Misteri Penjara Kuno di 'Bawah' Bekas Hotel Novita Jambi, Banyak Warga Yang Tidak Tahu
Misteri penjara kuno di bawah bekas Hotel Novita Jambi seakan telah terkubur dalam.
Jutaan pohon karet yang disiapkan untuk menggantikan ribuan hektare kebun lada.
“Bibit itu dibagikan gratis pada masyarakat. Pokoknya yang mau nanam karet, kasih. Main kasih-kasih gitu bae,” kata penulis buku Jambi Dalam Sejarah itu.
Persaingan Portugis
Saat Jambi semakin berkembang, pada waktu yang sama, Portugis juga mengembangkan perkebunan karet di wilayah Malaka (sekarang Malaysia).
Di sana Portugis mampu memroduksi karet dengan skala besar.
Helfrich ingin menyaingi perkebunan karet di Malaka.
Baca: Begini Nasib Anak-anak Soeharto setelah Jokowi Menang Pilpres 2019, Rekam Jejak 2004 s/d Kini
Baca: Jumlah dan Sumber Kekayaan Tiga Anak Soeharto, Bandingkan Tommy, Bambang dan Mbak Tutut
Baca: Anak Soekarno dengan Pramugari Garuda Indonesia Dilahirkan di Jerman, Kisah Kartini Manoppo
Memang kala itu perdagangan komoditas karet mendapat respon positif dari perdagangan dunia.
Awal abad 20, Inggris pun ikut mendekat dan mencampuri bisnis karet di Malaka.
Singapura yang sebelumnya dikuasai Belanda, beralih tangan ke Inggris.
Dan Belanda diberi Bengkulu sebagai daerah jajahan baru.
Pada 1920-an, masa Residen C.Portman, perdagangan karet di dunia mencapai puncak keemasan.
Belanda menerapkan sistem "kupon" untuk pembelian karet dari masyarakat.
“Jadi orang ditanya Belanda, kamu punya berapa banyak pohon karet? berapa hektare? Misal dijawab saya punya seribu batang, itu dapat berapa kupon. Bayarnya pakai kupon, baru nanti kuponnya ditukar dengan uang,” tutur Junaidi.
Dolar Jambi
Inggris menjadikan Singapura sebagai sentra perdagangan karet dari Malaka dan Jambi.