Virus Corona
300 Penelitian Terkait Virus Corona Berlangsung di 39 Negara, Begini Hasilnya!
Pandemi virus corona di belahan dunia membuat penelitian terkait virus mematikan ini terus dilakukan
TRIBUNJAMBI.COM - Pandemi virus corona di belahan dunia membuat penelitian terkait virus mematikan ini terus dilakukan.
Bahkan indeks Penelitian Covid-19, diluncurkan oleh Finbold.com, telah mengidentifikasi hampir 300 proyek penelitian virus corona SARS-CoV-2 yang sedang berlangsung di 39 negara.
Melansir South China Morning Post, China melakukan 60 penelitian, diikuti Amerika Serikat dengan 49 penelitian, 26 penelitian di Perancis, menurut situs ClinicalTrials.gov yang berbasis di AS.
''Negara-negara ini sedang melakukan upaya terbesar dalam memahami dan membongkar virus corona, sehingga membantu menemukan cara yang efektif untuk mengobati penyakit ini," kata Finbold.com.
''Namun, banyak negara 'masih jauh ketinggalan dalam penelitian virus corona'," kata Idas Keb, pendiri Finbold.
''Indeks menunjukkan 'beberapa korelasi antara negara-negara yang memiliki kasus Covid-19 terbanyak dan jumlah studi medis'.''
"Namun Spanyol, yang berada di urutan kedua dengan jumlah kasus virus korona yang dikonfirmasi, tidak berada dalam lima negara teratas dalam indeks penelitian," kata Keb.
Sebaliknya, Spanyol - yang melakukan 12 studi - berada di peringkat keenam pada indeks, setelah Italia dan Kanada, masing-masing dengan 25 dan 13 proyek penelitian.
Maret 2020, otoritas riset dari 12 negara, termasuk AS, Italia, dan Korea Selatan, mengeluarkan pernyataan mendesak korporat penerbit makalah akademik untuk membuat semua informasi yang relevan tersedia dan terbuka, cepat, menandakan pentingnya riset dalam membantu memerangi pandemi Covid-19.
Indeks Penelitian Coronavirus juga mencantumkan judul dan status penelitian, lembaga yang terlibat dan intervensi yang diadopsi untuk membantu mengelola pandemi.
Selain makalah sistem peer-review pada ClinicalTrials.gov - basis data uji klinis terbesar di dunia - para ilmuwan di seluruh dunia telah mendesak untuk publikasi lebih banyak temuan awal pada server pracetak seperti bioRxiv dan medRxiv, sejak awal virus corona mewabah.
Sudah ada 1.320 artikel yang diterbitkan di kedua platform, beberapa di antaranya telah menimbulkan kontroversi karena kurangnya peer review, sebuah proses yang bisa memakan waktu berbulan-bulan tetapi dianggap penting untuk mempertahankan kesahihan penelitian.
Repurposing Obat yang Sudah Beredar
Bisakah obat-obatan yang sudah eksis di pasar dan terbukti bisa melawan virus corona jenis lain digunakan melawan COVID-19? Inilah pertanyaan di kalangan peneliti obat-obatan yang kini sedang dikajiulang.
"Repurposing" adalah prosedur untuk memanfaatkan atau mengalih fugsikan obat-obatan yang sudah ada, untuk melawan patogen jenis baru. Prosedurnya selain murah juga cepat, karena fase uji klinis yang panjang dan rumit bisa disederhanakan.
Ada 68 proyek pengembangan vaksin virus corona SARS-CoV-2 yang saat ini dilaksanakan di seluruh dunia. Tapi apakah di tahun 2020 ini, vaksinnya sudah bisa digunakan? Banyak yang meragukan bahwa vaksinasi massal, bahkan di negara semaju Jerman atau AS, bisa dilakukan tahun ini juga.
Riset obat lain yang ada untuk lawan COVID-19
Para peneliti saat ini melakukan riset unsur aktif dari tiga grup obat-obatan yang sudah ada di pasaran, untuk mengujicoba keampuhannya melawan virus corona jenis baru.
Yang pertama, obat-obat anti virus baik dari keluarga corona maupun virus lain.
Kedua, obat anti malaria dan ketiga, obat lainnya, yang digunakan dalam terapi kanker, asthma atau multiple sclerosis (sklerosis ganda).
Unsur aktif dari obat yang sudah ada, hendak digunakan antara lain untuk memerangi virusnya, membantu meningkatkan kekebalan tubuh pasien, serta melindungi paru-paru agar tetap mendapat suplai oksigen yang cukup.
Unsur aktif anti virus
Kandidat paling kuat adalah unsur aktif dari obat-obatan anti virus lainnya, yang terbukti ampuh melawan penyakit yang dipicu virus corona jenis lain, seperti SARS, Ebola, MERS atau juga virus influensa.
Para ilmuwan meyakini, bahwa virus corona jenis baru SARS-CoV-2 adalah varian dari virus corona SARS-CoV-1 yang mewabah tahun 2002 silam.
Yang kini memicu eforia adalah obat flu Avigan buatan Fujifilm Holding dari Jepang yang sudah mengantungi izin resmi sejak 2014. Unsur aktifnya Favilavir terbukti ampuh melawan wabah Ebola yang dipicu virus corona jenis lain pada 2014 dan 2016 di Afrika.
Pemerintah China melaporkan, penggunaan Avigan di Wuhan yang jadi episentrum pandemi, menunjukkan hasil yang prospektif.
Pakar virologi Jerman Christian Drosten dari rumah sakit Charité di Berlin menyebutkan, setelah rangkaian ujicoba di Italia hasilnya "sangat menjanjikan."
Jepang kini menyimpan dua juta paket Avigan sebagai tindakan berjaga-jaga.
Indonesia dan Jerman juga sudah memesan jutaan paket obatnya dari Jepang. Sejauh ini, uji klinis obat ini melawan virus corona jenis baru dilaporkan belum tuntas.
Yang juga diduga bisa jadi obat SARS-CoV-2 adalah unsur aktif Remdesivir yang semula dikembangkan untuk melawan Ebola. Dalam uji laboratorium unsur aktif ini juga terbukti ampuh melawan SARS dan MERS. Obat yang dikembangkan perusahaan farmasi AS, Gilead Sciences itu sejauh ini belum mengantungi izin resmi untuk pemasaran. Tapi di China dan di AS kini sedang dilakukan uji klinis Remdesivir.
Unsur aktif anti Malaria
Heboh yang mencuat pekan silam adalah khasiat obat anti malaria Resochin yang disebut ampuh melawan virus corona. Unsur aktifnya Chloroquin sejak lama digunakan sebagai pencegah malaria. Tapi seiring dengan turunnya kasus malaria, obat ini makin jarang diresepkan.
Para ilmuwan Prancis dalam ujicoba unsur aktif Chloroquin pada kultur jaringan di laboratorium di Marseille, melaporkan khasiatnya menghambat perkembangbiakan SARS-CoV-2. Pada pasien yang menunjukkan gejala sakit berat, laju serangan virusnya berhasil diturunkan.
Klorokuin obat Malaria yang diyakini bisa mengobati pasien Covid-19 (dok)
Unsur aktif obat Resochin dari pabrik farmasi Bayer di Jerman, juga disebutkan bisa digunakan sebagai obat anti virus. Saat ini produksi obat anti malaria yang ditemukan tahun 1930-an itu, hanya dilakukan di sebuah pabrik di Pakistan. Kini industri farmasi Jerman menyiapkan kapasitas produksi obatnya di dalam negeri, untuk disumbangkan kepada pemerintah Jerman.
Juga unsur aktif obat anti malaria Hydroxychloroquin disebutkan berkhasiat melawan SARS-CoV-2. Perusahaan farmasi Novartis dan Sanofi sudah menyatakan siap memproduksi massal, jika pengawas obat-obatan memberikan lampu hijau.
Unsur aktif anti HIV dan kanker
Obat HIV juga memberikan harapan besar dalam perang melawan virus corona jenis baru. Kombinasi unsur aktif Lopinavir/Ritonavir telah digunakan dalam ujicoba pengobatam COVID-19 di Cina, Thailand dan Singapura. Obat HIV Kaletra buatan industri farmasi AS AbbVia itu, masih harus terus diujicoba.
Selain itu ujicoba melawan virus corona jenis baru juga dilakukan dengan memanfaatkan antibodi terapi kanker Leronlimab buatan CytoDyn, dua antibodi untuk terapi MERS dari Regeneron serta unsur aktif Brilacidin dari Innovation Pharmaceuticals, yang awalnya dikembangkan untuk mengobati radang saluran pencernaan dan radang mukosa mulut.
Sejumlah obat-obatan dan unsur aktif yang awalnya dikembangkan untuk mengobati penyakit lainnya, seperti asthma, bronkhitis, multiple sclerosis atau peradangan, kini juga diuji ulang untuk melawan SARS-CoV-2. Para pakar medis dan farmasi sedunia ini berlomba tapi juga bersatu-padu mencari obat untuk melawab pandemi COVID-19.(scmp/dw indonesia)
INILAH Daftar Calon Kuat ObatVirus Corona Hasil dari 300 Penelitian dan Riset di 39 Negara