Pengakuan Kapur di Mata Najwa, Anak Hilang Saat Demo Omnibus Law: di Ruang Gelap Anak Ditelanjangi

Kapur membuat pengakuan yang mengejutkan saat mencari puntranya, Bintang Keadilan yang hilang saat ikut demo menolak Omnibus Law UU Cipta Kerja.

Editor: Teguh Suprayitno
YouTube Najwa Shihab
Seorang pria bernama Kapur menceritakan perjuangannya mencari sang putra, Bintang Keadilan yang menghilang saat mengikuti demo menolak Omnibus Law. 

Pengakuan Kapur di Mata Najwa, Anak Hilang Saat Demo Omnibus Law: di Ruang Gelap Anak Ditelanjangi

TRIBUNJAMBI.COM -Kapur membuat pengakuan yang mengejutkan saat mencari puntranya, Bintang Keadilan yang hilang saat ikut demo menolak Omnibus Law UU Cipta Kerja.

Bintang Keadilan merupakan seorang mahasiswa di salah universitas negeri di Surabaya. Dia ditangkap aparat saat aksi tolak Omnibus Law.

Di acara Mata Najwa, Kapur mengaku dipersulit aparat ketika ingin mencari keberadaan anaknya.

Mulanya Kapur mengatakan pada 8 Oktober 2020, Bintang Keadilan berpamitan kepadanya ingin mengikuti demo menolak Omnibus Law.

Baca juga: Donald Trump Tak Mau Tinggalkan Gedung Putih, Joe Biden Akan Kerahkan Militer untuk Mengusirnya

"Pada tanggal 8 Kamis pagi itu, anak saya memang izin ke kami, untuk ikut demo menolak Omnibus Law," ucap Kapur dikutip TribunJakarta.com dari YouTube Najwa Shihab, pada Kamis (5/11/2020).

"Saya mengizikan dan memberikan pesan jangan anarkis," imbuhnya.

Namun hingga pukul 21.00 WIB, Bintang Keadilan tak menunjukkan batang hidungnya.

Ponsel sang putra bahkan tak dapat ia hubungi.

Kapur kemudian berusaha mencari keberadaan Bintang Keadilan di Polrestabes.

Seorang pria bernama Kapur menceritakan perjuangannya mencari sang putra, Bintang Keadilan yang menghilang saat mengikuti demo menolak Omnibus Law.
Seorang pria bernama Kapur menceritakan perjuangannya mencari sang putra, Bintang Keadilan yang menghilang saat mengikuti demo menolak Omnibus Law. (YouTube Najwa Shihab)

Ia mengaku mendapatkan informasi sejumlah mahasiswa diamankan di sana.

"Lalu saya dengar ada kericuhan pada demo itu," kata Kapur.

"Akhirnya jam 9 malam, saya kroscek ke Polres, saya telpon Bintang tidak ada yang angkat,"

"Saya krocek ke Polrestabes karena saya dapet informasi bahwa yang ditangkep ada di sana," imbuhnya.

Setibanya di Polrestabes, Kapur mengatakan sejumlah orangtua juga mencari keberadaan anak mereka seperti dirinya.

Kala itu bukannya memberikan jawaban, aparat malah memilih bungkam.

Baca juga: 3 Wilayah Basis Trump Ini Bisa Gagalkan Joe Biden Jadi Presiden AS, Mahkamah Agung Diminta Berindak

Keesokan harinya Kapur tak menyerah, ia kembali mendatagi Polrestabes.

"Di Polrestabes ternyata sudah banyak orangtua yang juga mencari anaknya tapi ditolak," kata Kapur.

"Paginya saya dijanjikan bertemu dengan anak, tapi ternyata saya dipersulit," imbuhnya.

