Ujian Nasional (UN) Dihapus? Wacana Tak Terduga Nadiem Makarim Ini Sebabnya, 'Tunggu Pengumumannya!'

Sehari usai Hari Guru Nasional 2019, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Nadiem Makarim mendadak menggelar rapat soal wacana penghapusan Ujian Nasional

Editor: Tommy Kurniawan
ist
Ujian Nasional (UN) Dihapus? Wacana Tak Terduga Nadiem Makarim Ini Sebabnya, 'Tunggu Pengumumannya!" 

Ujian Nasional (UN) Dihapus? Wacana Tak Terduga Nadiem Makarim Ini Sebabnya, 'Tunggu Pengumumannya!"

TRIBUNJAMBI.COM - Sehari usai Hari Guru Nasional 2019, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Nadiem Makarim mendadak menggelar rapat soal wacana penghapusan Ujian Nasional atau UN, Selasa (26/11/2019).

Wacana penghapusan Ujian Nasional atau UN ditiap Sekolah ini menjadi sorotan publik.

Sebelumnya, rapat yang digelar Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Nadiem Makarim ini dihadiri Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar, Staff khusus Mendikbud bersama Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP).

Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Nadiem Makarim mengaku pihaknya tengah mengkaji penghapusan Ujian Nasional atau UN ditiap Sekolah

Kamis (28/11/2019), pada wartawan Nadiem Makarim memastikan pihaknya tengah mengkaji penghapusan UN dan meminta wartawan dan jurnalis menunggu pengumuman resminya. 

Melansir dw.com/indonesia, Nadiem Makarim juga mengatakan bahwa Kemendikbud tengah berupaya menciptakan kesinambungan antara sistem pendidikan dan dunia industri, sebagaimana yang diperintahkan Presiden Joko Widodo.

"Untuk mencapai itu, ada beberapa hal yang satunya adalah deregulasi dan debirokratisasi dari semua instansi unit pendidikan. Makanya platformnya yang kami sebutkan itu merdeka belajar," ujar mantan CEO Gojek tersebut.

 Syahrini Pernah Nikahi Haji Isam? Peramal ini Bongkar Kebohongan Istri Reino Barack Selama Ini

 Paha Mulus Gisella Anastasia Bikin Gagal Fokus, Foto Bareng Jedar Pakai Celana Seksi Jadi Sorotan

 Kesombongan Hotman Paris Ungkit Pemberian Fantastis untuk Meriam Bellina Saat Dituding KDRT

 Kepada Najwa Shihab, Anies Baswedan Blak-blakan Besaran Gaji PNS DKI Jakarta, Provinsi Lain Berapa?

Ia menambahkan, penyederhanaan kurikulum juga akan coba diterapkan oleh Kemendikbud.

"Dari situ harus ada penyederhanaan dari sisi kurikulum maupun assesment agar beralih kepada yang sifatnya yang lebih kompetensi dan bukan saja menghafal informasi.

Itu suatu perubahan yang akan kita terapkan dan kita sempurnakan," lanjutnya.

Sebelumnya saat pidato di Hari Guru, 25 November 2019, Mendikbud Nadiem menyebut merdeka belajar dan guru penggerak.

“Ada dua poin yang terpenting (dari pidato), satu adalah merdeka belajar dan kedua guru penggerak,” kata Nadiem dilansir kompas.com.

Merdeka belajar

Menurut Nadiem, merdeka belajar memberikan kesempatan bagi sekolah, guru dan muridnya bebas untuk berinovasi, bebas untuk belajar dengan mandiri dan kreatif. 

Ia menyebut Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan akan terus membantu sekolah, guru dan, murid untuk bisa merdeka dalam belajar.

“Itu mungkin yang akan kita terus bantu dan saya sadar bahwa saya tidak bisa meminta atau mengajak guru-guru melakukan ini (merdeka belajar),” ujar Nadiem.

Menurutnya, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan dan dinas-dinas pendidikan memiliki pekerjaan rumah yaitu memberikan ruang-ruang inovasi untuk guru, murid, dan sekolah.

Nadiem menyebutkan sudah melihat secara garis besar aturan dan kebijakan yang menghambat ruang inovasi guru.

Kementerian Pendidikan dan Kebudayan lewat Direktur Jenderal dan Staf Khusus Eselon 1 sedang menyisir peraturan-peraturan yang bisa disederhanakan.

Mendikbud Nadiem Makarim saat berbicara dalam acara Google for Indonesia di Jakarta, Rabu (20/11/2019).
Wujudkan Merdeka Belajar, Mendikbud Nadiem Bakal Hapus Ujian Nasional, Ini Negara yang tak Pakai UN. Mendikbud Nadiem Makarim saat berbicara dalam acara Google for Indonesia di Jakarta, Rabu (20/11/2019). (KOMPAS.com/ WAHYUNANDA KUSUMA PERTIWI)

Guru penggerak

“Dan yang kedua, banyak yang mengira reformasi pendidikan, peningkatan kualitas pendidikan (adalah) suatu yang dilakukan oleh pemerintah saja ataupun berdasarkan kurikulum saja, kebijakan maupun anggaran,” ujarnya.

Ia mengatakan dampak dari reformasi pendidikan dari kurikulum, kebijakan, maupun anggaran yang dilakukan pemerintah akan berdampak sangat kecil dibandingkan gerakan guru penggerak.

Guru penggerak menurutnya bisa dijadikan gerakan di masing-masing sekolah.

“Guru penggerak ini beda dari yang lain dan saya yakin di semua unit pendidikan, baik di sekolah maupun di universitas ada paling tidak minimal satu guru penggerak,” ujarnya.

Nadiem menyebutkan guru penggerak berbeda dengan guru-guru lainnya.

Guru penggerak baginya adalah guru yang mengutamakan murid-murid lebih dari apapun bahkan dari karir guru itu sendiri.

Keutamaan itu juga berlaku untuk murid dan pembelajaran murid.

“Dan karena itu dia akan mengambil tindakan tindakan tanpa disuruh tanpa diperintahkan untuk melakukan yang terbaik bagi muridnya,” tambah Nadiem.

Ia mencontohkan tentang orangtua penggerak yang memiliki tujuan yang sama dengan guru penggerak. Tujuannya yaitu semua yang terbaik untuk anak.

Mendorong inovasi

“Ini (yang terbaik untuk anak) yang harus ditekankan bagaimana pemerintah itu bisa membantu memerdekakan si guru-guru penggerak ini untuk melakukan berbagai macam inovasi,” tambah Nadiem.

Semua pihak diminta untuk menyadari peran guru penggerak. Adanya guru penggerak bukan sesuatu yang bisa hadir secara cepat dan langsung.

“Kita membantu mereka kedua dari sistem regulasi dan birokrasi harus dibantu,” tambah Nadiem.

Ia berharap guru penggerak bisa hadir minimal satu orang di setiap sekolah.

Dalam lima tahun, ia berharap ada guru-guru penggerak minimal di 250.000 sampai 300.000 sekolah.

Menurut Nadiem, inovasi tak selalu harus sukses tak terkecuali di bidang pendidikan. Kunci sukses inovasi memerlukan percobaan dan eksperimen.

“Tapi terus mencoba agar mengetahui apa yang pas untuk sekolah dan lingkungan kita,” tambahnya.

Menyongsong pendidikan 4.0

Pengamat pendidikan Budi Trikorayanto mendukung wacana penghapusan Ujian Nasional tesebut.

Ia menilai sistem standardisasi kelulusan peserta didik di Indonesia dengan menyelenggarakan UN merupakan sistem pendidikan zaman revolusi industri 2.0 yang sudah tidak sesuai dengan kondisi saat ini.

"Sekarang eranya bukan seperti itu. Zaman pendidikan 4.0 itu pendidikan yang open source, merdeka, dan bukan lagi berdasarkan standar serta keseragaman, tapi berdasarkan minat dan bakat masing-masing siswa. Pendidikan yang customized, personalized," ujar Budi saat diwawancarai DW Indonesia, Kamis.

Dengan dihapusnya UN, Budi menyampaikan bahwa nantinya universitas menjadi pihak yang mengevaluasi hasil proses belajar-mengajar pendidikan menengah.

Menurutnya, universitas bisa menerima calon mahasiswa yang sesuai dengan minat dan bakat mereka.

"Kalau SMA yang evaluasi universitasnya. Kalau fakultas sastra cari anak yang beda dengan fakultas teknik, demikian juga fakultas bahasa.

Bukan anak harus lulus dengan standar sekian-sekian. Anak lulus saja, selesai. Dibebaskan jangan tanggung-tanggung," terang Budi.

Budi mengatakan dengan dihapusnya UN, sekolah-sekolah di Indonesia bisa menjalankan proses pendidikan dengan menyesuaikan kondisi wilayah masing-masing.

"Dengan membebaskan, kita melihat sekolah dengan konteksnya, lingkungannya, anaknya masing-masing seperti apa."

"Perwujudan keadilan"

Kepada DW Indonesia, pengamat pendidikan Profesor Arief Rachman, mengatakan ia mendukung wacana penghapusan UN ini, bahkan sejak 20 tahun silam.

Ia menilai UN menyebabkan ketidakadilan terhadap penentuan standar kualitas sekolah di Indonesia.

"Sedangkan distandarkan melalui UN apa adil? Gurunya beda, fasilitasnya beda, proses pembelajarannya beda," katanya.

Arif yang juga merupakan Ketua Komisi Nasional Indonesia untuk UNESCO, menyebut UN membuat para siswa hanya fokus terhadap mata pelajaran yang diujikan, sehingga memunculkan rasa ketidakpedulian terhadap mata pelajaran lain. Menurutnya, sekolah dapat meningkatkan standar ujian akhir sekolahnya (UAS) masing-masing demi menghasilkan lulusan yang berkualitas.

