Muncul Tiga Versi, Draf UU Cipta Kerja Buat Bingung, Ada Perbedaan Soal Cuti, Upah dan PHK
Muncul tiga versi draf UU cipta kerja yang membuat masyarakat bingung. Namun demikian, pihak istana belum memberikan respon.
Muncul Tiga Versi, Draf UU Cipta Kerja Buat Bingung, Ada Perbedaan Soal Cuti, Upah dan PHK
TRIBUNJAMBI.COM - Muncul tiga versi draf UU cipta kerja yang membuat masyarakat bingung.
Namun demikian, pihak istana belum memberikan respon terkait draf UU Cipta Kerja yang masih simpang siur hingga belum memiliki draf final.
Sejak disahkan DPR RI pada Senin (5/10/2020), Omnibus Law UU Cipta Kerja terus menuai polemik.
Pasalnya hingga saat ini, publik belum bisa mengakses draf final UU Cipta Kerja padahal sudah disahkan DPR RI.
Bahkan beragam versi draf UU Cipta Kerja beredar di masyarakat.
DPR RI yang telah mengesahkan UU Cipta Kerja pun berdalih draf UU Cipta Kerja masih dalam proses revisi redaksional.
Berdasarkan dokumen yang diterima Kompas.com, setidaknya ada tiga draf RUU Cipta Kerja yang diakui oleh DPR hingga Selasa (13/10/2020).
Draf pertama setebal 905 halaman, yang beredar pada saat RUU ini disahkan menjadi UU pada 5 Oktober lalu.
Draf yang memiliki nama simpan "5 OKT 2020 RUU Cipta Kerja-Paripurna.pdf" itu didapatkan Kompas.com dari dua pimpinan Badan Legislasi DPR.
Selanjutnya pada Senin (12/10/2020) pagi, beredar dokumen lain dengan nama simpan " RUU CIPTA KERJA - KIRIM KE PRESIDEN.pdf". Berbeda dari draf sebelumnya, ada 1.035 halaman pada dokumen kedua.
Berikutnya pada Senin malam, beredar dokumen lain setebal 812 halaman dengan nama simpan "RUU CIPTA KERJA - PENJELASAN.pdf".
Kompas.com pun mencoba memastikan keberadaan draf final UU Cipta Kerja dengan menghubungi Sekretaris Kementrian Sekretriat Negara Setya Utama.
Saat dimintai konfirmasi apakah draf UU Cipta Kerja sudah dikirim ke Kementerian Sekretariat Negara, Setya tak merespons pesan singkat dan panggilan telepon dari Kompas.com.
Baca juga: Reaksi Prabowo UU Cipta Kerja Banyak Ditolak: Coba Dulu, Kalau Tidak Bagus Bawa ke MK
Staf Khusus Presiden Bidang Hukum Dini Purwono juga enggan memberikan tanggapan.
Adapun, berdasarkan Pasal 72 ayat (2) UU No 12 Tahun 2011 tentang Penyusunan Peraturan Perundang-undangan, DPR memiliki batas waktu 7 hari untuk menyerahkan UU kepada presiden.
Sebelumnya, Sekjen DPR Indra Iskandar menyatakan draf UU masih dalam tahap finalisasi dan akan diserahkan selambat-lambatnya tujuh hari kerja setelah UU disahkan di paripurna.
Dengan demikian tanggal 13 Oktober ini menjadi hari terakhir batas waktu penyerahan draf UU ke Sekretariat Negara untuk ditandatangani presiden.
Wakil Ketua Badan Legislasi DPR Achmad Baidowi juga pernah mengatakan bahwa DPR tengah merevisi redaksional draf UU Cipta Kerja.
"Kami sudah sampaikan, kami minta waktu bahwa Baleg dikasih kesempatan untuk me-review lagi, takut-takut ada yang salah titik, salah huruf, salah kata, atau salah koma. Kalau substansi tidak bisa kami ubah karena sudah keputusan," ujar Awi saat dihubungi, Kamis (8/10/2020).
