Berita Bungo
Dideng, Seni Sastra Lisan dari Rantau Pandan, Kabupaten Bungo, yang Kian Punah
Dideng, Seni Sastra Lisan dari Rantau Pandan, Kabupaten Bungo, yang Kian Punah
Penulis: Mareza Sutan AJ | Editor: Deni Satria Budi
Dideng, Seni Sastra Lisan dari Rantau Pandan, Kabupaten Bungo, yang Kian Punah
TRIBUNJAMBI.COM, MUARA BUNGO - "Dideng ....Itu ngan segan berambut panjang, Kalau mandi rambut terurai, Itu ngan segan bekasih sayang, Belum jadi lah beceghai"
Bait-bait yang dilantunkan siang itu di panggung depan Kantor Camat Rantau Pandan, Selasa (18/6/2019).
Adalah Dideng, sebuah seni sastra lisan yang hanya terdapat di Dusun Rantau Pandan, Kecamatan Rantau Pandan, Kabupaten Bungo.
Baca: Pengadilan Negeri Muara Bungo Gelar Pisah Sambut Ketua, Ini Ketua Barunya
Baca: Lakukan Penilaian, Kementrian PPPA Turun ke Dusun Rantau Pandan, Ini yang Dilakukan Tim Penilai
Baca: Kontroversial, Diktator Uganda Idi Amin, Bugil Dikejar-kejar Ketahuan Tiduri Istri Tentara
Seni tutur itu akhirnya direvitalisasi oleh Badan Pengembangan Bahasa dan Perbukuan, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia.
Di atas panggung itu, mereka disaksikan langsung oleh Kepala Bidang Pelindungan, Pusat Pengembangan dan Pelindungan Badan Bahasa, Ganjar Harimansyah.
Selain itu, mereka juga disaksikan oleh Bupati Bungo, Mashuri beserta jajarannya.
Dideng sendiri dapat diartikan berkabar.
Baca: Mengharukan, Karena Miskin Ayah Ini Bikin Sendiri Tas Sekolah Anaknya, Hasilnya Jadi Viral
Baca: Berani Selidiki Kasus Perkosaan, Kapolri Jujur Dicopot Soeharto, Saat Pensiun Para Kapolda Iba
Baca: Download Lagu MP3 Nella Kharisma dan Via Vallen, Kumpulan Lagu Dangdut Populer dan Tersimpan di HP
Seni sastra lisan Dideng itu ditampilkan dua kali. Pertama, diisi oleh sembilan orang anak. Mereka melantunkan bait-bait Dideng diiringi alunan biola nan merdu.
Suara mereka melengking, membuat ribuan masyarakat yang berkumpul di sana terfokus memandang mereka. Nada tinggi itu terdengar nyaring nian.
Ternyata, sedikitnya ada empat tujuan kenapa seni Dideng ini direvitalisasi. Melestarikan tradisi Dideng, mewariskan tradisi Dideng kepada generasi muda, memperkenalkan tradisi Dideng kepada generasi muda dan khalayak umum, dan membangkitkan kembali tradisi Dideng yang langka ke hadapan umum.

Hal itu dikarenakan Dideng sarat akan pesan moral dan nasihat yang terkandung di dalamnya.
Maka dari itulah, tiga orang tim revitalisasi, Suwanti, Juhriah, dan Sabdanur datang ke dusun itu.
Belum cukup menyaksikan anak-anak melantunkan Dideng, giliran remaja dan orang tua di dusun itu yang kemudian tampil memperdengarkan Dideng di hadapan penonton.
Kali ini delapan orang pelantun, seorang pemain biola, dan seorang pewara yang tampil. Tidak lupa, sang mestro pun menunjukkan penampilan terbaiknya.
Baca: Seniman Se-Sumatera Kumpul di Jambi Gelar Panggung Tradisi Lisan Teater
Baca: Hore, Ada 90 PTN yang Digratiskan untuk Mahasiswa Asal Jakarta
Baca: Kisah Epy Kusnandar Premen Pensiun Sembuh Kanker Otak Cara Alternatif, Kini Diidap Hercules
Adalah Nenek Jariah, perempuan berusia 87 tahun yang masih setia merawat kelestarian Dideng.
Dialah yang mendapat gelar maestro Dideng dari Kemendikbud pada 2014 lalu. Nenek Jariah mempelajari langsung Dideng itu dari orang-orang tuanya.
Dialah yang paling berperan melestarikan seni Dideng itu, di Dusun Rantau Pandan. Nenek Jariah mulai kembali mengajarkan seni tutur Dideng pada kawula muda.
Dengan suaranya yang agak parau, Nenek Jariah coba mencapai nada yang tinggi. Diiringi alunan biola, suara Nenek Jariah masih sampai untuk melengkingkan Dideng.
Penampilan itu juga diselingi pewara. Gadis, pewara dalam penampilan itu menceritakan sinopsis singkat menjelang Nenek Jariah melengkingkan suaranya.
Dideng menceritakan tentang Puti Dayang Ayu. Konon, ada dua kakak beradik hidup berdua sejak orang tuanya meninggal. Seiring waktu, mereka berpisah.
Baca: Masih Keponakan Mahfud MD, Pencipta Robot Pemantau Sistem IT KPU Bersaksi untuk Prabowo-Sandi di MK
Baca: Misteri Gelar Profesor Limbad, Nama Perguruan Tinggi Tak Bisa Ditemukan
Baca: Fakta Lengkap Jelang Persebaya Vs Madura United: Deretan Pemain Absen dan Pencetak Hattrick Pertama
Namun sebelum berpisah, keduanya sepakat akan menjodohkan anak nanti. Kakak menikah dengan keturunan raja dan memiliki anak tampan bernama Dang Bujang, dan adik menikah dengan rakyat biasa dan memiliki anak bernama Puti Dayang Ayu.
Dang Bujang dan Puti Dayang Ayu menikah kemudian, dan dikaruniai seorang anak laki-laki. Namun, Puti Dayang Ayu jatuh sakit dan kemudian meninggal.
Dia menjelma menjadi elang. Maka, jika ada elang berbunyi siang hari, konin itu jelmaan Puti Dayang Ayu. Berdasarkan informasi yang Tribunjambi.com peroleh, tradisi Dideng telah ada sejak ratusan tahun lalu.
Baca: Pengakuan Mengejutkan, Saksi Tim Prabowo-Sandi Pernah Mendapat Ancaman Akan Dibunuh
Baca: Buka 2.381 Lowongan Kerja Jambi di Expo dan Job Fair, Segera ke Pelataran Parkir Transmart Jambi
Baca: Pengakuan Mengejutkan Ade Rai Soal Agung Hercules Idap Kanker Otak Stadium 4, Masih Lakukan Hal Ini
Alunan Dideng biasanya dilantunkan orang-orang tua untuk menemani anak-anak menganyam pandan, bercerita, hingga bermain. Selain itu, Dideng juga sebagai sarana menyampaikan pesan-pesan moral dan nasihat pad anak-anak mereka.
Sebagai seni sastra lisan, kidung yang terkandung dalam Dideng memuat pikiran, perasaan, perilaku masyarakat Melayu Jambi yang diwariskan dari satu generasi ke generasi hingga saat ini.
Kini, seni sastra lisan Dideng hampir punah, dan Nenek Jariah masih memperjuangkan kelestarian seni itu di usianya yang kian renta.
Dideng, Seni Sastra Lisan dari Rantau Pandan, Kabupataen Bungo, yang Kian Punah (Mareza Sutan A J/ Tribun Jambi)