Artidjo Alkostar Masuk Daftar Nama Calon Dewan Pengawas KPK?Sepak Terjang Hakim MA Ditakuti Koruptor

Jokowi menyebut mereka akan berasal dari beragam latar belakang profesi mulai dari hakim, jaksa, ekonom, ahli pidana hingga akademisi.

Editor: Suci Rahayu PK
KOMPAS/YUNIADHI AGUNG
Artidjo Alkostar 

Nama Artidjo Alkostar Muncul dalam Daftar Nama Calon Dewan Pengawas KPK, Sepak Terjang Hakim MA yang Ditakuti Koruptor

TRIBUNJAMBI.COM - Presiden Joko Widodo telah menerima sejumlah usulan nama anggota Dewan Pengawas KPK.

Jokowi memastikan nama yang dipilih memiliki latar belakang baik dalam pemberantasan korupsi.

Jelang pelantikan anggota Dewan Pengawas KPK, Presiden Jokowi mulai buka suara siapa yang nantinya akan mengisi Dewas KPK.

Jokowi menyebut mereka akan berasal dari beragam latar belakang profesi mulai dari hakim, jaksa, ekonom, ahli pidana hingga akademisi.

Presiden Jokowi
Presiden Jokowi (Wartakota)

Jokowi menyebut nama-nama yang diusulkan untuk masuk sebagai anggota dewan pengawas kpk antara lain mantan hakim agung Artidjo Alkostar, mantan Ketua KPK Taufiequrachman Ruki dan hakim Albertina Ho.

Nama-nama yang disebut menjadi kandidat Dewan Pengawas KPK di antaranya yaitu Mantan Hakim Agung Artidjo Alkostar.

Artidjo adalah lulusan sarjana hukum di UII Yogyakarta dan Master of Laws di Nort Western University Chicago.

Dalam kariernya Artidjo pernah menjadi Direktur LBH Yogyakarta dosen fakultas hukum di UII dan menjadi hakim agung di Mahkamah Agung sejak tahun 2000 hingga 2018.

Daftar Harga Sembako di Kota Jambi Hari Ini, Daging Ayam Naik Jadi Rp 32 Ribu, Ini Selengkapnya

Mobil Bekas Kisaran Rp 60 Jutaan - Honda, Hyundai, Toyota, Suzuki, Datsun, Daihatsu, KIA

Mantan Hakim Agung Artidjo dikenal kerap memberikan hukuman berat kepada terpidana korupsi.

Di antara kasus besar yang ditangani Artidjo pernah memperberat hukuman Anas Urbaningrum dalam korupsi wisma atlet dari 7 tahun menjadi 14 tahun. Dan Angelina Sondakh dari 4 tahun menjadi 12 tahun.

Mantan Ketua Umum PP Muhammadiyah Buya Syafii Maarif menilai rencana penunjukan mantan hakim Artidjo sebagai Dewas KPK adalah pilihan yang tepat.

Buya berpesan agar Dewan Pengawas KPK tidak hanya dari ahli hukum tetapi juga dari latar belakang yang bervariasi.

Artidjo Alkostar
Artidjo Alkostar (IST)

Siapa Artidjo Alkostar

Hakim Agung Naik Bajaj, Rumahnya Ngontrak

Artidjo Alkostar lahir di Situbondo, Jawa Timur, 22 Mei 1949; umur 68 tahun adalah seorang ahli hukum Indonesia.

Ia merupakan Hakim Agung yang mendapat banyak sorotan atas keputusan dan pernyataan perbedaan pendapatnya dalam banyak kasus besar.

Saat ini ia menjabat sebagai Ketua Muda Kamar Pidana Mahkamah Agung Indonesia

Namanya terangkat saat memperberat vonis 4 tahun penjara menjadi 12 tahun kepada politikus Angelina Sondakh untuk kasus korupsi, serta vonis 10 bulan kepada dokter Ayu untuk kasus malapraktik.

Kelemahan Rocky Gerung Terbongkar, Akui Sering Gagal Jika Lakukan Ini, Wanita Itu Berbahaya!

Kumpulan Ucapan Selamat Natal 2019 dan Tahun Baru 2020 Bahasa Indonesia dan Inggris, Cocok di Status

Artidjo Alkostar lahir di Situbondo, Jawa Timur, ayah dan ibunya berasal dari Sumenep, Madura.

Ia menamatkan pendidikan SMA di Asem Bagus, Situbondo. Kemudian, masuk Fakultas Hukum (FH) Universitas Islam Indonesia (UII), Yogyakarta.

Artidjo Alkostar hakim ini pernah mengalami naik bajaj atau taksi dari rumah ke gedung Mahkamah Agung karena tidak mendapat fasilitas kendaraan dinas.

Bahkan Artidjo sempat mengontrak rumah karena belum juga mendapat fasilitas rumah dinas dari MA, Artidjo mengontrak sebuah rumah di perkampungan di Kramat Kwitang, Jakarta Pusat, di belakang deretan bengkel las.

Seorang hakim agung yang naik bajaj ke kantor rumah pun rumah kontrakan memang bukan pemandangan yang lazim.

Lahir di Situbondo, Jawa Timur, ayah dan ibu Artidjo berasal dari Sumenep.

Sampai lulus SMA, Artidjo mengenyam pendidikan di Asem Bagus, Situbondo.

Ia kemudian masuk Fakultas Hukum (FH) Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta.

