Usaha Afif Memutus Stigma ‘Penyakit Pesantren’ Melalui GPS
Ingatan Mohammad Afifi Romadhoni mundur bertahun-tahun ke belakang saat menjalani pendidikan ibtidaiyah di pesantren yang lulus 2003.
Penulis: Jaka Hendra Baittri | Editor: Teguh Suprayitno
Usaha Afif Memutus Stigma ‘Penyakit Pesantren’ Melalui GPS
TRIBUNJAMBI.COM - Ingatan Mohammad Afifi Romadhoni mundur bertahun-tahun ke belakang saat menjalani pendidikan ibtidaiyah di pesantren yang lulus 2003 dan lanjut Mts sampai 2005. Pada masa-masa itu dia terlibat perbincangan soal penyakit kulit di tempatnya menjalani pendidikan di Sumatera Selatan.
“Kalau belum ada itu (panu) belum kaffah kamu sebagai anak pesantren,” tutur pria yang kerap disapa Afif ini soal ingatannya.
Sebab setiap anak pesantren diketahuinya selalu mengalami sakit kulit. Sebab kondisi kasur yang jarang dijemur atau baju yang digunakan lembab dan semacamnya.
“Belum lagi dulu waktu di asrama kayak pinjam sikat gigi kawan itu biaso bae. Karena kita ngak tahu bahwa itu personal yang tidak boleh disharing. Terus kayak kawan-kawan yang gatal-gatal atau skabies itu juga banyak,” lanjutnya.
Penyakit kulit itu sebenarnya menurut pria kelahiran 1992 ini bisa dicegah, hanya saja karena kegiatan di pesantren banyak maka membersihkan dan menjemur kasur jarang bisa dilakukan. Selain itu kontak dengan teman-teman sangat intens sehingga memungkinkan penularan penyakit. Karena itu tak jarang anak pesantren yang terkena penyakit kulit sehingga penyakit tersebut jadi candaan sebagai ‘penyakit anak pesantren’.
• VIDEO: Detik-detik Jembatan Penghubung Lahat-Muara Enim Ambruk Diterjang Banjir
Afif mengatakan kondisi kesehatan di pesantren cukup rumit dari bidang kesehatan. Sebab adanya beberapa kebiasaan dan pandangan yang menurutnya perlu diubah.
“Aku pikir di pesantren itu kayaknya cukup complicated masalah dari bidang kesehatan, baik seperti pemahaman kutu air dan panu itu hal yang biasa. Dari dulu penyakit kulit seperti itu dianggap wajar. Padahal ya nggak bagus,” kata Afif.
Latar belakang ini kemudian dibawa Afif untuk melihat kondisi pesantren di Jambi. Menurutnya masyarakat Jambi masih teguh dengan ajaran agamanya, mengingat seloko adat bersendi syara’, syara’ bersendi kitabullah.
“Aku pikir kayaknya mayoritas muslim di Jambi masih teguh dengan keyakinannya dan sampai sekarang pesantren masih terus berkembang,” katanya.
Pemikiran Afif kemudian dirasa terhubung dengan studi kedokteran yang dijalaninya sewaktu kuliah. Selain pengalaman pribadi dan Afif memahami betul kondisi di lapangan, dia juga sudah dibekali pengetahuan tentang kesehatan. Lantas dia mencari nama dan kawan-kawan untuk bersama bergerak pada 2017.
Dia mengawali dengan fakultasnya sendiri, Fakultas Kedokteran Universitas Jambi. Sebab beberapa kawannya juga sedang dalam kondisi luang. “Kan Koas sudah lewat dan wisuda sudah jadi sembari menunggu mendapat pekerjaan,” katanya.
Selain dari teman-teman sejawatnya, dia juga mengajak Badan Eksekutif Mahasiswa Fakultasnya untuk berpartisipasi. Beruntung mereka antusias ikut kegiatan-kegiatan yang akan dibangunnya. Selanjutnya sembari mengumpulkan teman dan menyusun kegiatan Afif mencari nama.
“Awalnya namanya itu Gerakan Sehat Pemuda, tapi kurang spesifik, lalu apa bedanya dengan gerakan lain,” ungkap pria kelahiran Muara Enim, Sumatera Selatan ini.
Lantas karena ingin lebih spesifik, dipilihlah nama Gerakan Pesantren Sehat atau GPS. Pada tahun kedua nama ini sempat ada kesulitan, sebab hampir sama dengan singkatan Gerakan Prabowo Sandi yang juga disingkat GPS.