Membujang Hingga 67 Tahun, Begini Susahnya Hidup Kakek Germanus Tinggal di Gubuk Reyot Beralas Tanah

Kakek Germanus (67), warga Dusun Gehak Reta, Desa Koting D, Kecamatan Koting, Kabupaten Sikka, Flores, Nusa Tenggara Timur, puluhan tahun hidup sebata

Editor: rida
KOMPAS.COM
Kakek Germanus (67), warga Dusun Gehak Reta, Desa Koting D, Kecamatan Koting, Kabupaten Sikka, Flores, Nusa Tenggara Timur, saat diwawancara awak media di gubuknya, Selasa (15/10/2019).(KOMPAS.COM/NANSIANUS TARIS) 

TRIBUNJAMBI.COM- Kakek Germanus (67), warga Dusun Gehak Reta, Desa Koting D, Kecamatan Koting, Kabupaten Sikka, Flores, Nusa Tenggara Timur, puluhan tahun hidup sebatang kara di gubuk tua.

Ia tinggal di gubuk yang berukuran 5x3 meter persegi.

Gubuk itu berlantai tanah, dinding pelupuh bambu, dan beratapkan seng.

Dinding gubuk itu sudah banyak berlubang.  

Begitu pula dengan seng yang sudah lusuh dan berkarat.

Atap rumah itu sudah banyak lubang.

“Kalau hujan, saya cari tempat yang tidak bocor. Karena seba gian besar atapMJMJsudah rusak dan bocor,” ungkap Germanus kepada sejumlah wartawan di gubuknya, Selasa (15/10/2019).

Niat Puasa Senin Kamis, Ustaz Abdul Somad Niatnya Pendek Saja, Simak Manfaat dan Keutamaannya

Detik-detik Staf Protokol Wali Kota Medan Hampir Tabrak Petugas KPK, Loncat untuk Menghindar

Presiden Jokowi Masih Bungkam Soal Perppu KPK, Dua Politisi Ini Langsung Pasang Badan

Di gubuk tua itu, Germanus hidup apa adanya.

Mulai dari perabotan rumah tangga yang sederhana hingga makan ala kadarnya.

Rumah dan isinya tampak semrawut.

Mirisnya, gubuk tua milik Germanus tidak dialiri listrik.

Di kala malam, ia hanya mengandalkan cahaya lampu pelita untuk menerangi rumah.

Sementara untuk kebutuhan air minum bersih dan makan, Germanus berharap dari belas kasih tetangga.

Untuk bertahan hidup, dia menjual hasil panen jambu mente dari kebunnya yang berjarak 1 kilometer dari tempat tinggalnya.

Hasilnya pun tak seberapa.

Jambu mente miliknya hanya berjumlah 4 pohon di kebun dan 3 pohon di halaman rumah.

Selain itu, ia juga mengumpulkan kenari dari warga sekitar yang jatuh untuk dijual.

“Kalau musim mente, saya jual mente. Kalau tidak, saya pilih kenari milik warga sekitar yang jatuh dan saya kumpul untuk jual ke kota dengan harga Rp. 25.000 per kilogram. Uang itu saya beli beras, minyak goreng, dan beli minyak tanah untuk kasih nyala lampu pelita,” cerita kakek Germanus.

ISPU di Muarojambi Kategori Tidak Sehat, Dinas PTK Kordinasikan Bupati Untuk Liburkan Siswa

SEDANG TAYANG LIVE STREAMING PSM vs Arema Fc, Live Score Pantau Dari Hp!

BREAKING NEWS, Kebakaran di Taman Nasional, Harimau Sumatera Mulai Bekeliaran di Kawasan Pemukiman

Ia menuturkan, jika tak ada mente atau kenari, Germanus terpaksa menahan lapar dan berharap belas kasih dari tetangga.

“Saya tadi pagi sudah makan nasi dan minum kopi. Beras yang kemarin sudah habis, jadi siang ini saya belum makan. Tadi saya minta orang pergi jual mente, tetapi sampai sekarang belum pulang. Mungkin belum laku,” ungkap Germanus.

“Jualan jambu mente hanya satu- dua kilo saja dalam satu minggu. Harganya Rp 18.000 per kilogram,” sambungnya sambil memecahkan kenari yang dikumpulkan untuk dijual.

Germanus menceritakan, pada tahun 2017, ia sempat menerima bantuan uang sebesar Rp 500.000 dari pemerintah daerah.

Namun, sejak tahun 2018 hingga kini, ia tidak pernah lagi menerima bantuan apapun dari pemerintah.

Saat ditanya sejumlah awak media terkait harapannya kepada pemerintah, kakek Germanus hanya diam merunduk.

Ia tetap fokus memecahkan kenari untuk dijual.

Untuk diketahui, kakek Germanus memiliki empat saudara.

Sejak dulu hingga kini, dia memilih hidup membujang.

Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul "Kisah Kakek Germanus, Puluhan Tahun Hidup di Gubuk Reyot Tanpa Listrik, Makan dari Belas Kasih Tetangga"

Penulis : Kontributor Maumere, Nansianus Taris
Editor : David Oliver Purba

Sumber: Kompas.com
Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved