Mantan Dirut PLN Dituntut 5 Tahun Penjara

Jaksa Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menuntut mantan Direktur Utama PT PLN (Persero), Sofyan Basir,

Editor: Awang Azhari
(TRIBUNNEWS/IRWAN RISMAWAN)
Tersangkut Kasus Suap Proyek PLTU, Dirut PLN Nonaktif Sofyan Basir Ditahan KPK 

JAKARTA, TRIBUN - Jaksa Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menuntut mantan Direktur Utama PT PLN (Persero), Sofyan Basir, lima tahun penjara dan denda Rp 200 juta subsider tiga bulan kurungan, dalam sidang di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta, Senin (7/10). Sofyan dinilai terbukti membantu transaksi dugaan suap dalam proyek pembangunan PLTU Riau-1.

"Menyatakan terdakwa Sofyan Basir terbukti secara sah meyakinkan bersalah melakukan korupsi sebagaimana dakwaan pertama. Menjatuhkan pidana penjara 5 tahun dan denda Rp 200 juta subsider tiga bulan kurungan," kata Jaksa Penuntut Umum (JPU) KPK, Ronald Worotikan, saat membacakan surat tuntutan.

Jaksa menyatakan, hal yang memberatkan tuntutan hukuman terdakwa Sofyan Basir adalah tidak mendukung program pemerintah dalam pemberantasan korupsi. Adapun hal yang meringankan karena Sofyan Basir bersikap sopan di persidangan, belum pernah dihukum dan tidak ikut menikmati hasil tindak pidana suap yang dibantunya.

Menurut jaksa, Sofyan Basir terbukti membantu transaksi dugaan suap dalam proyek Independent Power Producer (IPP) Pembangkit Listrik Tenaga Uap Mulut Tambang RIAU-1 (PLTU MT Riau-1).

Sofyan Basir dinilai memfasilitasi kesepakatan proyek hingga mengetahui adanya pemberian uang dari Johannes Budisutrisno Kotjo selaku pemegang saham Blackgold Natural Resources Limited (BNR) Ltd sebesar Rp 4,7 miliar kepada Eni Maulani Saragih selaku Wakil Ketua Komisi VII DPR dan Idrus Marham selaku Sekretaris Jenderal Partai Golkar.

Sofyan juga diduga ikut menerima janji fee proyek dari Kotjo dengan nilai sama dengan yang diterima Eni Saragih dan Idrus Marham.

Dalam surat tuntutan setebal 647 halaman, jaksa menyatakan Sofyan Basir memfasilitasi pertemuan antara anggota Komisi VII DPR dari Golkar Eni Maulani Saragih, Sekretaris Jenderal Partai Golkar Idrus Marham, dan Kotjo selaku pemegang saham BNR Ltd dengan jajaran direksi PT PLN. Sofyan juga turut menggerakkan direktur di PT PLN.

"Terdakwa mengarahkan Nicke Widyawati yang pada saat itu menjabat selaku direktur perencanaan PT PLN Persero untuk tetap memasukkan proyek IPP PLTU Mulu Tambang 2x300 MW di perencanaan Kabupaten Indragiri Hulu, Riau, ke dalam Rencana Umum Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) PT PLN Persero," ujar jaksa KPK.

Hal itu dilakukan untuk mempercepat proses kesepakatan proyek IPP PLTU MT Riau-1 antara PT Pembangkitan Jawa Bali Investasi (PJBI) dengan BNR Ltd dan China Huadian Engineering Company Limited (CHEC Ltd) yang dibawa oleh pengusaha Johannes Budisutrisno Kotjo.

Pada 14 September 2017, akhirnya disepakati kontrak kerja sama untuk membentuk konsorsium mengembangkan proyek PLTU MT RIAU-1 antara PT PLN , PT PJB, pihak CHEC Ltd, BNR Ltd dan PT Samantaka Batubara (anak perusahaan BNR Ltd). Komposisi saham konsorsium adalah PT PJBI 51 persen, CHEC Ltd 37 persen dan BNR Ltd 12 persen dan pihak penyedia batu bara adalah PT Samantaka Batubara.

Sofyan Basir dinilai jaksa melanggar Pasal 12 huruf a jo Pasal 15 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 56 ke-2 KUHP.

