Demokrat & PAN Berpotensi Keluar dari Koalisi Prabowo-Sandiaga, Apa Sebabnya? Jatah Menteri?
"Memang bagi PAN dan Demokrat, mereka ada potensi juga untuk keluar dari koalisi karena beberapa alasan," ujar Arya
Demokrat & PAN Berpotensi Keluar dari Koalisi Prabowo-Sandiaga, Apa Sebabnya? Jatah Menteri?
TRIBUNJAMBI.COM - Dua partai politik dinilai paling berpotensi untuk keluar dari Koalisi Indonesia Adil dan Makmur atau Koalisi Prabowo-Sandiaga.
Pengamat politik dari Center of Strategic and International Studies (CSIS) Arya Fernandes mengatakan dua partai tersebut adalah Partai Demokrat dan Partai Amanat Nasional ( PAN).
"Memang bagi PAN dan Demokrat, mereka ada potensi juga untuk keluar dari koalisi karena beberapa alasan," ujar Arya kepada Kompas.com, Minggu (12/5/2019).
Baca: Daftar Calon Menteri Muda Cantik yang Kemungkinan Masuk Kabinet Jokowi, 12 Tokoh Hasil Survei
Baca: Sosok Rudy Djamil, Komedian yang Tutup Usia Kemarin, Serba Bisa Sampai Jadi Direktur Juga
Baca: 7 Etika saat Membayar Zakat, Merahasiakan hingga Tidak Merusak
Hal ini disampaikan Arya setelah melihat indikasi-indikasi retaknya koalisi pengusung pasangan calon presiden dan wakil presiden nomor urut 02 Prabowo Subianto-Sandiaga Uno.
Misalnya Partai Demokrat yang saat ini dianggap tidak setia dengan koalisi.
Wakil Ketua Umum Partai Gerindra Arief Poyuono mempersilakan Partai Demokrat untuk keluar dari koalisi itu.
Sebab sejak awal, Demokrat dinilai tidak punya sikap politik yang jelas.
"Demokrat sebaiknya keluar saja dari koalisi Adil Makmur. Jangan elite-nya dan Ketum kayak serangga undur-undur ya, mau mundur dari koalisi saja pakai mencla mencle segala," ujar Arief.
Arief juga mengatakan bahwa Demokrat tidak memberikan pengaruh terhadap hasil penghitungan Prabowo-Sandiaga.
Bukan hanya Partai Demokrat, PAN juga sempat diisukan akan keluar dari koalisi beberapa waktu sebelumnya.
Isunya bermula dari pertemuan Ketua MPR sekaligus Ketua Umum PAN Zulkifli Hasan dengan Presiden Jokowi.
Sekretaris Jenderal PAN Eddy Soeparno sebenarnya sudah menegaskan bahwa partainya setia pada koalisi ini.
PAN sudah memiliki kontrak politik dengan Prabowo-Sandiaga bahwa akan mendukung pasangan itu sampai tahapan pemilu selesai.
Arah koalisi PAN pun baru bisa ditentukan setelah penetapan hasil Pemilu 2019.
Bisa bertahan bersama-sama barisan partai politik pendukung Prabowo-Sandiaga.
Namun, bisa juga berubah haluan mendukung Jokowi-Ma’ruf Amin.
"Jadi, hasilnya dulu, setelah itu sikapnya bagaimana, itu nanti. Kita tentukan langkah yang selanjutnya," ujar Eddy.
Kenapa berpotensi keluar?
Arya Fernandes mengatakan hal ini karena Partai Demokrat dan PAN dinilai paling tidak mendapatkan keuntungan dari koalisi itu.
Dari segi penghasilan suara, Partai Demokrat dan PAN mengalami penurunan dibandingkan partai koalisi lain seperti Partai Keadilan Sejahtera dan Partai Gerindra.
"Jadi kedua partai itu tidak mendapat insentif atau keuntungan dari koalisi itu," ujar Arya.