Sejumlah mahasiswa yang tergabung dalam Badan Eksekutif Mahasiswa Seluruh Indonesia (BEM SI) kembali menggelar aksi unjuk rasa menolak Omnibus Law UU Cipta Kerja di kawasan Patung Kuda, Jakarta Pusat, Jumat (16/10/2020). Mereka menggelar aksi unjuk rasa untuk menolak Undang-Undang Cipta Kerja yang telah disahkan oleh DPR pada 5 Oktober 2020.
Sejumlah mahasiswa yang tergabung dalam Badan Eksekutif Mahasiswa Seluruh Indonesia (BEM SI) kembali menggelar aksi unjuk rasa menolak Omnibus Law UU Cipta Kerja di kawasan Patung Kuda, Jakarta Pusat, Jumat (16/10/2020). Mereka menggelar aksi unjuk rasa untuk menolak Undang-Undang Cipta Kerja yang telah disahkan oleh DPR pada 5 Oktober 2020. (Tribunnews/Jeprima)

Saat itu Kapur kembali harus menelan pil pahit, pihak aparat enggan memberikan data sejumlah mahasiswa yang diamankan saat demonstrasi.

Setelah terlibat perdebatan dengan aparat, Kapur mengaku akhirnya diberikan izin untuk masuk ke ruang penyidikan.

Betapa terkejutnya Kapur, saat melihat sejumlah mahasiswa ditelanjangi dan dikumpulkan dalam sebuah ruangan gelap.

"Saya bahkan mencari data anak saya, itu juga tidak diberi data," ucap Kapur.

"Akhirnya setelah saya debat, saya diizinkan untuk masuk ke ruang penyidikan,"

"Ternyata anak-anak sudah dikumpulkan di dalam ruangan yang gelap, ditelanjangi," imbuhnya.

Baca juga: Buntut Katai Presiden Tidak Paham Pancasila di ILC, Rocky Gerung Habis Diserang Pendukung Jokowi

Di ruangan tersebut, Kapur sempat bertanya kepada mereka apakah melihat keberadaan sang putra.

Namun hasilnya nihil, Kapur akhirnya memutuskan untuk melanjutkan pencariannya ke Polda Jatim.

"Saya keluar saya langsung ke Polda, ternyata di Polda juga banyak orangtua yang mencari anaknya," kata Kapur.

Berusaha mencari Bintang Keadilan sejak pagi, Kapur akhirnya mendapatkan angin segar menjelang magrib.

"Menjelang magrib, anak saya telepon, Bintang ada di penyidikan," ucap Kapur.

Baca juga: Tergiur Upah Rp20 Juta, Perwira Polisi Nekat Jadi Kurir Sabu Dipecat, Dipenjara, Disebut Pengkhianat

Di ruang penyidikan, Kapur melihat kondisi sang putra sudah sangat memprihatikan.

"Setelah itu saya masuk kepala anak saya sudah bocor, enggak pakai sandal, bajunya dicopot," kata Kapur menahan tangis.

Kepada Najwa Shihab, Kapur mengaku akan membawa perlakuan tak manusiawi yang diterima Bintang Keadilan ke jalur hukum.

"Saya sudah menyerahkan kasus ini ke Lembaga Bantuan Hukum," ujar Kapur.

UU Cipta Kerja Telanjur Ditandatangani Jokowi, Yusril Sarankan Ini untuk Perbaikan

Pakar Hukum Tata Negara, Yusril Ihza Mahendra mengatakan, kesalahan pengetikan dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 Tentang Cipta Kerja terjadi akibat proses pembentukannya yang tergesa-gesa, sehingga mengabaikan asas kecermatan.

Kuasa Hukum Jokowi-Maruf Yusril Ihza Mahendra
Kuasa Hukum Jokowi-Maruf Yusril Ihza Mahendra (TRIBUNNEWS.COM)

Namun, menurut Yusril, UU tersebut sudah terlanjur ditandatangani Presiden Jokowi dan diundangkan dalam Lembaran Negara.

"Naskah itu sah sebagai sebuah undang-undang yang berlaku dan mengikat semua pihak," kata Yusril dalam keterangan tertulis, Rabu (4/11/2020).

Lantas, bagaimana cara memperbaiki kesalahan pengetikan tersebut?

Yusril mengatakan, kesalahan pengetikan tersebut tidak membawa pengaruh pada norma yang diatur dalam Undang-Undang Cipta Kerja.

Oleh karenanya, menurut Yusril, pemerintah dan DPR dapat melakukan rapat guna memperbaiki kesalahan pengetikan tersebut.

"Presiden (bisa diwakili Menko Polhukam, Menkumham, atau Mensesneg) dan Pimpinan DPR dapat mengadakan rapat memperbaiki salah ketik seperti itu," ujarnya.

Yusril mengatakan, setelah naskah UU Cipta Kerja diperbaiki, pemerintah harus mengumumkan kembali dalam Lembaran Negara untuk dijadikan rujukan resmi.

"Presiden tidak perlu menandatangani ulang naskah undang-undang yang sudah diperbaiki salah ketiknya itu," ucapnya.

Lebih lanjut, Yusril mengatakan, adanya salah ketik dalam naskah UU yang telah disetujui presiden dan DPR dan dikirim ke Sekretariat Negara telah terjadi beberapa kali.

Namun, kesalahan ketik kali ini memang beda, karena kekeliruan itu baru diketahui setelah presiden menandatanganinya dan naskahnya telah diundangkan dalam Lembaran Negara.

Adapun berdasarkan penelusuran Kompas.com, Selasa (3/11/2020), ditemukan kesalahan ketik yang cukup fatal pada Pasal 6 di Bab Peningkatan Ekosistem Investasi dan Kegiatan Berusaha.

Pasal 6 menyebutkan, peningkatan ekosistem investasi dan kegiatan berusaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 Ayat (1) huruf a meliputi (a) penerapan perizinan berusaha berbasis risiko; (b) penyederhanaan persyaratan dasar perizinan berusaha; (c) penyederhanaan perizinan berusaha sektor; dan (d) penyederhanaan persyaratan investasi.

Namun, rujukan ke Pasal 5 ayat (1) tidak jelas karena dalam UU Cipta Kerja Pasal 5 tidak memiliki ayat.

Pasal 5 hanya berbunyi, ruang lingkup sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 meliputi bidang hukum yang diatur dalam undang-undang terkait.

Kemudian, ada pula kesalahan ketik dalam Pasal 175 di Bab Pelaksanaan Administrasi Pemerintahan untuk Mendukung Cipta Kerja.

Pasal 175 angka 6 mengubah Pasal 53 UU Administrasi Pemerintahan Nomor 30 Tahun 2014.

Pasal 53 itu terdiri atas 5 ayat yang mengatur soal syarat sah keputusan pemerintahan.

Ayat (1) berbunyi, batas waktu kewajiban untuk menetapkan dan/atau melakukan keputusan dan/atau tindakan diberikan sesuai dengan ketentuan perundang-undangan.

Ayat (2), jika ketentuan peraturan perundang-undangan tidak menentukan batas waktu kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (1), badan dan/atau pejabat pemerintahan wajib menetapkan dan/atau melakukan keputusan dan/atau tindakan dalam waktu paling lama 5 hari kerja setelah permohonan diterima secara lengkap oleh badan dan/atau pejabat pemerintahan.

Ayat (3), dalam hal permohonan diproses melalui sistem elektronik dan seluruh persyaratan dalam sistem elektronik dan seluruh persyaratan dalam sistem elektronik telah terpenuhi, sistem elektronik menetapkan keputusan dan/atau tindakan sebagai keputusan atau tindakan badan atau pejabat pemerintahan yang berwenang.

Ayat (4), apabila dalam batas waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (2), badan dan/atau pejabat pemerintahan tidak menetapkan dan/atau melakukan keputusan dan/atau tindakan, permohonan dianggap dikabulkan secara hukum.

Ayat (5), ketentuan lebih lanjut mengenai bentuk penetapan keputusan dan/atau tindakan yang dianggap dikabulkan secara hukum sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diatur dalam Peraturan Presiden.

Semestinya, ketentuan dalam ayat (5) merujuk pada ayat (4).

Bukan pada ayat (3) sebagaimana yang ditulis dalam UU Cipta Kerja. (TribunJakarta.com/ Kompas.com)

Artikel ini telah tayang di Tribunjakarta.com dengan judul Dipersulit Cari Anak Hilang saat Demo Omnibus Law, Ayah Korban: di Ruang Gelap Mereka Ditelanjangi.

Sumber: Tribun Jakarta
Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved