Jokowi Pastikan Tolak Terbitkan Perppu KPK? Reaksi Tak Biasa Ketua Komnas HAM: 'KPK Perlu Refleksi!'
Presiden Jokowi juga tidak menjawab pertanyaan wartawan saat ditanya rencananya menerbitkan perppu untuk mencabut UU KPK hasil revisi.
Jokowi Pastikan Tolak Terbitkan Perppu KPK? Reaksi Tak Biasa Ketua Komnas HAM: 'KPK Perlu Refleksi!'
TRIBUNJAMBI.COM - Penolakan Undang-undanga Komisi Permberantasan Korupsi (KPK) masih terus dilakukan oleh sejumlah pihak sebulan belakangan sejak pengesahan pada 17 September 2019.
Melihat situasi Tanah Air sempat memanas, Presiden Joko Widodo (Jokowi) akhirnya mempertimbangkan UU KPK tersebut di sahkan.
Bahkan Jokowi akan mengeluarkan Peraturan pemerintah pengganti undang-undang untuk membatalkan revisi UU KPK.
Pernyataan ini disampaikan langsung oleh Jokowi saat bertemu sejumlah toko di Istana Kepresidenan pada 26 September silam.
Namun, hingga hari ini, Senin (14/10/2019), Jokowi belum juga menerbitkan Perppu KPK.
Presiden Jokowi juga tidak menjawab pertanyaan wartawan saat ditanya rencananya menerbitkan perppu untuk mencabut UU KPK hasil revisi.

Awalnya, Jokowi mau meladeni pertanyaan wartawan soal pertemuannya dengan Zulkifli serta peluang PAN masuk ke kabinet Jokowi-Ma'ruf Amin. Namun, saat wartawan berpindah topik ke Perppu KPK, Jokowi tak menjawab.
Ia segera berjalan meninggalkan awak media. Sekretaris Kabinet Pramono Anung juga tidak menjawab pertanyaan wartawan soal perkembangan Perppu KPK. "Enggak tahu saya," kata Pramono.
Staf Khusus Presiden Adita Irawati menyebut, Presiden Jokowi memang masih membutuhkan waktu untuk mempertimbangkan apakah ia akan mencabut Undang-Undang KPK hasil revisi atau tidak.
Oleh karena itu, sampai hari ini Presiden belum mengambil keputusan terkait Perppu KPK.
• Sindiran Hingga Cacian Nikita Mirzani Sebut Uya Kuya Teman Palsu dan Blokir WhatsApp,Ini Alasannya
• Bagian Pusar hingga ke Bawah Dewi Perssik Terbuka Saat Panjat Pohon Mangga, Yuk Intip Tubuh Seksinya
• Terungkap 8 Orang Ini Sebut Settingan hingga Berani Bilang Wiranto Ini, Ada Hanum Rais, Jerinx SID
• Penusukan Wiranto Mirip Drama Korea, Kini Giliran Istri TNI di Wonosobo Ikut Nyinyir di Medsos
Adita menyadari bahwa mahasiswa dari universitas Trisakti dan sejumlah universitas lain sebelumnya memberi deadline atau batas waktu sampai Senin (14/10/2019) hari ini.
Namun, menurut Adita, tenggat tersebut tak bisa dipenuhi Jokowi. "Perppu KPK ini kan Presiden mendengarkan masukan banyak pihak.
Kemudian banyak yang bertanya, ini mahasiswa memberi tuntunan deadline hari ini, ya beliau kan mendengarkannya dari berbagai pihak
. Juga mempelajari lagi salinan yang dari DPR. Jadi mungkin masih merlukan waktu," kata Adita saat dihubungi, Senin siang.
Adita meminta mahasiswa dan masyarakat bersabar menanti keputusan Presiden terkait polemik UU KPK ini.
Tenaga Ahli Kedeputian IV Kedeputian IV Kantor Staf Presiden (KSP) Ali Mochtar Ngabalin menambahkan, mahasiswa tidak bisa seenaknya memberi tenggat waktu kepada Presiden.
"Jangan main deadline. Enggak bisa dalam bentuk ancaman. Kan ini negara. Pemerintahan ini kan representasi negara. Kalau deadline terkait perppu, jangan mengancam," kata Ali.
Ali menegaskan bahwa Presiden mempunyai kewenangan sepenuhnya kapan akan mengambil keputusan terkait penerbitan Perppu KPK.
Sebagai kelompok intelektual, mahasiswa diminta bersabar menunggu keputusan Presiden. "Pakai deadline itu tidak benar," kata dia.
Para mahasiswa mendesak Presiden Joko Widodo menerbitkan perppu untuk mencabut UU KPK hasil revisi. Mereka memberi tenggat waktu bagi Jokowi sampai 14 Oktober, jika tidak maka akan ada gerakan mahasiswa lebih besar. UU KPK hasil revisi ramai-ramai ditolak karena disusun secara terburu-buru tanpa melibatkan masyarakat dan unsur pimpinan KPK. Isi UU KPK yang baru juga dinilai mengandung banyak pasal yang dapat melemahkan kerja lembaga antirasuah.
Misalnya, KPK yang berstatus lembaga negara dan pegawai KPK yang berstatus ASN dapat mengganggu independensi.
Dibentuknya dewan pengawas dan penyadapan harus seizin dewan pengawas juga bisa mengganggu penyelidikan dan penyidikan yang dilakukan KPK.
Kewenangan KPK untuk bisa menerbitkan surat perintah penghentian penyidikan (SP3) dalam jangka waktu dua tahun juga dinilai bisa membuat KPK kesulitan menangani kasus besar dan kompleks
. Setelah aksi unjuk rasa besar-besaran menolak UU KPK hasil revisi dan sejumlah RUU lain digelar mahasiswa di berbagai daerah, Presiden Jokowi mempertimbangkan untuk menerbitkan perppu. Namun rencana itu ditentang oleh partai politik pendukungnya.
Batas usia yang dicantumkan dalam UU KPK hasil revisi adalah "50" tetapi dalam keterangan dalam kurung tertulis "(empat puluh)" tahun. Kesalahan itu dapat berdampak tidak bisa dilantiknya Nurul Ghufron yang telah dipilih oleh DPR dan pemerintah karena baru berusia 45 tahun.
Sejumlah pakar hukum tata negara menilai UU KPK hasil revisi terlihat disusun terburu-buru karena tidak mencantumkan pasal peralihan, termasuk untuk mengatasi polemik Ghufron. Dengan demikian, sejumlah pengamat menilai perppu seharusnya dilakukan untuk mengatasi polemik itu.
Eks Ketua Komnas Dukung Perppu Tak Diterbitkan.
Ketua Komnas HAM periode 2013-2014, Siti Noor Laila mengatakan Perppu KPK tidak perlu dikeluarkan Presiden.
Alasannya UU KPK yang baru saja disahkan oleh DPR tidak mengurangi tugas dan wewenang KPK.
UU yang saat ini kata Noor sudah memperkuat KPK dan tetap memposisikan lembaga antirasuah itu sebagai superbodi karena memang sudah demikian sejak dilahirkan.
“Setelah 17 tahun berjalan KPK perlu refleksi dan dievaluasi, kalahnya di 5 kali pra peradilan dan kasasi MA menunjukkan ada mekanisme yang tidak kuat di KPK. Kalah di praperadilan menunjukan ada mekanisme yang perlu dikuatkan di KPK,” ujar Noor.
Mekanisme pengawasan lanjut Noor justru bisa megurangi kemungkinan kekalahan tersebut bisa terjadi.
Karena ada pengawasan yang kuat sehingga prosedural dalam penyidikan dapat dijalankan sesuai aturan sehingga cukup kuat apabila harus menghadapi pra peradilan.
“Pengawasan yang dilakukan terkait dengan penyadapan juga semakin memperkuat KPK untuk dapat melakukan penyadapan dengan mendukung prinsip-prinsip penegakan HAM. Penyadapan dilakukan untuk memperkuat tambahan alat bukti bukan mencari alat bukti. Posisinya jangan sampai terbalik,” ujar Noor.
Penyadapan pada dasarnya merupakan pelanggaran HAM, tetapi apabila dilakukan berdasarkan UU dan untuk kebutuhan tertentu maka bisa dilakukan.
Dalam hal ini, UU KPK tetap memberikan wewenang kepada KPK untuk melakukan penyadapan.
Namun menurut Noor Laila hal tersebut harus dilakukan dengan mekanisme yang berdasar prinsip demokrasi agar tidak terjadi pelanggaran HAM.
“Hasil penyadapan yang berada di luar konteks penyidikan tidak boleh dikeluarkan dan tidak perlu melakukan demoralisasi tersangka cukup hanya pada kasusnya. Selain itu membuka hasil penyadapan harus dilakukan di persidangan dan bukan oleh Jubir,” ujar Noor.
Lebih lanjut Noor Laila juga mendukung terkait dengan wacana menjadikan karyawan KPK menjadi ASN.
Hal tersebut menurutnya adalah hal yang wajar dan tidak akan mengurangi hak karyawan yang selama ini.
“Di Komnas HAM sebelum era saya pada tahun 2007 – 2012 adalah era ASN. Seluruh karyawan saat ini berubah menjadi ASN. Hal tersebut dampaknya berpengaruh utamanya pada loyalitas terhadap negara,” ujarnya.
Senada dengan proses yang terjadi di Komnas HAM, perubahan status karyawan menjadi ASN di KPK tidak akan memberikan pengaruh banyak.
Bahkan harapannya mendorong loyalitas karyawan kepada negara salah satu faktornya karena KPK dibiayai oleh APBN.
“Isu lainnya karena saat ini gaji karyawan KPK memang jauh lebih tinggi dibandingkan ASN. Hal tersebut tidak perlu dikawatirkan sebenarnya KPK bisa meminta kepada Menkeu untuk membuat perlakukan khusus,” kata Noor Laila.
Noor Laila menjelaskan hal tersebut sangatlah memungkinkan karena KPK memang lembaga extraordinary yang diciptakan untuk melaksanakan pemberantasan korupsi.
Berbagai polemik yang ada di masyarakat Noor Laila karena prosesnya terlalu dipolitisir dan disimplifikasi sehingga tidak bisa melihat dengan jernih masalah yang timbul.
Menurut dia dorongan agar presiden mengeluarkan Perppu tidak relevan karena cukup menggunakan mekanisme demokrasi yang berlaku saat ini.
“Sekarang ada beberapa pihak yang sudah berproses di MK. Sebaiknya menunggu saja proses yang ada di MK. Tidak usah ada bumbu politik dan agenda lain,”tutup Noor.
(*)
Artikel ini telah tayang di Tribunsumsel.com