Mengapa Indonesia Tak Cetak Uang Sebanyak-banyaknya dan Dibagi ke Masyarakat? Ternyata Begini
Beberapa hari lalu, Badan Anggaran DPR RI mengusulkan ke pemerintah dan Bank Indonesia (BI) untuk mencetak uang hingga Rp 600 triliun.
TRIBUNJAMBI.COM - Beberapa hari lalu, Badan Anggaran DPR RI mengusulkan ke pemerintah dan Bank Indonesia (BI) untuk mencetak uang hingga Rp 600 triliun.
Cetak uang lebih banyak, bertujuan untuk menyelamatkan ekonomi Indonesia dari dampak virus Corona ( Covid-19).
Tak cuma DPR, mantan Menteri Perdagangan Gita Wirjawan, juga mendukung wacana yang dilontarkan para wakil rakyat tersebut.
Bahkan menurut versi Gita, uang yang dicetak diusulkan jauh lebih besar, sebanyak Rp 4.000 triliun.
• 3 Remaja Berhijab Asal Garut Bikin Keki Bassist Red Hot Chilli Peppers, Siapa Voice Of Baceprot?
• Selain The Moment yang Dibintangi Park Bo Gum, Ini Drakor yang Tayang Mei 2020
Wacana cetak uang baru dilontarkan setelah melihat defisit APBN yang melebar di atas 5 persen dari sebelumnya hanya 1,75 persen.
"Uang tersebut tidak hanya digunakan untuk memberi stimulus pada mereka yang kehilangan pendapatan, tapi juga untuk restrukturisasi penyelamatan sektor riil dan UMKM," jelas Gita.
Gita yang kini menjabat sebagai Wakil Ketua Pertimbangan Kadin itu berpendapat, BI tak perlu khawatir soal melemahnya rupiah di hadapan mata uang negara lain.
Pasalnya, banyak negara kini mencetak uang untuk mencukupi kebutuhan ekonomi dalam negerinya.
Dia juga menepis kekhawatiran banyak pihak adanya moral hazard dalam pencetakan uang.
Menurutnya kunci penting penyaluran uang tersebut ke masyarakat yakni dengan memperketat koordinasi pusat dan daerah dalam menentukan kanalisasi penyaluran bantuan.
Dia meyakinkan BI bahwa kebijakan pencetakan uang dianggap sebagai satu-satunya alternatif untuk mencapai likuiditas yang dibutuhkan negara saat ini.
"Harus ada kebijakan tidak biasa yang harus diambil pemerintah, yakni pencetakan uang. Meski diakui bertentangan dengan apa yang diajarkan selama ini," ujar pria yang pernah berkarir di Goldman Sachs ini.
Sementara Gubernur Bank Indonesia (BI) Perry Warjiyo menegaskan Bank Indonesia tidak akan pernah mencetak uang untuk dibagikan langsung kepada masyarakat yang terdampak Covid-19.
• Seperti Mike Tyson, Mantan Petinju Kelas Berat Evander Holyfield Ungkap Bakal Balik ke Ring
• Lihat Panda Guling-Guling, Bintang Laut Sampai Gorila di Kebun Binatang Luar Negeri Dari Rumah Aja
Hal itu tidak sejalan dengan kebijakan moneter yang prudent dan lazim.
Pencetakan uang hanya dilakukan sesuai kaidah dan koordinasi antara Bank Indonesia dengan Kementerian Keuangan.
"Sekarang kita dengar ada sejumlah pandangan di masyarakat, BI cetak uang saja. Mohon maaf, nih. Betul-betul mohon maaf.
Enggak ada proses pengedaran uang yang dicetak BI di kasih ke masyarakat. Enggak Ada," tegas Perry dalam konferensi video, Rabu (6/5/2020).
Perry menyebut, perencanaan pencetakan uang kertas dan logam sebelumnya harus dikoordinasikan dengan Kementerian Keuangan (Kemenkeu).
Jumlahnya sesuai dengan kebutuhan masyarakat dengan poses pencetakan dan pemusnahan diukur dari pertumbuhan ekonomi dan inflasi.
Mekanisme
Selain itu, ada mekanisme pengedaran uang antara Bank Indonesia, perbankan, dan masyarakat.
Keseluruhan proses ini selalu menggunakan kaidah tata kelola yang baik, dan selalu diaudit oleh Badan Pemeriksa Keuangan (BPK).
"Enggak ada proses pengedaran di luar itu. Semua itu prosesnya diaudit oleh BPK. Pemahaman itu bukan praktik yang lazim. Tidak akan dilakukan di BI," ungkap Perry.
Lebih lanjut Perry menuturkan, proses penyetoran dan pengambilan uang perbankan sama seperti proses di masyarakat.
Perbankan bisa menyetor uang ke BI bila terdapat kelebihan uang di khazanah.
Begitupun dengan masyarakat yang bisa menyetor uang ke perbankan dalam bentuk tabungan, giro, dan deposito.
"Nah kemudian bagaimana proses pengedaran uang? Sesuai kebutuhan masyarakat. Misal kita butuh uang kertas dan logam untuk makan dan bayar taksi, ambil uang di ATM.
Demikian kalau kelebihan, bisa disetor. Perbankan kemudian melayani masyarakat," pungkas Perry.
Sebagai informasi, beberapa hari lalu Badan Anggaran DPR RI mengusulkan ke pemerintah dan Bank Indonesia (BI) untuk mencetak uang hingga Rp 600 triliun.
Cetak uang lebih banyak, bertujuan untuk menyelamatkan ekonomi Indonesia dari dampak virus Corona (Covid-19).
Tak cuma DPR, mantan Menteri Perdagangan Gita Wirjawan, juga mendukung wacana yang dilontarkan para wakil rakyat tersebut.
Bahkan menurut versi Gita, uang yang dicetak diusulkan jauh lebih besar, sebanyak Rp 4.000 triliun.
• Lihat Panda Guling-Guling, Bintang Laut Sampai Gorila di Kebun Binatang Luar Negeri Dari Rumah Aja
Wacana Cetak Uang
Wacana cetak uang baru dilontarkan setelah melihat defisit APBN yang melebar di atas 5 persen dari sebelumnya hanya 1,75 persen.
Namun pencetakan uang bisa memicu hal negatif.
Jika tak bisa dikendalikan, cetak uang yang terlalu banyak bisa memicu inflasi yang tinggi yang pada akhirnya bisa merugikan masyarakat.
Uang yang beredar akan semakin banyak, membuat nilai uang terus-menerus berkurang yang membuat harga-harga barang melambung.
Nilai tukar uang asing sangat dipengaruhi oleh jumlah uang yang beredar.
Bertambahnya rupiah bisa berakibat turunnya nilai kurs.
Apalagi, rupiah bukan mata uang yang bisa diterima di dunia seperti dollar AS atau yen Jepang.
Risiko utang luar negeri yang naik tajam merupakan efek domino dari anjloknya mata uang rupiah terhadap mata uang asing.
Semakin nilainya merosot, maka otomatis membuat utang luar negeri bisa semakin membengkak.
Ini Sederet Risiko Jika RI Cetak Uang Terlalu Banyak
Indonesia sendiri sebenarnya punya catatan sejarah mencetak uang lebih banyak saat terjadi krisis, tepatnya di era Presiden Soekarno.
Saat itu, uang yang dicetak tersebut banyak digunakan untuk membangun proyek-proyek mercusuar seperti Monas, GBK, hingga Hotel Indonesia.
Berikut sederet risiko jika Indonesia mencetak uang terlalu banyak:
1. Inflasi tinggi
Jika tak bisa dikendalikan, cetak uang yang terlalu banyak bisa memicu inflasi yang tinggi yang pada akhirnya bisa merugikan masyarakat.
Uang yang beredar akan semakin banyak, membuat nilai uang terus-menerus berkurang yang membuat harga-harga barang melambung.
Kondisi demikian akan lebih parah jika negara tak berhenti mencetak uang, sementara permintaan maupun produksi barang/jasa berkurang, khususnya saat situasi krisis.
2. Nilai tukar anjlok
Nilai tukar uang asing sangat dipengaruhi oleh jumlah uang yang beredar.
Bertambahnya rupiah bisa berakibat turunnya nilai kurs.
Apalagi, rupiah bukan mata uang yang bisa diterima di dunia seperti dollar AS atau yen Jepang.
Sebagai contoh, di Zimbabwe, selain terjadi hiperinflasi, nilai mata uang negara tersebut sudah hampir tak bernilai untuk membeli kurs asing.
Zimbabwe pernah mengalami inflasi hingga 11,250 juta persen bahkan pernah menyentuh 231 juta persen pada 2008.
Tingginya angka inflasi mendorong negara ini melakukan redenominasi mata uang, dengan menyederhanakan uang 10 miliar dolar Zimbabwe menjadi 1 dolar Zimbabwe atau menghilangkan 10 angka nol.
• Crazy Rich Surabaya Bagikan Kardus Berisi Uang Tanggapi Konten Video YouTuber Ferdian Paleka
3. Utang luar negeri membengkak
Risiko utang luar negeri yang naik tajam merupakan efek domino dari anjloknya mata uang rupiah terhadap mata uang asing.
Semakin nilainya merosot, maka otomatis membuat utang luar negeri bisa semakin membengkak.
Bank Indonesia berbeda dengan bank sentral AS Federal Reserve yang dapat dengan bebas mencetak dollar AS.
Mata uang Negeri Paman Sam dipakai oleh sebanyak 85 persen transaksi ekspor-impor dunia, sedangkan rupiah tidak diakui mata uang yang dipakai secara internasional.
4. PHK besar-besaran
Jumlah uang yang beredar terlalu banyak bisa membuat daya beli masyarakat anjlok.
Ini terjadi saat uang yang beredar tak sebanding dengan produksi barang/jasa.
Karena lemahnya daya beli masyarakat, banyak perusahaan terpaksa menurunkan atau menahan produksi mereka yang berimbas pada langkah pengurangan karyawan.
Selain itu, hal ini dipandang investor sebagai risiko, sehingga mereka juga tak tertarik berinvestasi di Indonesia.
Dalam kondisi parah, investor akan menarik modalnya di Indonesia.
SUMBER: Serambi Indonesia
• Tergesernya Mesin 2 Tak oleh 4 Tak pada MotoGP 1949 s/d 2020, Ternyata Ini Sebabnya