Apa Itu Kumpul Kebo, Mengapa Artis dan Orang-orang Bisa Keenakan Begini
Dua artis ini dituding kumpul kebo saat masing-masing sudah memiliki pasangan sah pernikahan. Sebenarnya apa itu kumpul kebo?
Penulis: Heri Prihartono | Editor: Duanto AS
TRIBUNJAMBI.COM - Mieke Amalia dan Tora Sudiro isu tak sedap beberapa hari terakhir.
Dua artis ini dituding kumpul kebo saat masing-masing sudah memiliki pasangan sah pernikahan.
Sebenarnya apa itu kumpul kebo?
Istilah kumpul kebo sangat populer disebut tatkala perselngkuhan terjadi.
Sebenarnya, istilah yang asli dahulunya adalah koempoel gebouw.
Dalam bahasa Belanda, gebouw bermakna bangunan atau rumah, jadi koempoel gebouw.
Maksudnya berkumpul di bawah satu atap rumah.
Istilah gebouw berubah menjadi kebo, sehingga menjadi kumpul kebo.
Sementara, kohabitasi berasal dari Latin via Inggris, "cohabitation" (dalam Latin orisinil co-habitare, tinggal bersama).
Kesalahan persepsi
Nah dari istilah asli itu akhirnya terjadi salah penyimpulan.
Menurut masyarakat awam, ungkapan ini bukanlah ungkapan yang benar dalam bahasa Indonesia.
Itu karena kebo diserap dari bahasa daerah di Indonesia yang maknanya kerbau.
Menurut mereka, kumpul kebo mesti diubah menjadi kumpul kerbau untuk menjadikannya ungkapan dalam bahasa Indonesia.
Lantas apa yang dilakukan orang saat kumpul kebo?
Sudirman Hasan, dosen pendidik di Malang, menulis di Kompasiana tentang kumpul kebo.
Berikut ini tulisan berjudul 'Ketika Kumpul Kebo' Jadi Pilihan.
Saya yakin tidak satu pun manusia di dunia ini yang mau dicap sebagai pasangan 'kumpul kebo.'
Di benak mereka yang paling dalam, tentu terbetik keinginan untuk hidup sempurna seperti layaknya orang lain.
Namun, karena pilihan-pilihan yang sulit, kumpul kebo pun jadi alternatif yang tak terhindarkan.
Berdasarkan beberapa kasus hidup satu atap tanpa ikatan perkawinan yang saya amati di lingkungan saya, mereka memilih menjadi pasangan kumpul kebo karena hal itu lebih ringan dan mudah dilakukan ketimbang melakukan pernikahan resmi, baik di KUA maupun Kantor Catatan Sipil.
Di masyarakat miskin, misalnya di kawasan pemulung di kota Malang, pernikahan resmi yang mengharuskan pasangan itu melengkapi syarat administrasi dan menyiapkan sejumlah biaya tentu sangat berat.
Bagi mereka, biaya untuk bertahan hidup saja susah.
Tatkala cinta berlabuh antara dua insan yang sama-sama tingkat ekonominya lemah, kumpul kebo pun jadi pilihan.
Cobalah kita tengok ketika diadakan pernikahan masal di berbagai daerah, ternyata pesertanya membludak.
Ini membuktikan bahwa fenomena kumpul kebo di masyarakat miskin sudah lama mendarah daging.
Kemudian, ketika saya saat ini berkesempatan tinggal di negeri maju, Amerika, fenomena kumpul kebo bahkan menjadi budaya.
Mereka menjadi pasangan tanpa ikatan pernikahan bukan lagi disebabkan oleh kemiskinan, namun justru karena situasi hukumlah yang menyebabkan mereka memilih jalur ini.
Sebagai contoh, perilaku hidup bebas bergaul antara laki-laki-perempuan memang didukung dan dilindungi oleh hukum.
Para remaja yang telah berusia 18 ke atas mendapat kemerdekaan penuh untuk menata dan mengatur hidupnya.
Orang tua mereka sudah kehilangan hak untuk mengontrol atau bahkan menasehati mereka.
Kalau mereka para remaja itu membawa kawannya, baik sesama atau berlainan jenis untuk menginap di rumahnya, orang tua hanya mampu menyaksikan saja, tidak lebih dari itu. Jika orang tua menghardik atau melakukan penganiayaan, polisi akan datang untuk melindungi sang anak dan membawa orang tua itu ke meja hijau.
Kemudian, saat para manusia muda itu melanjutkan studinya di kampus, mereka sudah terbiasa untuk berpasang-pasangan.
Bahkan, dalam mencari tempat tinggal pun mereka dengan leluasa bermukim dalam satu rumah.
Selama mereka belum pernah terikat pernikahan dengan seseorang, hubungan mereka tidak akan tersentuh oleh hukum.
Tidak ada tradisi gerebek seperti di Indonesia.
Selama pasangan ini tidak menggangu orang lain, maka hukum akan tetap mendiamkan mereka. Istilah perzinahan yang dikenal dalam hukum Islam tidak berlaku bagi mereka.
Hukum perzinahan hanya akan diterapkan apabila salah satu atau kedua pelaku hubungan seks bebas itu memiliki ikatan perkawinan dengan orang lain.
Di sini mungkin akan lebih mudah disebut perselingkuhan.
Oleh sebab itu, pernikahan menjadi barang asing karena dianggap justru menghalangi kebebasan mereka.
Belum lagi, pernikahan membuat hubungan dua insan itu menjadi saling terikat.
Mereka tidak bebas bereksplorasi dengan lawan jenis.
Permasalahan kian parah ketika pasangan itu harus bagi harta gono gini bila suatu saat bercerai.
Ini dianggap tidak adil bagi pasangan yang tingkat ekonominya tidak setara.
Oleh sebab itu, daripada susah dan banyak terikat, hidup kumpul kebo jadi pilihan favorit.
Toh, bila mereka memiliki keturunan, status hukum dan sosial anak-anak mereka tetap seperti anak-anak lain yang lahir dari pernikahan sah.
Meskipun faktanya begitu, saya masih percaya, bahwa hidup rumah tangga dalam ikatan perkawinan yang sah akan tetap lebih menentramkan ketimbang kumpul kebo.
Betapa banyak pembunuhan terjadi ketika salah satu dari pasangan itu pindah ke pelukan orang lain tanpa merasa berdosa sebab memang tidak ada ikatan yang kuat.
Cinta hanya didasari nafsu belaka bukan karena cinta suci. Beda halnya dengan pernikahan.
Dalam pernikahan akan terbangun sebuah rumah tangga yang akan melahirkan generasi baru yang diliputi oleh kasih sayang, bukan berdasarkan erotisme sesaat.
Oleh sebab itu, menjaga kehormatan diri sejak dini menjadi penting sebelum semuanya kedaluwarsa.
Semoga bermanfaat.
Nah, itulah sekelumit apa itu kumpul kebo dan sejarah munculnya. (Heri Prihartono/Tribunjambi.com)