Indonesia Dicopot dari Status Negara Berkembang, Sudah Menjadi Negara Maju? Apa Untung dan Ruginya?
Pencabutan status Indonesia sebagai negara berkembang, menurut dia, berkaitan erat dengan perlakuan khusus atau istimewa dari pemerintah AS
Oleh karenanya pencabutan status sebagai negara berkembang oleh pemerintah AS akan menjadi tantangan bagi pemerintah dan para pelaku Indonesia.
Karena dia menjelaskan, barang asal Indonesia tidak akan lagi mendapat keistimewaan.
Lapangan pekerjaan di Indonesia menurut dia, juga akan mengalami penurunan mengingat investor asing tidak berminat lagi menjadikan Indonesia sebagai tempat berproduksi.
"Belum lagi para pelaku usaha Indonesia dituntut untuk lebih kompetitif dalam memproduksi barang yang akan diekspor ke AS dan mampu bersaing dengan produk yang sama yang diproduksi di AS," jelasnya.
• Ahmad Dhani: selamat malam ibunya Al, El dan Dul yang tersayang, Penonton Geger, Maia Semringah
• Samai Catatan Manchester United, Liverpool Berpeluang Pecahkan Rekor di Premier League
Tanggapan Pemerintah
Dikutip dari Kontan, Menteri Koordinator (Menko) Bidang Perekonomian Airlangga Hartanto mengatakan kebijakan AS ini akan berdampak terhadap fasilitas-fasilitas perdagangan negara berkembang.
“Dampaknya tentu fasilitas, Indonesia yang sebelumnya menjadi negara berkembang akan dikurangi, ya kita tidak khawatir itu,” kata Airlangga di kantornya, Jumat (21/2/2020) lalu.
Setali tiga uang, ekspor barang-barang Indonesia bakal kena tarif tinggi daripada negara berkembang lainnya.
Sebagai contoh, pajak-pajak impor yang diatur AS atas barang Indonesia bakal lebih tinggi, termasuk bea masuk.
“Tapi belum tentu, kami tidak khawatir,” ujar Airlangga.
Dalam kebijakan baru AS yang telah berlaku sejak 10 Februari 2020 tersebut, Indonesia dikeluarkan dari daftar Developing and Least-Developed Countries sehingga Special Differential Treatment (SDT) yang tersedia dalam WTO Agreement on Subsidies and Countervailing Measures tidak lagi berlaku bagi Indonesia.
Sebagai akibatnya, de minimis thresholds untuk marjin subsidi agar suatu penyelidikan anti-subsidi dapat dihentikan berkurang menjadi kurang dari 1 persen dan bukan kurang dari 2 persen.
Selain itu, kriteria negligible import volumes yang tersedia bagi negara berkembang tidak lagi berlaku bagi Indonesia.
Dampaknya memang kebijakan ini cenderung buat perdagangan Indonesia buntung. Padahal selama ini Indonesia surplus dari AS.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) surplus perdagangan Indonesia dengan AS pada Januari 2020 sebesar 1,01 miliar dollar AS, angka ini tumbuh bila dibanding surplus periode sama tahun lalu yakni 804 juta dollar AS.