G30S-Mengungkap Peran China dari Rekaman DN Aidit, & 5 Adegan Kontroversial di Film G30S/PKI
Ke-5 adegan yang tidak sesuai sejarah itu ditulis dalam artikel historia.id dan bukti percakapan DN Aidit dan Mao Zedong ini ungkap fakta baru?
G30S-Mengungkap Peran China dari Rekaman DN Aidit, & 5 Adegan Kontroversial di Film G30S/PKI
Ke-5 adegan yang tidak sesuai sejarah itu ditulis dalam artikel historia.id dan bukti percakapan DN Aidit dan Mao Zedong ini ungkap fakta baru?
TRIBUNJAMBI.COM-Sudah lama film Pengkhianatan G30S/PKI tidak lagi diputar di stasiun televisi pemerintah, TVRI, ataupun di stasiun-stasiun televisi swasta di Tanah Air.
Padahal, dulunya, film Pengkhianatan G30S/PKI seolah menjadi tontonan 'wajib' rakyat Indonesia di malam tanggal 29 September, menjelang 30 September.
Malah, di era rezim Orde Baru, antara tahun 1985 hingga tahun 1997, seluruh murid dan siswa, mulai tingkat SD, SMP, hingga SMA, diwajibkan menonton film Pengkhianatan G30/PKI yang berdurasi hampir 4 jam tersebut.
Pada 1998, saat Presiden Soeharto mengundurkan diri atas desakan mahasiswa dan rakyat Indonesia, film Pengkhianatan G30S/PKI bukan lagi menjadi tontonan wajib.
Bahkan, stasiun TVRI yang notabene masih stasiun televisi milik pemerintah -hingga saat ini- berhenti menayangkan film Pengkhianatan G30S/PKI.
Terungkap Alasan Ibu Lies Tolak Apartemen dan Uang Rp 3 Miliar Demi Pertahankan Rumah Tua Miliknya!
KETIKA Kopassus Menyamar Sebagai Pengawal Presiden Filipina Untuk Melindungi dari Ancaman Kudeta
Krisdayanti Enggan Campuri Alasan Ashanty-Anang Tiba-tiba Jual Rumah, Siap Tampung Aurel & Azriel
Namun, bagi yang pernah menonton atau hidup di era Orde Baru, beberapa adegan dalam film garapan sutradara Arifin C Noer ini masih terpatri dalam ingatan.
Sayangnya, belakangan, beberapa adegan dalam film Pengkhianatan G30S/PKI ternyata tidak sesuai dengan fakta sejarah.
Bahkan, ada satu fakta sejarah yang melenceng jauh padahal penggambaran dalam film begitu jelas dan nyaris muncul sepanjang film.
Historia.id mengumpulkan dan menulis 5 adegan dalam film Pengkhianatan G30S/PKI yang dinilai tidak sesuai dengan fakta sejarah.
Ke-5 adegan yang tidak sesuai sejarah itu ditulis dalam artikel historia.id bertajuk Film Pengkhianatan G30S/PKI dan Fakta Sejarah, yang ditulis Randy Wirayudha.
Berikut artikel lengkap Randy Wirayudha di situs historia.id:
Film Pengkhianatan G30S/PKI dan Fakta Sejarah
PADA era Orde Baru (Orba), tiap tanggal 30 September, stasiun televisi nasional TVRI selalu menayangkan film Pengkhianatan G30S/PKI.
Saat kali pertama rilis pada 1984, film ini bahkan wajib ditonton oleh para siswa SD (Sekolah Dasar), SMP (Sekolah Menengah Pertama) dan SMA (Sekolah Menengah Atas) di seluruh Indonesia.
Sejak Presiden Soeharto lengser pada 1998, film garapan Arifin C Noer itu berhenti ditayangkan TVRI.
Itu terjadi atas desakan sebagian kalangan masyarakat dan pihak TNI AU, yang menganggap film itu tidak sesuai dengan kejadian sebenarnya.
Setidaknya, ada beberapa adegan di film itu yang berlawanan dengan fakta sejarah.
1. Perlakuan Bengis terhadap Para Jenderal

Secara gamblang, film Pengkhianatan G30S/PKI melukiskan bagaimana para perwira tinggi Angkatan Darat (AD) yang diculik ke Lubang Buaya, digambarkan mengalami penyiksaan hebat.
Tubuh mereka disayat-sayat dan diperlakukan secara biadab, sebagaimana dideskripsikan diorama yang terpampang di kompleks Monumen Pancasila Sakti, Jakarta.
Bisa jadi, gambaran itu terinspirasi dari laporan-laporan berita yang dimuat Berita Yudha pada 9 Oktober 1965.
Koran milik tentara itu bahkan menyebut tentang para jenderal yang dicukil matanya serta alat-alat kelamin mereka dipotong oleh para aktivis Gerakan Wanita Indonesia (Gerwani), sebuah organ perempuan yang menjadi bagian dari PKI.
Kenyataanya tidak seperti itu.
Dalam laporan visum et repertum yang didapat sejarawan Ben Anderson dan diungkapkan dalam "How did the General Dies?" jurnal Indonesia, April 1987, disebutkan bahwa keadaan jenazah hanya dipenuhi luka tembak.
Dari hasil visum yang dilakukan tim yang terdiri dari dr. Lim Joe Thay, dr. Brigjen Rubiono Kertopati, dr. Kolonel Frans Pattiasina, dr. Sutomo Tjokronegoro dan dr. Liau Yan Siang itu dijelaskan tidak ada bekas penyiksaan seperti penyiletan, pemotongan alat kelamin atau pencungkilan mata.
Semua organ tubuh para perwira tinggi AD itu utuh sama sekali.
2. Bung Karno Jatuh Sakit

Di film itu Presiden Soekarno dikisahkan tengah sakit keras.
Bung Karno (yang diperankan oleh Umar Khayam) juga digambarkan selalu berjalan bolak-balik layaknya orang yang tengah kebingungan.
Fakta sejarah yang sebenarnya Bung Karno kala itu sehat-sehat saja.
Memang sempat ada isu beredar bahwa Bung Karno sedang sakit keras, namun kehadiran Si Bung dalam sejumlah kegiatan seremonial (seperti pembukaan Musyawarah Nasional Teknik di Istora Senayan Jakarta pada 30 September 1965) menafikan isu itu lebih jauh beredar.
Bung Karno baru benar-benar sakit setelah dijadikan tahanan rumah di Wisma Yaso, Jakarta.
Perawatan yang tidak intensif membuatnya tutup usia pada Juni 1970.
3. Tarian Aktivis Gerwani

Salah satu adegan yang paling banyak diingat khalayak dari film itu adalah adanya "pesta besar" di Lubang Buaya lengkap dengan tarian-tarian erotis para aktivis Gerwani.
Menurut penelitian Saskia Elionora Wieringa, sejatinya penggambaran itu merupakan sebentuk propaganda yang dilakukan oleh media-media cetak milik tentara yakni Berita Yudha dan Harian Angkatan Bersenjata.
Dalam penelitian yang kemudian dibukukan berjudul Penghancuran Gerakan Perempuan di Indonesia, Saskia mengungkapkan bahwa Gerwani sendiri, walau punya kaitan yang sangat dekat dengan PKI, tidak terlibat langsung dalam tragedi tersebut.
Dalam kesaksian Suharti, salah satu eks Gerwani yang dituliskan Saskia, Gerwani sejak awal 1965 memang sering berada di Lubang Buaya bersama sejumlah organisasi pemuda lain.
Termasuk pemuda Nahdlatul Ulama (NU), Perwari, Wanita Marhaen, Wanita Islam dan Muslimat, untuk pelatihan dalam rangka persiapan konfrontasi dengan Malaysia.
Pun begitu dengan kesaksian Serma Bungkus, eks anggota Resimen Tjakrabirawa yang penculik para jenderal. Dalam buku Gerakan 30 September, Antara Fakta dan Rekayasa: Berdasarkan Kesaksian Para Pelaku Sejarah, Bungkus menyatakan bahwa tidak ada tarian atau pesta yang diiringi nyanyian-nyanyian di Lubang Buaya.
4. Peta di Ruang Kostrad

