Bayi Hadijah Haura 14 Bulan Minum Kopi Tiap Hari, Akhirnya Wajah Jadi Seperti Ini
Bukan minum susu, bayi bernama Hadijah Haura ini diberi minum kopi karena orangtuanya tak mampu membeli susu kemasan.
TRIBUNJAMBI.COM, POLEWALI MANDAR - Kebiasaan bayi 14 bulan di Polewali Mandar ini sangat unik.
Bukan minum susu, bayi bernama Hadijah Haura ini diberi minum kopi karena orangtuanya tak mampu membeli susu kemasan.
Seorang bayi perempuan berusia 14 bulan di Kabupaten Polewali Mandar, Sulawesi Barat, menghabiskan 5 gelas atau setara 1,5 liter kopi setiap hari.
Kedua orangtuanya beralasan terpaksa menyuguhi kopi tubruk kepada anaknya lantaran tak mampu membeli susu.
FB LIVE KABUT ASAP DI TANJABTIM PARAH
Baca Juga
Dua Emak-emak Cantik Bertengkar saat Antre Berebut Makanan di Pernikahan, Perhiasan Mentereng
Dibully Karena Cara Berpakaiannya, Shandy Aulia: Pakaian Bukan Sekadar Budaya Tapi Urusan Pribadi
80 Persen Anggota Dewan di Tanjabbar Akan Menyekolahkan SK ke Bank
Daftar 19 Perguruan Tinggi Ikatan Dinas, Dengan Ribuan Kursi, Lulus Langsung Dapat Kerja
Terus Bertambah, Ribuan Mahasiswa Asal Papua Pulang Kampung, Ada Apa?
Meski mengonsumsi kopi, pertumbuhan fisik bayi itu seperti anak normal lainnya.
Bahkan Hadijah tergolong anak super aktif.
Meski usianya baru 14 bulan, Hadijah Haura sudah mahir berjalan sendiri, hingga aktif bermain bersama teman-teman sebayanya.
Anak pertama pasangan Sarifuddin dan Anita dari Desa Tonro Lima ini bahkan kerap membuat kedua orangtuanya tak bisa tidur lantaran bocah ini aktif bermain sendiri.
Adapun Anita mengaku kerap memberikan kopi karena ia tak mampu membeli susu.
Gaji Rp 20.000 sebagai buruh kupas kopra bersama suaminya, hanya cukup untuk memenuhi kebutuhan dapur kecil keluarganya.
"Ya mau diapalagi, pendapatannya tidak cukup untuk membeli susu. Terpaksa setiap hari hanya diberi dot berisi kopi. Bahkan ia tak bisa tidur kalau tidak minum kopi. Biasa merengek minta kopi sebelum tidur,” kata Anita saat ditemui wartawan di rumahnya, Sabtu (14/9/2019).
Menurut Anita, ia dan suaminya Sarifuddin hanya menggantungkan hidup dari upah bekerja sebagai pengupas kopra.
Saat musim panen, Sarifuddin kerap beralih pekerjaan menjadi buruh angkut padi di sawah karena upahnya lebih besar.
Namun usai panen, ia kembali menekuni pekerjaan sebagai buruh kupas kopra.