Membandingkan 3 Draf UU Cipta Kerja
Hasil penulusuran Kompas.com, tidak ada perubahan klausul di dalam Klaster Ketenagakerjaan antara dokumen kedua (1.035 halaman) dengan dokumen ketiga (812 halaman).
Berikut rincian perbedaan di dalam ketiga dokumen tersebut:
Tebal dokumen
- 5 OKT 2020 RUU Cipta Kerja-Paripurna : 905 halaman
- RUU CIPTA KERJA - KIRIM KE PRESIDEN : 1.035 halaman
- RUU CIPTA KERJA - PENJELASAN : 812 halaman
Pembahasan klaster
- 5 OKT 2020 RUU Cipta Kerja-Paripurna : Halaman 428-455 (27 halaman)
- RUU CIPTA KERJA - KIRIM KE PRESIDEN : Halaman 438-468 (30 halaman)
- RUU CIPTA KERJA - PENJELASAN : Halaman 341-365 (24 halaman)
Pasal Perbedaan
- Bagian Kesatu Umum : tidak ada perbedaan
- Bagian Kedua Ketenagakerjaan :
Pasal 81 Beberapa ketentuan dalam UU Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (Lembaran Negara RI Tahun 2003 Nomor 39, Tambahan Lembaran Negara RI 4279) diubah:
1. Pasal 79
- Versi 5 Oktober (905 halaman)
(1) Pengusaha wajib memberi: a. waktu istirahat; dan b. cuti.
(2) Waktu istirahat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a wajib diberikan kepada pekerja/buruh paling sedikit meliputi: a. istirahat antara jam kerja, paling sedikit setengah jam setelah bekerja selama 4 (empat) jam terus menerus dan waktu istirahat tersebut tidak termasuk jam kerja; dan b. istirahat mingguan 1 (satu) hari untuk 6 (enam) hari kerja dalam 1 (satu) minggu.
(3) Cuti sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b yang wajib diberikan kepada pekerja/buruh yaitu cuti tahunan, paling sedikit 12 (dua belas) hari kerja setelah pekerja/buruh yang bersangkutan bekerja selama 12 (dua belas) bulan secara terus menerus.
(4) Pelaksanaan cuti tahunan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama.
(5) Selain waktu istirahat dan cuti sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3), perusahaan tertentu dapat memberikan istirahat panjang yang diatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama.
Baca juga: Omnibus Law Otoriter, Fahri Hamzah Geram Sebut Presiden, Wakil Presiden Tak Paham Akar Masalah
- Versi "Kirim Presiden" (1.035 halaman) dan Penjelasan (812 halaman):
(1) Pengusaha wajib memberi: a. waktu istirahat; dan b. cuti.
(2) Waktu istirahat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a wajib diberikan kepada pekerja/buruh paling sedikit meliputi: a. istirahat antara jam kerja, paling sedikit setengah jam setelah bekerja selama 4 (empat) jam terus menerus dan waktu istirahat tersebut tidak termasuk jam kerja; dan b. istirahat mingguan 1 (satu) hari untuk 6 (enam) hari kerja dalam 1 (satu) minggu.
(3) Cuti sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b yang wajib diberikan kepada pekerja/buruh yaitu cuti tahunan, paling sedikit 12 (dua belas) hari kerja setelah pekerja/buruh yang bersangkutan bekerja selama 12 (dua belas) bulan secara terus menerus.
(4) Pelaksanaan cuti tahunan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama.
(5) Selain waktu istirahat dan cuti sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3), perusahaan tertentu dapat memberikan istirahat panjang yang diatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama.
(6) Ketentuan lebih lanjut mengenai perusahaan tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (5) diatur dengan Peraturan Pemerintah. Baca juga: KSPI Khawatir Gugatan UU Cipta Kerja Sejumlah Pihak Sengaja Pakai Dalil Lemah
*Catatan: Perubahan terdapat dalam Ayat (6), dengan tambahan: "Ketentuan lebih lanjut mengenai perusahaan tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (5) diatur dengan Peraturan Pemerintah."
2. Pasal 88A
- Versi 5 OKT (905 halaman)
(1) Hak pekerja/buruh atas upah timbul pada saat terjadi hubungan kerja antara pekerja/buruh dengan pengusaha dan berakhir pada saat putusnya hubungan kerja.
(2) Setiap pekerja/buruh berhak memperoleh upah yang sama untuk pekerjaan yang sama nilainya.
(3) Pengusaha wajib membayar upah kepada pekerja/buruh sesuai dengan kesepakatan.
(4) Pengaturan pengupahan yang ditetapkan atas kesepakatan antara pengusaha dengan pekerja/buruh atau serikat pekerja/serikat buruh tidak boleh lebih rendah dari ketentuan pengupahan yang ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan.
(5) Dalam hal kesepakatan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) lebih rendah atau bertentangan dengan peraturan perundang-undangan, kesepakatan tersebut batal demi hukum dan pengaturan pengupahan dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Baca juga: Presiden Jokowi Sampaikan Pernyataan Resmi, Ini 7 Hoaks UU Cipta Kerja yang Dibantah Pemerintah
-Versi "Kirim Presiden" (1.035 halaman) dan "Penjelasan" (812 halaman):
(1) Hak pekerja/buruh atas upah timbul pada saat terjadi hubungan kerja antara pekerja/buruh dengan pengusaha dan berakhir pada saat putusnya hubungan kerja.
(2) Setiap pekerja/buruh berhak memperoleh upah yang sama untuk pekerjaan yang sama nilainya.
(3) Pengusaha wajib membayar upah kepada pekerja/buruh sesuai dengan kesepakatan.
(4) Pengaturan pengupahan yang ditetapkan atas kesepakatan antara pengusaha dengan pekerja/buruh atau serikat pekerja/serikat buruh tidak boleh lebih rendah dari ketentuan pengupahan yang ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan.
(5) Dalam hal kesepakatan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) lebih rendah atau bertentangan dengan peraturan perundang-undangan, kesepakatan tersebut batal demi hukum dan pengaturan pengupahan dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(6) Pengusaha yang karena kesengajaan atau kelalaiannya mengakibatkan keterlambatan pembayaran upah, dikenakan denda sesuai dengan persentase tertentu dari upah pekerja/buruh.
(7) Pekerja/buruh yang melakukan pelanggaran karena kesengajaan atau kelalaiannya dapat dikenakan denda.
(8) Pemerintah mengatur pengenaan denda kepada pengusaha dan/atau pekerja/buruh dalam pembayaran upah.
*Catatan: Ada tambahan ketentuan dalam Ayat 6-8.
3. Pasal 154A ayat (1)
- Versi 5 OKT (905 halaman)
(1) Pemutusan hubungan kerja dapat terjadi karena alasan:
a. perusahaan melakukan penggabungan, peleburan, pengambilalihan, atau pemisahan perusahaan;
b. perusahaan melakukan efisiensi;
c. perusahaan tutup yang disebabkan karena perusahaan mengalami kerugian;
d. perusahaan tutup yang disebabkan karena keadaan memaksa (force majeur).
e. perusahaan dalam keadaan penundaan kewajiban pembayaran utang;
f. perusahaan pailit;
g. perusahaan melakukan perbuatan yang merugikan pekerja/buruh;
h. pekerja/buruh mengundurkan diri atas kemauan sendiri;
i. pekerja/buruh mangkir;
j. pekerja/buruh melakukan pelanggaran ketentuan yang diatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama;
k. pekerja/buruh ditahan pihak yang berwajib;
l. pekerja/buruh mengalami sakit berkepanjangan atau cacat akibat kecelakaan kerja dan tidak dapat melakukan pekerjaannya setelah melampaui batas 12 (dua belas) bulan;
m. pekerja/buruh memasuki usia pensiun; atau
n. pekerja/buruh meninggal dunia.
- Versi "Kirim Presiden" (1.035 halaman) dan Penjelasan (812 halaman):
(1) Pemutusan hubungan kerja dapat terjadi karena alasan
a. perusahaan melakukan penggabungan, peleburan, pengambilalihan, atau pemisahan perusahaan dan pekerja/buruh tidak bersedia melanjutkan hubungan kerja atau pengusaha tidak bersedia menerima pekerja/buruh;
b. perusahaan melakukan efisiensi diikuti dengan penutupan perusahaan atau tidak diikuti dengan penutupan perusahaan yang disebabkan perusahaan mengalami kerugian;
c. perusahaan tutup yang disebabkan karena perusahaan mengalami kerugian secara terus menerus selama 2 (dua) tahun;
d. perusahaan tutup yang disebabkan keadaan memaksa (force majeur).
e. perusahaan dalam keadaan penundaan kewajiban pembayaran utang;
f. perusahaan pailit;
g. adanya permohonan pemutusan hubungan kerja yang diajukan oleh pekerja/buruh dengan alasan pengusaha melakukan perbuatan sebagai berikut:
1. menganiaya, menghina secara kasar atau mengancam pekerja/buruh;
2. membujuk dan/atau menyuruh pekerja/buruh untuk melakukan perbuatan yang bertentangan dengan peraturan perundangundangan;
3. tidak membayar upah tepat pada waktu yang telah ditentukan selama 3 (tiga) bulan berturutturut atau lebih, meskipun pengusaha membayar upah secara tepat waktu sesudah itu;
4. tidak melakukan kewajiban yang telah dijanjikan kepada pekerja/buruh;
5. memerintahkan pekerja/buruh untuk melaksanakan pekerjaan di luar yang diperjanjikan; atau
6. memberikan pekerjaan yang membahayakan jiwa, keselamatan, kesehatan, dan kesusilaan pekerja/buruh sedangkan pekerjaan tersebut tidak dicantumkan pada perjanjian kerja;
h. adanya putusan lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial yang menyatakan pengusaha tidak melakukan perbuatan sebagaimana dimaksud pada huruf g terhadap permohonan yang diajukan oleh pekerja/buruh dan pengusaha memutuskan untuk melakukan pemutusan hubungan kerja;
i. pekerja/buruh mengundurkan diri atas kemauan sendiri dan harus memenuhi syarat:
1. mengajukan permohonan pengunduran diri secara tertulis selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari sebelum tanggal mulai pengunduran diri;
2. tidak terikat dalam ikatan dinas; dan
3. tetap melaksanakan kewajibannya sampai tanggal mulai pengunduran diri;
j. pekerja/buruh mangkir selama 5 (lima) hari kerja atau lebih berturut-turut tanpa keterangan secara tertulis yang dilengkapi dengan bukti yang sah dan telah dipanggil oleh pengusaha 2 (dua) kali secara patut dan tertulis;
k. pekerja/buruh melakukan pelanggaran ketentuan yang diatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama dan sebelumnya telah diberikan surat peringatan pertama, kedua, dan ketiga secara berturut-turut masing-masing berlaku untuk paling lama 6 (enam) bulan kecuali ditetapkan lain dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama;
l. pekerja/buruh tidak dapat melakukan pekerjaan selama 6 (enam) bulan akibat ditahan pihak yang berwajib karena diduga melakukan tindak pidana;
m. pekerja/buruh mengalami sakit berkepanjangan atau cacat akibat kecelakaan kerja dan tidak dapat melakukan pekerjaannya setelah melampaui batas 12 (dua belas) bulan;
n. pekerja/buruh memasuki usia pensiun; atau o. pekerja/buruh meninggal dunia. Catatan: Terdapat sejumlah perubahan terkait ketentuan PHK.
Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul "Membandingkan 3 Draf RUU Cipta Kerja: Ada Perbedaan Ketentuan Cuti, Upah, dan PHK"
Artikel ini telah tayang di tribun-timur.com dengan judul Menunggu Respon Istana Terkait Draf UU Cipta Kerja yang Simpang Siur, Simak Perbedaan Tiga Versi.