Ada pemandangan "unik" dan membingungkan dalam adegan yang menggambarkan Letnan Jenderal TNI Soeharto tengah memimpin operasi pemulihan keamanan pascaterjadinya G30S di ruangan Komando Cadangan Strategis Angkatan Darat (Kostrad).
Adalah peta Indonesia di ruangan tersebut jadi penyebabnya karena sudah memasukkan Timor Timur sebagai wilayah Indonesia.
Sejarawan Asvi Warman Adam dalam Membongkar Manipulasi Sejarah: Kontroversi Pelaku dan Peristiwa menuliskan bahwa tahun 1965/1966 Timor Timur belum terintegrasi ke dalam NKRI.
“Jadi peta yang ada di sana bersifat anakronis,” ujar Asvi.
5. DN Aidit Perokok

Dalam suatu adegan pada film tersebut, digambarkan sosok pemimpin CC PKI (Comite Central Partai Komunis Indonesia), sebagai seorang perokok.
Padahal kenyataannya Aidit bukan bukan seorang pecandu tembakau.
Alih-alih menggilai rokok, Aidit justru menganjurkan kawan-kawannya untuk meminimalisir rokok demi kesehatan finansial partainya.
Dalam isi "Resolusi Dewan Harian Politbiro CC PKI" tertanggal 5 Januari 1959, Aidit menyerukan teman-temannya untuk menghentikan kebiasaan merokok atau setidaknya mengurangi ketergantungan pada rokok.
Aidit mengatakan akan lebih bermanfaat jika uang untuk membeli rokok, dialihkan untuk dana Kongres ke-6 PKI.
Murad Aidit, adik DN Aidit, mengatakan bahwa dalam keluarga kami tak ada yang merupakan pecandu rokok.
"Begitu pula ayah kami pun tak pernah atau jarang sekali merokok. Dalam film itu diperlihatkan seolah-olah DN Aidit merupakan pecandu rokok yang hebat. Aku dan teman-temanku selalu tersenyum kalau melihat adegan ini, karena DN Aidit merupakan orang yang tak pernah merokok," kata Murad dalam Aidit Sang Legenda.(*)
Sebuah penelitian baru-baru ini mengungkap fakta baru seputar peristiwa berdarah Gerakan 30 September (G30S) tahun 1965 silam.
Taomo Zhou, seorang sejarawan dari Nanyang Technology University, Singapura, mengungkapkan hasil penelitian mengenai peran China dalam peristiwa G30S.
Baru-baru ini, Taomo Zhou meluncurkan bukunya berjudul Revolusi, Diplomasi, Diaspora: Indonesia Tiongkok, dan Etnik Tionghoa, 1945—1967 di Jakarta.
Peluncuran dan bedah buku Taomo Zhou dilakukan oleh Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), akhir Juli 2019 lalu.
Terungkap Alasan Ibu Lies Tolak Apartemen dan Uang Rp 3 Miliar Demi Pertahankan Rumah Tua Miliknya!
KETIKA Kopassus Menyamar Sebagai Pengawal Presiden Filipina Untuk Melindungi dari Ancaman Kudeta
Krisdayanti Enggan Campuri Alasan Ashanty-Anang Tiba-tiba Jual Rumah, Siap Tampung Aurel & Azriel
Dikutip dari historia.id, dalam artikel bertajuk Apakah Rezim Mao Terlibat G30S?, peran China saat itu mulai terkuak.
Berikut artikel lengkap Apakah Rezim Mao Terlibat G30S? yang ditulis Martin Sitompul di historia.id:
Apakah Rezim Mao Terlibat G30S
SEBELUM peristiwa G30S meletus, Ketua CC PKI, DN Aidit berkunjung ke Beijing.
Di sana, Aidit bertemu ketua Partai Komunis Tiongkok (PKT), Mao Zedong.
Mereka membicarakan situasi politik yang sedang terjadi di Indonesia; suksesi kekuasaan bilamana Presiden Soekarno wafat atau dilengserkan.
Tidak lama berselang, terjadilah peristiwa 1 Oktober 1965.
Soekarno kemudian tumbang.
Jenderal Soeharto naik tampuk kekuasaan mendirikan rezim Orde Baru.
Selain PKI, penguasa Orde Baru mencurigai keterlibatan pemerintah Tiongkok dalam G30S.
Pada 1967, hubungan diplomatik antara Indonesia dan Tiongkok diputuskan.
Apakah benar penguasa Beijing berada di balik G30S?
“Percakapan antara Mao dengan Aidit barangkali merupakan bukti terkuat,” ujar Taomo Zhou, sejarawan Nanyang University dalam peluncuran dan bedah bukunya Revolusi, Diplomasi, Diaspora: Indonesia Tiongkok, dan Etnik Tionghoa, 1945—1967 yang diselenggarakan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), 29 Juli 2019.
Keterlibatan rezim Mao dalam G30S selalu jadi perdebatan.
Menurut Taomo, teka-teki itu dapat terjawab bila merujuk percakapan antara Aidit dan Mao.
Transkrip percakapan keduanya tertanggal 5 Agustus 1965 tersebut tersimpan dalam arsip Kementerian Luar Negeri Tiongkok.
Terungkap Alasan Ibu Lies Tolak Apartemen dan Uang Rp 3 Miliar Demi Pertahankan Rumah Tua Miliknya!
KETIKA Kopassus Menyamar Sebagai Pengawal Presiden Filipina Untuk Melindungi dari Ancaman Kudeta
Krisdayanti Enggan Campuri Alasan Ashanty-Anang Tiba-tiba Jual Rumah, Siap Tampung Aurel & Azriel
Lebih dari setengah abad mengendap, arsip tersebut dideklasifikasi secara bertahap pada 2007.
Sebanyak 250 bundel arsip setebal 2000 halaman dibuka hanya terbatas kepada peneliti dan sejarawan.
Namun sayangnya, pemerintah Tiongkok mereklasifikasi (menutup akses) arsip berharga itu pada 2013 tanpa alasan yang jelas.
Taomo menjadi salah satu sejarawan yang beruntung bisa meneliti arsip-arsip itu untuk keperluan disertasi doktoralnya di Universitas Cornell.

Disertasi Taomo yang berjudul “Diaspora and Diplomacy: China, Indonesia and The Cold War, 1945-1967” rampung pada 2015.
“Secara fundamental kita dapat katakan bahwa Aidit adalah aktor yang dengan sadar merancang gerakan sedangkan pengaruh Beijing pada dasarnya sangatlah terbatas,” kata Taomo.
Menurut Taomo keterlibatan rezim Mao pada prahara paling berdarah dalam sejarah Indonesia tidak signifikan.
Ketika bertemu dengan Mao, Aiditlah yang menerangkan rencana gerakan merebut kekuasaan.
Mao sendiri terkejut saat mendengar gerakan tersebut akhirnya dilancarkan.
Berdasarkan bukti itu, Taomo dalam penelitiannya menggugurkan mitos yang tersebar luas di mana Mao digambarkan sebagai “arsitek G30S”.
Kendati demikian, dampaknya cukup berimbas besar terhadap masyarakat Tionghoa di Indonesia.
Propaganda pemerintah Soeharto yang mengidentifikasi etnik Tionghoa dengan komunisme telah membuat komunitas minoritas itu rawan terhadap kekerasan dan pengusiran selama berlangsungnya pembunuhan massal pada 1965-1966.
Akibatnya, lebih dari 160 ribu orang Tionghoa terpaksa meninggalkan Indonesia untuk kembali ke negeri leluhurnya.