"Kalau mendekati kelas 3 SMP, kelas 3 SMA semua hanya belajar soal UN saja.

Olahraga, kesenian dihilangkan, konyol sekali PPKN dihilangkan. Itu kan mata pelajaran tentang kewarganegaraan.

Di beberapa negara, civil education itu menjadi wajib. Di Indonesia kalah sama kimia, fisika," papar Arief.

Senada dengan Budi, Arief pun menilai perguruan tinggi bisa menjadi wadah evaluasi pendidikan bagi para peserta didik setelah dihapusnya UN.

"Jadi PT itu buat tes tersendiri, ada yang buat tes psikotes seperti fakultas psikologi.

Fakultas hukum menekankan kewarganegaraan, dia ngga peduli kimia sebab fakultas hukum soal kewarganegaaran," lanjutnya.

Evaluasi penyelenggaraan UN

Sementara itu, anggota Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP) Doni Koesuma mengatakan, wacana penghapusan UN menunjukkan bahwa penyelenggaraan harus dievaluasi, bukan dihapus.

Menurutnya, UN adalah bagian dari standar pendidikan nasional terutama pada tingkat standar penilaian.

"UN sebagai bagian proses akuntabilitas itu harus tetap ada, tapi tujuan dan bentuknya yang harus dievaluasi. Tidak semua harus ada UN. SD ada, SMP ada, SMA ada, tidak perlu, atau mungkin kita bisa menetapkan alternatif lain untuk melihat kapasitas lulusan, apakah sudah sesuai standar yang dilakukan pemerintah. Saya rasa itu perlu dipertimbangkan," kata Doni di Jakarta, Rabu, dikutip dari Gatra.

Ketua Komisi X DPR RI Syaiful Huda dari Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) juga meminta Nadiem untuk mempertimbangkan wacana tersebut secara matang.

Pemerintah diminta untuk melakukan kajian secara komprehensif mengingat kualitas proses belajar mengajar di setiap wilayah di Indonesia memiliki perbedaan.

"Metode pembelajaran dan kualitas sarana dan prasarana sekolah tidak sama antardaerah. Kompetensi guru juga tidak merata. Dalam konteks ini bisa dipahami muncul opsi untuk meniadakan Ujian Nasional,” ujar Syaiful.

Negara-negara yang tidak menerapkan UN

Ujian Nasional (UN) adalah sebuah sistem evaluasi standar pendidikan dasar dan menengah serta persamaan mutu tingkat pendidikan antardaerah yang dilakukan secara nasional.

Pelaksanaan UN di Indonesia didasari oleh UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, sebagai bentuk akuntabilitas penyelenggara pendidikan kepada pihak-pihak yang berkepentingan.

Namun, tidak sedikit negara-negara yang tidak menggunakan UN sebagai penentu kelulusan siswa-siswanya, seperti di Asia, Jepang salah satunya. Negeri matahari terbit ini tidak menggunakan UN sebagai penentu kelulusan. Di sana para siswa cukup mengikuti satu kali ujian, yakni ujian masuk perguruan tinggi yang disebut dengan Senta Shiken.

Negara tetangga, Australia, juga sama sekali tidak mengenal UN. Laiknya Jepang, Australia juga menerapkan ujian yang diberi nama Australian Tertiary Admission Rank (ATAR) bagi siswa-siwanya yang ingin melanjutkan pendidikan ke jenjang kuliah.

Sementara di Eropa, negara-negara seperti Finlandia dan Jerman juga tidak menerapkan UN.

Di Jerman, para siswa yang ingin melanjutkan pendidikan ke jenjang perkuliahan hanya cukup mengikuti tes yang bernama Abitur, yakni kualifikasi yang diberikan sekolah-sekolah persiapan universitas di Jerman.

Mereka yang lulus tes Abitur berkesempatan untuk melanjutkan pendidikan di universitas-universitas di negeri yang terletak di jantung Eropa tersebut.

Selain itu, beberapa negara bagian di Amerika Serikat juga diketahui telah menghapus UN yang dikenal dengan nama High School Exit Exams.

Mereka menilai ujian akhir tersebut tidak membantu siswa dalam melanjutkan jenjang pendidikan mereka, malah justru menyulitkan para siswa yang tidak lulus.

Para siswa di Amerika cukup mengikuti tes-tes masuk perguruan tinggi bagi mereka yang ingin melanjutkan ke jenjang perkuliahan, salah satunya Scholasstic Assessment Test (SAT).

Namun, untuk mengikuti tes ini, siswa harus merogoh kocek mencapai lebih kurang US$100 atau setara dengan Rp1.400.000.

 (dw indonesia/kompas.com)

Sumber: Kompas.com
Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved