba belajar dan merantau, saat dia kembali, dia pasti mengenal pohon kelahirannya. (Tribunjambi.com/Mareza Sutan A J)