Dan selama tiga dasawarsa berkuasa, rezim Orde Baru menerbitkan sejumlah peraturan yang diskriminatif terhadap orang Tionghoa.
Misalnya, orang Tionghoa peranakan harus mendapat surat kewarganegaraan dengan tanda khusus, sedangkan pendidikan berbasis bahasa Tionghoa dilarang sama sekali.
“Tuduhan Orde Baru bahwa Tiongkok itu terlibat di dalam G30S tentunya menjadi sangat lemah,” ujar sejarawan LIPI Asvi Warman Adam yang menjadi pembedah buku.
Terungkap Alasan Ibu Lies Tolak Apartemen dan Uang Rp 3 Miliar Demi Pertahankan Rumah Tua Miliknya!
KETIKA Kopassus Menyamar Sebagai Pengawal Presiden Filipina Untuk Melindungi dari Ancaman Kudeta
Krisdayanti Enggan Campuri Alasan Ashanty-Anang Tiba-tiba Jual Rumah, Siap Tampung Aurel & Azriel

Pendapat Asvi ini bersandar pada informasi yang disampaikan Aidit kepada Mao dua bulan sebelum G30S.
Dan juga mengenai pasokan senjata yang dipersiapkan untuk Angkatan Kelima tidak kunjung sampai ke Indonesia.
“Kalau Aidit hanya sekadar menyatakan akan melakukan suatu tindakan atau gerakan tentunya informasi itu adalah sangat umum. Coba kita bandingkan dengan apa yang disampaikan Kolonel Latief kepada Soeharto selang beberapa jam sebelum peristiwa itu terjadi,” kata Asvi.
Kendati demikian menurut Asvi, penelitian Taomo berhasil membuat rekonstruksi sejarah yang mengungkapkan beberapa hal yang baru mengenai dinamika hubungan Indonesia-Tiongkok.
Sementara itu menurut pakar politik internasional, Dewi Fortuna Anwar, meski tidak terlibat langsung mengorkestrasi G30S, bukan berarti Mao tidak mendukung upaya PKI untuk suatu saat merebut kekuasaan.
Apakah itu melalui jalan partai ataupun melalui jalan revolusioner.
Bahwa ada fakta senjata untuk Angkatan Kelima belum dikirim, tentunya itu bukan berarti senjata-senjata itu tidak dipesan.

“Secara teknis, Beijing memang tidak terlibat langsung (G30S), tapi bahwa Beijing sepenuhnya berada di belakang seandainya PKI menjalankan perebutan kekuasaan itu juga tidak bisa dipungkiri,” ujar Dewi.
Tidak hanya mengenai G30S, Taomo juga menyoroti berbagai aspek dari hubungan Indonesia-Tiongkok dalam kurun waktu 1945-67.
Mulai dari keterlibatan barisan pengawal “Pao An Tui” di masa revolusi, persaingan Beijing dan Taipei (Kuomintang) merebut pengaruh di Indonesia, pengusiran warga Tionghoa di era Sukarno lewat PP 10/1959, hingga pembekuan hubungan diplomatik pada masa awal kekuasaan Orde Baru.
“Buku ini sangat kaya dan betul-betul menambah wawasan kita,” pungkas Dewi.(*)
Terungkap Alasan Ibu Lies Tolak Apartemen dan Uang Rp 3 Miliar Demi Pertahankan Rumah Tua Miliknya!
KETIKA Kopassus Menyamar Sebagai Pengawal Presiden Filipina Untuk Melindungi dari Ancaman Kudeta
Krisdayanti Enggan Campuri Alasan Ashanty-Anang Tiba-tiba Jual Rumah, Siap Tampung Aurel & Azriel
FOLLOW INSTAGRAM TRIBUN JAMBI:
ARTIKEL TELAH TAYANG DI TRIBUNNEWSWIKI dan judul 5 Adegan