Lulus dari FH UII pada 1976, sejak itu Artidjo mengajar di FH UII sampai saat ini.

Tahun 1981, ia menjadi wakil direktur Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Yogyakarta sampai 1983.

Selanjutnya, 1983 sampai 1989 ia menjadi orang nomor satu di LBH Yogyakarta.

Artidjo berada di New York antara 1989 tahun 1991 untuk mengikuti pelatihan untuk lawyer mengenai Hak Asasi Manusia di Columbia University selama enam bulan.

Artidjo Alkostar(KOMPAS/YUNIADHI AGUNG)
Artidjo Alkostar(KOMPAS/YUNIADHI AGUNG) ()

Saat yang bersamaan, ia juga bekerja di Human Right Watch divisi Asia di New York selama dua tahun.

Akhirnya Artidjo kemudian mengikuti fit and proper tes dan terpilih menjadi hakim agung.

Pertama menjadi hakim agung, Artidjo merasa kaget. Artidjo kaget dan prihatin. Dengan praktek suap menyuap yang lazim terjadi

Bahkan pada bulan kedua setelah menjadi hakim agung, Artidjo pernah menempel tulisan di pintu ruang kerjanya.

Tulisan itu berbunyi, "Tidak menerima tamu yang ingin membicarakan perkara". Artidjo terpaksa memasang tulisan itu karena banyak tamu yang datang menawarkan uang dan tawaran-tawaran menggoda lainnya.

Motivasinya, bukan karena ia sok suci, tetapi justru karena ia merasa lemah sebagai manusia.

Godaan seperti itu, jika dituruti akan menjadi kebiasaan dan memperburuk tingkah laku sebagai hakim

Selain perkara berat yang melibatkan orang penting seperti Luthfi Hasan Ishaaq, Angelina Sondakh, Akil Mochtar, Anas Urbaningrum dan juga pengacara Otto Cornelis Kaligis, Artidjo juga pernah menangani kasus-kasus berat bahkan melibatkan mantan Presiden RI Soeharto.

Artidjo pernah memutus perkara korupsi yayasan dengan terdakwa mantan presiden Soeharto bersama almarhum Syafiuddin.

Meski didesak menghentikan kasus itu, namun dalam putusannya Soeharto dalam status sebagai tahanan dirawat dengan biaya negara sampai sembuh dan ketika sembuh harus segera dihadapkan ke pengadilan.

Artidjo tercatat sebagai satu-satunya hakim yang memberikan dissenting opinion dalam putusan perkara korupsi Bank Bali dengan terdakwa Joko Tjandra.

Artidjo yang menolak untuk membebaskan Joko bersikeras agar pendapatnya masuk ke dalam putusan, bukan hanya dilampirkan dalam putusan seperti lazimnya selama ini.

Akhirnya, pendapat Artidjo yang berlainan dengan dua hakim lainnya itu dimasukkan dalam putusan.

Sebagai bekas ketua LBH dan pengacara, Artidjo kenyang dengan berbagai ancaman dan teror.

Ketika menjadi pembela kasus Santa Cruz di Dili, Timor-Timor, pada 1992, Artidjo menemui berbagai acaman.

Dari mulai ke mana-mana diikuti oleh intel sampai diancam oleh supir taksi.

Bahkan pernah suatu malam di hotel di Dili, seorang berpakaian ninja berniat menyatroni kamar hotelnya.

Namun, si pencuri keliru ke kamar sebelahnya yang digunakan oleh salah seorang staf Artidjo.

Meski begitu, Artidjo bertahan sampai enam bulan di Dili untuk membela sekitar lima sampai enam orang demonstran.

Para demonstran itu diadili dan dijatuhi hukuman berkisar enam tahun, delapan tahun, duabelas tahun, sampai penjara seumur hidup.

Sewaktu di LBH, Artidjo sering masuk keluar berbagai kota untuk menolong orang yang disangka sebagai penembak misterius (petrus).

Meski pernah mempunyai kantor pengacara di Yogyakarta, kekayaan Artidjo ketika menjadi hakim agung tidak mencolok.

Maklum, Artidjo sering tidak tega menarik bayaran dari kliennya yang tidak mampu.

Kalau dihitung-hitung, penghasilan dari kantornya -- setelah untuk membayar gaji lawyer-nya dan membeli buku -- tinggal pas-pasan.

Sebagian besar penghasilan Artidjo memang ia habiskan untuk membeli buku, terutama literatur asing.

Sebagai dosen, Artidjo merasa jika tidak rajin membaca, ia tidak akan bisa mengajar dengan baik dan tidak menambah ilmu muridnya.

Karena itu, koleksi buku penggemar buku-buku filsafat sampai novel John Grisham dan Agatha Cristie ini banyak sekali.

Ketika diperiksa Komisi Pemeriksa Kekayaan Penyelenggara Negara (KPKPN), Artidjo pernah ditanya pemeriksa, berapa hektare kolam ikan yang dimilikinya.

Tentu saja Artidjo tertawa, karena ikan koinya hanya beberapa ekor di akuarium.

Artidjo juga pernah shock ketika suatu majalah memberitakan kekayaannya sebesar Rp5 miliar.

Bukan apa-apa, ia khawatir jika familinya di Madura membaca majalah itu, mereka semua akan minta sumbangan.

(Kompas TV, Sumber Lain)

Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved