Sejarah Indonesia
Ramalan Gus Dur ke Soeharto Terbukti, Ucapannya Setahun Sebelum Pak Harto Lengser Bikin Kyai Heran
Gus Dur dikenal sebagai sosok yang memiliki banyak kemampuan khusus, yang mungkin tidak dimiliki oleh orang lain.
Ramalan Gus Dur ke Soeharto Terbukti, Ucapannya Setahun Sebelum Pak Harto Lengser Bikin Kyai Heran
TRIBUNJAMBI.COM - Nama Soeharto Presiden kedua RI merupakan sosok kunci orde baru. Selama 32 tahun Soeharto berkuasa, menjadikannya Presiden paling lama di Indonesia.
Lengsernya Soeharto dari jabatan Presiden menjadi era baru tumbangnya orde baru.
Tanda-tanda lengsernya Soeharto sebelumnya pernah disampaikan oleh KH Abdurrahman Wahid
Ya, nama Gus Dur tidak sekadar mengingatkan orang pada sosok Presiden keempat Republik Indonesia.
Ada banyak interpretasi orang saat mendengar pria bernama lengkap Abdurrahman Wahid tersebut.
Gus Dur dikenal sebagai sosok yang memiliki banyak kemampuan khusus, yang mungkin tidak dimiliki oleh orang lain.

Melalui goresan tangannya, Mahfud membahas tentang masalah gaib yang terjadi di seputar Gus Dur.
"Jangan lupa, banyak warga Nahdhiyin (para pengikut NU) sekarang ini yang masih menganggap Gus Dur itu mempunyai kemampuan gaib, bahkan Wali," tulis Mahfud dalam bukunya.
Menurut Mahfud, anggapan banyak orang itu dikaitkan dengan kemampuan Gus Dur yang luar biasa dalam memahami dan menganalisis berbagai masalah.
Baca: MAHFUD MD Bongkar Keberanian Gus Dur Berantas Koruptor, Gus Dur: Koruptor Biar Saya yang Hadapi
Baca: PASPAMPRES Panik Dikabari Pesawat akan Dihadang Massa, Gus Dur Santai Malah Beri Jawaban Seperti Ini
Belum lagi sepak terjangnya yang dianggap aneh dan nyeleneh, mirip kisah kaum sufi yang saleh, lucu dan menggemaskan seperti Abu Nawas.
Selain Mahfud MD beberapa tokoh seperti mantan Kapolri Sutarman, Menko Bidang Kemaritiman Luhut Binsar Pandjaitan, KH Said Aqil Siradj dan beberapa tokoh lainnya pernah memberikan kesaksian mengenai sosok Gus Dur.
Prediksi Gus Dur yang disampaikan pada beberapa tokoh ini terbukti benar-benar terjadi.
Para tokoh ini kemudian bercerita dan terekam video dalam berbagai acara.
Satu diantara ramalan Gus Dur yang tepat yakni lengsernya Soeharto.
Rekaman video testimoni KH Bukhori Masruri saat Haul Gus Dur keempat.
"11 bulan sebelum Soeharto jatuh, Saya Gus Dur, Mustofa Zuhad, Thoha pengurus NU Jogja."
"Di kamar diajak bicara berbagai hal masalah tapi tiba-tiba Gus Dur bilang dalam Bahasa Jawa."
"Wis rasah ngrembuk kuwi, Pak Harto sedelo meneh jatuh (Sudah tak usah bicara itu, sebentar lagi pak Harto jatuh)."
"Kulo gumun Pak Harto iso jatuh pie (Saya heran bagaimana mungkin Pak Harto bisa jatuh) padahal saat itu Pak Harto diangkat menjadi Jenderal bintang lima artinya didukung oleh kekuatan bersenjata, didukung oleh kekuatan politik, didukung oleh kekuatan ekonomi dan didukung oleh opini publik."

Demikian disampaikan oleh KH Bukhori pada rekaman video tersebut.
Saat itu Soeharto tak mungkin bisa lengser, tapi kenyataannya bisa.
Dan benar saja pada tanggal 21 Mei 1998 Soeharto mengundurkan diri dari jabatannya sebagai Presiden.
Gerakan reformasi yang dimotori oleh mahasiswa akhirnya berhasil melengserkan Soeharto.
Soeharto akhirnya meletakkan jabatannya.
Ia kemudian digantikan oleh BJ Habibie yang sebelumnya menjabat sebagai Wakil Presiden.
Kegalauan Jelang Soeharto Lengser
Momentum gerakan reformasi yang terjadi pada 20 tahun ditandai dengan mundurnya Soeharto dari jabatan presiden RI.
Soeharto jatuh pada 21 Mei 1998, setelah mendapat desakan massa, terutama mahasiswa yang menginginkan pergantian kepemimpinan nasional.
Dalam pidato pengunduran dirinya, Soeharto mengakui bahwa dia menyerahkan kekuasaannya kepada Wakil Presiden Bacharuddin Jusuf Habibie berdasarkan "aspirasi rakyat untuk mengadakan reformasi di segala bidang kehidupan berbangsa dan bernegara."
Kondisi saat itu memang tidak menguntungkan Soeharto.
Tuntutan reformasi masyarakat yang diwakili melalui aksi mahasiswa, mencapai puncaknya saat mahasiswa menguasai gedung DPR/MPR pada 18 Mei 1998.
Baca: Tertawa Lega, Andre taulany Akhirnya Minta Maaf Pada Ustaz Adi Hidayat (UAH): Ini Berkah dari Allah
Baca: Mahfud MD Tanggapi soal Setan Gundul, Sempat Singgung Masalah Temuan C1 Palsu: Jaman Sudah Canggih
Baca: Kabar Gembira! Ada Pembukaan CPNS Oktober 2019 Mendatang, Siapkan 4 Dokumen Ini Sekarang!
Baca: Minarni Soedajanto, Legenda Bulu Tangkis Indonesia Pertama Tembus All England dan Raih Piala Uber
Baca: Andre Rosiade Sindir Sosok Banci Tampil, Yunarto Pastikan Pecahnya Koalisi Dilihat Setelah 22 Mei
Setelah mahasiswa menguasai DPR/MPR, pimpinan DPR/MPR yang diketuai Harmoko kemudian meminta Soeharto untuk mundur.
Ini tentu saja sebuah ironi, mengingat Harmoko yang merupakan Ketua Umum Golkar adalah orang yang bertanggung jawab dalam pencalonan kembali Soeharto.

Setelah menang Pemilu 1997, Golkar juga yang menjadi pelopor dalam mengusung Soeharto sebagai presiden untuk ketujuh kalinya dalam masa bakti 1998-2003.
Puncak kegalauan Jenderal yang Tersenyum itu terjadi pada Rabu malam, 20 Mei 1998.
Ada apa pada 20 Mei 1998?
Untuk menjawab pertanyaan ini, maka ada baiknya kita menelusuri kembali aktivitas Soeharto sejak pernyataan Harmoko itu diucapkan.
Penelusuran ini berdasarkan dokumentasi Kompas terbitan 27 Mei 1998.
Pernyataan Harmoko pada 18 Mei 1998 itu tentu saja mendapat penentangan sejumlah pihak.
Menteri Pertahanan Keamanan yang juga Panglima ABRI Wiranto misalnya, yang menganggap pernyataan Harmoko bersama Ismail Hasan Metareum, Syarwan Hamid, Abdul Gafur, dan Fatimah Achmad itu sebagai sikap individu dan bukan lembaga.
Pada 18 Mei 1998 malam, sekitar pukul 21.30 dia menerima laporan perkembangan dari empat Menteri Koordinator.
Saat itu, ada wacana agar Kabinet Pembangunan VII dibubarkan dan tidak sekadar dirombak.
Ini diperlukan agar orang yang terpilih tidak malu.
Namun, belum sempat wacana itu muncul, Soeharto mengatakan, "Urusan kabinet adalah urusan saya."
Para menko itu heran karena Soeharto sudah tahu, hingga tidak ada yang berani membicarakan wacana itu.
Kemudian esok harinya, 19 Mei 1998, Soeharto bertemu ulama dan tokoh masyarakat di kediamannya, Jalan Cendana, Jakarta Pusat.
Usai pertemuan yang juga dihadiri tokoh seperti Abdurrahman Wahid dan Nurcholish Madjid itu, Soeharto menyatakan bahwa dia akan melakukan reshuffle kabinet dan membentuk Komite Reformasi.
Menurut Nurcholish, ide itu murni datang dari Soeharto.
Tidak ada tokoh yang menyampaikannya kepada Bapak Pembangunan tersebut.
Tokoh seperti Nurcholis dan Gus Dur pun menolak terlibat dalam Komite Reformasi.
Amien Rais misalnya, yang mempermasalahkan kapan pemilu itu akan dilaksanakan.
Menurut Amien, hal terpenting saat itu adalah mundurnya Soeharto.
Sehingga usulan Komite Reformasi dianggap hanya cara Soeharto mengulur waktu.
Sore harinya, Soeharto mendapat laporan bahwa sejumlah ekonom senior seperti Emil Salim dan Frans Seda bereaksi negatif atas usulan Komite Reformasi itu.
Penolakan ini yang membuat Soeharto semakin resah dan galau.
Puncak kebimbangan Soeharto Kegalauan Soeharto semakin bertambah pada 20 Mei 1998.
Saat itu, 14 menteri bidang ekonomi, keuangan dan industri di bawah koordinasi Menko Ekuin Ginandjar Kartasasmita menolak masuk ke dalam kabinet baru hasil reshuffle atau Komite Reformasi.
Tidak hanya itu, ke-14 menteri itu juga membuat pernyataan sikap melalui tulisan yang ditandatangani di Gedung Bappenas.
Dalam pernyataan tertulis itu, mereka bahkan secara implisit meminta Soeharto untuk mundur.
Adapun, 14 menteri yang menandatangani, sebut saja Deklarasi Bappenas itu, secara berurutan adalah Akbar Tandjung, AM Hendropriyono, Ginandjar Kartasasmita, Giri Suseno Hadihardjono, Haryanto Dhanutirto, Justika S Baharsjah. Kemudian, Kuntoro Mangkusubroto, Rachmadi Bambang Sumadhijo, Rahardi Ramelan, Subiakto Tjakrawerdaya, Sanyoto Sastrowardoyo, Sumahadi MBA, Theo L Sambuaga, dan Tanri Abeng.
Sontak, pernyataan itu membuat Soeharto merasa terpukul.

Dia merasa ide Komite Reformasi akan gagal.
Soeharto tidak punya pilihan selain mundur.
Soeharto kemudian memanggil Wapres BJ Habibie, untuk menginformasikan kemungkinan tersebut.
Habibie diminta siap jika kekuasaan kepresidenan diserahkan Soeharto kepadanya.
Probosutedjo, adik Soeharto, yang berada di kediaman Jalan Cendana, malam itu, mengungkapkan, Soeharto pada malam itu terlihat gugup dan bimbang.
"Pak Harto gugup dan bimbang, apakah Habibie siap dan bisa menerima penyerahan itu.
Suasana bimbang ini baru sirna setelah Habibie menyatakan diri siap menerima jabatan Presiden," ujarnya.
Soeharto berbulat hati menyerahkan kekuasaan kepada Habibie. Konsultasi mengenai prosesi pergantian kepemimpinan pun dilakukan.
Kemudian, sekitar pukul 23.20 WIB Yusril bertemu Amien Rais.

Dalam pertemuan itu, Yusril menyampaikan rencana Soeharto untuk mundur pada 21 Mei 1998, sekitar pukul 09.00 WIB.
Dalam bahasa Amien, kata-kata yang disampaikan oleh Yusril itu, "The old man most probably has resigned" (Orang tua itu kemungkinan besar mundur).
Pada Kamis dini hari itu, pukul 01.30 WIB, Amien Rais menggelar jumpa pers.
Saat itu, Ketua Umum PP Muhammadiyah itu menyampaikan informasi yang disampaikan Yusril.
"Selamat tinggal pemerintahan lama, dan selamat datang pemerintahan baru," ucap Amien. (Kompas)