Selain itu, partai Koalisi Indonesia Adil dan Makmur ini juga tidak mendapatkan dukungan dari publik.
Maksudnya, partai ini pada akhirnya tidak berhasil mencapai kekuatan minimal 50 persen suara di parlemen.
Akhirnya, menjadi partai oposisi pun juga tidak terlalu kuat posisinya.
Sebab partai pendukung pemerintah punya kursi yang lebih banyak.
"Jadi enggak ada tarikannya untuk menjadi oposisi," kata dia.
Di samping itu, menjadi oposisi juga sebenarnya membawa kerugian bagi Demokrat dan PAN.
Sudah tidak mendapat keuntungan dari koalisi, mereka bisa-bisa juga tidak mendapatkan akses sumber pendanaan politik.
Padahal pada 2024 nanti akan digelar Pilkada serentak.
"Akses finansial menjadi penting. Kalau partai berada di luar, mereka kan enggak mendapat itu," kata Arya.
Baca: Gejala dan Cara Pencegahan Virus Cacar Monyet yang Sedang Mewabah di Singapura
Baca: Ingat Polisi Ganteng Saat Buru Teroris Bom di Sarinah,Tak Kalah dengan Polisi Nyentrik Aiptu Zakaria
Pengikat yang kurang kuat
Jika kembali pada 2014, kata Arya, PAN memiliki sejarah mengubah dukungannya dari Prabowo-Hatta ke Jokowi-Jusuf Kalla.
Perpindahan arah dukungan bisa terjadi meskipun Hatta Rajasa yang dulu merupakan cawapres Prabowo adalah kader PAN.
Hal itu tidak menjadi penghalang bagi PAN untuk melepaskan diri dari Koalisi Merah Putih pada waktu itu.
Oleh karena itu, Arya tidak melihat ada alasan khusus yang membuat PAN bersedia tetap dalam koalisi pendukung Prabowo-Sandiaga saat ini.
"Sekarang kan mereka relatif enggak ada beban. Sandi bukan kader mereka, Prabowo bukan kader mereka, suara mereka juga turun," ujar Arya.
Pada akhirnya, tidak ada pengikat yang kuat bagi PAN agar bisa terus bersama-sama Prabowo-Sandiaga.
Lalu bagaimana dengan Partai Demokrat?
Arya mengatakan Demokrat sudah sejak awal menunjukan perbedaannya dalam koalisi ini.
Misalnya terkait sikap Partai Demokrat yang membebaskan kadernya untuk mendukung paslon lain dalam Pilpres 2019.
Padahal sebagai bagian dari koalisi, Partai Demokrat harus menjamin seluruh kadernya mengikuti sikap partai.
Belum lagi soal drama sebelum penetapan Sandiaga Uno sebagai calon wakil presiden.
Ketika itu, Andi Arief yang merupakan wakil ketua umum Partai Demokrat mengungkapkan adanya mahar politik dalam penunjukan Sandiaga Uno.
Dengan berbagai kondisi ini, Arya mengatakan cukup beralasan jika memprediksi Demokrat dan PAN akan keluar dari Koalisi Indonesia Adil dan Makmur.
Dia sendiri memperkirakan hal itu akan terjadi setelah penghitungan resmi Komisi Pemilihan Umum (KPU) diumumkan.
Sebab saat itulah kontrak politik mereka dengan Prabowo-Sandi berakhir.
"Jadi saya kira setelah 22 Mei lah karena kan partai-partai butuh komunikasi juga dengan capres terpilih. Mungkin setelah lebaran lah," kata Arya.
Para Menteri
Beberapa nama yang masuk dalam daftar kabinet tersebut adalah para tokoh yang turut mendukung dan memenangkan Jokowi-Amien.
Antara lain Erick Thohir, Mahfud MD, Yenny Wahid, Yusril Ihza Mahendra, Rosan Roeslani, Abdul Kadir Karding dan sebagainya.
Sebagian besar nama yang beredar viral tersebut tak lain masih wajah lama yakni menteri era Jokowi-Jusuf Kalla.
Tribunnews.com berusaha mengonfirmasi beberapa nama yang muncul dalam daftar viral kabinet Jokowi-Maruf Amin tersebut, khususnya ke para menteri yang kini masih menjabat.
Budi Karya Sumadi
Menteri Perhubungan (Menhub) Budi Karya Sumadi menanggapi soal kemungkinan dirinya terpilih kembali menjadi menteri dalam jajaran kabinet Joko Widodo.
Saat dilontarkan pertanyaan tersebut, Budi sontak tertawa sambil berjalan menuju lift.
Dia mengaku tak ingin berkomentar terkait perandaian itu, dan hanya menyerahkannnya ke sang kuasa.
"Saya no comment. Itu jalan Allah sajalah," kata Budi saat ditemui di Hotel JS Luwangsa, Jakarta, Jumat (26/4/2019).
Mantan Direktur Utama Angkasa Pura II itu pun tidak menjawab ketika ditanya bersedia atau tidak untuk mengemban jabatan menteri kembali.
"Pokoknya jalan Allah saja," ucapnya lagi.
Selain itu, Budi Karya mengaku belum mendapat permintaan agar jadi menteri lagi dari Jokowi.
"Belum, belum (dapat informasi dari presiden). Sudah ya terima kasih," ujar dia sambil tersenyum.
Yasonna Laoly
Menkumham Yasonna Laoly, menanggapi ringan pertanyaan wartawan soal kemungkinan ditawari lagi untuk menjadi menteri jika Joko Widodo (Jokowi) terpilih kembali menjadi presiden.
Yasonna hanya tertawa saat ditanyakan kemungkinan tersebut oleh awak media. Politikus PDI Perjuangan ini hanya menyebut singkat bahwa keputusan itu masih belum terjadi.
"Itu nanti," tutur Yasonna di di Lapas Narkotika Klas IIA Cipinang, Jakarta Timur, Sabtu (27/4/2019).
Yasonna langsung masuk ke dalam mobil dinasnya tanpa memberikan keterangan lanjutan kepada awak media.
Nila Moeloek
Nila Moeleok yang kini bertugas menjadi Menteri Kesehatan mengaku sangat senang dengan profesi yang sedang dijalankannya ini.
“Untuk pekerjaannya saya senang, bagus sekali sebagai menteri ya,” ungkap Nila Moeleok saat ditemui di Rumah Berdaya, Bali, Rabu (25/4/2019).
Lalu apakah Nila Moeleok akan menerima jikalau nanti Jokowi kembali memimpin Indonesia dan memintanya menjadi kesehatan lagi?
Dari jawaban Nila Moeloek tersirat kalau ia tidak ingin lagi menjadi Menteri Kesehatan di periode berikutnya.
“(Hahaha) gantian kali ya. Mungkin ada orang yang lebih baik lagi kan bisa (haha),” ungkap Nila Moeleok saat ditemui di Rumah Berdaya Bali, Rabu (25/4/2019) lalu.
Jika tidak menjadi menteri Nila Moeleok berencana kembali mengajar kembali, mengingat ia juga berprofesi sebagai dosen.
“Saya kan dosen yaa barangkali bisa kembali ke dosen ya,” ujar Nila Moeleok.
Keinginannya kembali mengajar sesuai dengan prinsip hidupnya yang ingin terus membantu orang banyak, yang juga banyak teralisasikan saat ia menjadi Menteri Kesehatan.
“Membantu orang dalam jumlah banyak prinsip hidup saya, artinya mari kita selalu memberi dalam hal sekecil apapun, sekarang kita bisa membeli lebih besar artinya seperti ini kan bagus sekali,” tutur Nila Moeleok.
Melihat masyarakat yang sembuh sehingga memiliki kehidupan yang lebih baik pun menjadi kepuasaan bagi Nila Moeleok saat menjalani tugasnya jadi Menteri Kesehatan.
“Kalau ini bisa bergulir kita bisa lebih menolong orang-orang, yang terbuangkan mereka bisa sembuh, bisa berdaya, bisa berhasil dan sebagainya,” pungkas Nila Moeleok.
Susi Pujiastuti
Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pujiastuti hadir menjadi narasumber talkshow bertema: Perempuan Bisa Apa Dalam Mencegah Korupsi, Kekuatan Perubahan Inspirasi Perubahan.
Acara yang digelar Jumat (26/4/2019) di Gedung Lama KPK, Kav C1, Kuningan, Jakarta Selatan ini digelar dalam rangka perayaan HUT ke-5 gerakan Saya Perempuan Antikorupsi (SPAK) Sekaligus perayaan Hari Kartini.
Di kesempatan tersebut, Menteri Susi mengungkapkan akan sangat baik jika dunia memberikan kesempatan pada perempuan.
Dia meyakini, di tangan kaum perempuan, dunia bakal menjadi lebih baik.
"Data dari Bank Dunia, survei di 150 negara, didapatkan wanita lebih bisa dipercaya dari pada laki-laki. Ini karena wanita kerjanya itu lebih baik dan peduli. Keadaan ini tidak menutup adanya pelaku korupsi wanita, tapi kan presentasinya kecil," ungkap Menteri Susi.
Menteri Susi juga bicara soal kontribusi perempuan di Parlemen yang masih sangat minim.
Di beberapa negara seperti Jerman, angka representasi perempuan di Parlemen Jerman jauh lebih tinggi dari pada di Indonesia.
Dia meyakini Indonesia sebenarnya memiliki potensi yang sama untuk mewujudkan kontribusi perempuan di parlemen.
Seperti diketahui, UU No 2 tahun 2008 memuat kebijakan yang mengharuskan partai politik menyertakan keterwakilan perempuan minimal 30 persen dalam pendirian maupun dalam kepengurusan di tingkat pusat.
"Melihat beberapa penelitian, mestinya pemerintah buat Undang-Undang yang lebih memberikan posisi pada perempuan. Tidak tertutup ada oknum perempuan jadi pelaku korupsi tapi ratenya jauh," kata Menteri Susi.
"Di Parlemen 30 persen wanita mungkin harus ditambah karena Parlemen itu penting. Pak Jokowi kalau perlu tambah, kan menteri perempuannya dulu 9, lalu jadi 8. Kalau perlu jadi 15, ditambah lagi," pinta Menteri Susi yang disambut tepuk tangan oleh narasumber lain dan peserta talkshow.
"Prosentase wanita di Polandia, menteri perempuan itu lebih dari 40 persen dan saya lihat itu lebih baik. Saya pun jadi Menteri Kelautan dan Perikanan, saya mudah kerja sama dengan jenderal-jenderal seperti Panglima TNI dan Kapolri," tambah Menteri Susi.
Yenny Wahid
Sebelumnya, Ketua Hubungan Luar Negeri PP Muslimat NU Yenny Wahid yang juga jadi narasumber mengatakan seorang perempuan terlebih ibu punya hak luar biasa untuk menularkan nilai-nilai kebaikan pada anak.'
Terlebih lagi dalam banyak penelitian, diungkap Yenny, ada korelasi langsung antara keterlibatan perempuan dengan tingkat korupsi rendah.
"Perempuan punya kemampuan lebih untuk memerangi korupsi. Perempuan harus aktif jadi agen perubahan. Ini terlibat betul efek luar biasa dari perempuan," tambah Yenny Wahid.
Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul "Partai Demokrat dan PAN Berpotensi Keluar dari Koalisi Prabowo-Sandiaga ", dan di Tribunnews dengan judul "Nama-nama Calon Menteri Jokowi-Ma'ruf Amin Beredar, Ini Jawaban Para Menteri"