Atas tuntutan ini, Sofyan dan penasihat hukumnya akan mengajukan nota pembelaan atau pleidoi pada sidang Senin, 21 Oktober 2019.

Dalam perjalanan kasus suap proyek tersebut, ada peran Setya Novanto selaku Ketua DPR dan Ketua Umum Partai Golkar.

Menurut jaksa, mulanya ada kesepakatan antara Johannes Kotjo dengan CHEC Ltd mengenai rencana pemberian fee sebagai agen proyek pembangunan PLTU MT RIAU-1 paa 2015. Nilai proyek tersebut diperkirakan 900 juta Dolar AS dengan fee sebesar 2,5 persen atau sejumlah 25 juta Dolar AS untuk sejumlah pihak.

Pada 1 Oktober 2016, Direktur PT Samantaka Batubara (anak perusahaan BNR) Rudy Herlambang mengajukan permohonan proyek PLTU MT RIAU-1 agar PT PLN memasukan proyek ke dalam rencana umum penyediaan tenaga listrik (RUPTL) PT PLN. Namun, permohonan itu tidak mendapat tanggapan dari PT PLN sehingga Kotjo meminta bantuan Setya Novanto agar dipertemukan dengan pihak PT PLN. Saat itu, Setnov merupakan Ketua DPR sekaligus Ketua Umum Partai Golkar.

Selanjutnya, Setnov memperkenalkan Kotjo dengan Eni Maulani Saragih selaku anggota Komisi VII DPR. Setnov juga meminta Eni agar membantu Kotjo agar perusahaannya dapat ikut dalam proyek PLTU itu dan Kotjo akan memberikan "fee" jatahnya dari CHEC. Permintaan orang nomor satu DPR dan Golkar itu disanggupi oleh Eni Saragih.

Pada saat rapat kerja Komisi VII DPR dan PT PLN di Senayan, Eni Maulani Saragih menyampaikan kepada Sofyan bahwa ia ditugaskan Setnov untuk mengawal perusahaan milik Kotjo dalam proyek pembangunan PLTU MT RIAU-1 di PLN. Hal itu dilakukan untuk kepentingan mencari dana untuk Partai Golkar dan pemilu legislatif Partai Golkar. Untuk tujuan itu, dilakukan pertemuan antara Eni Maulani, Sofyan Basir dan Setnov melakukan pertemuan di rumah Setya Novanto.

Setelah bisa membawa BNR Ltd dan PT Samantaka Batubara dalam proyek kerja sama IPP PLTU MT Riau-1, akhirnya Eni Maulani Saragih bersama Idrus menerima imbalan uang Rp4,75 miliar secara bertahap dari Kotjo.

Dari total penerimaan Rp4,75 miliar, sebanyak Rp713 juta diserahkan Eni Maulani selaku Bendahara Munaslub Partai Golkar kepada Muhammad Sarmuji selaku Wakil Sekretaris Steering Committe Munaslub Partai Golkar 2017. Itu dilakukan sesuai keinginan Idrus Marham. Sisa penerimaan uang dipergunakan oleh Eni untuk kepentingan kampanye suaminya dalam Pilkada Temanggung.

Namun, pada 13 Juli 2018, Kotjo dan Eni Maulani ditangkap petugas KPK saat penyerahan uang Rp500 juta melalui perantara. Adapun Idrus Marham ditetapkan sebagai tersangka dari pengembangan kasus Eni dan Kotjo. Ketiganya telah diadiili.

Pengusaha Johannes Budisutrisno Kotjo selaku pemberi suap terbukti bersalah dan dihukum 2 tahun 8 bulan penjara. Dan hukumannya diperberat menjadi 4,5 tahun penjara di tingkat banding.

Eni juga divonis bersalah oleh hakim dan dijatuhi hukuman 6 tahun penjara. Hukumannya ditambah dengan kewajiban untuk membayar uang pengganti sebesar Rp5,87 miliar dan 40 ribu Dolar Singapura.

Idrus Marham juga dinyatakan bersalah dan divonis 3 tahun penjara. Ia sempat mengajukan banding, namun ditolak. Majelis hakim Pengadilan Tinggi DKI Jakarta memperberat hukuman Idrus menjadi 5 tahun penjara. Belakangan, Idrus mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung (MA). (tribun network/gle/coz)

Sumber: Tribun Jambi
Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved