Kegalauan Soeharto Jelang Lengser Mei 1998, 'Penghianat' yang Ditolak Pak Harto Sampai Mati
Soeharto jatuh pada 21 Mei 1998, setelah mendapat desakan massa, terutama mahasiswa yang menginginkan pergantian kepemimpinan nasional.
Puncak kebimbangan Soeharto Kegalauan Soeharto semakin bertambah pada 20 Mei 1998.
Saat itu, 14 menteri bidang ekonomi, keuangan dan industri di bawah koordinasi Menko Ekuin Ginandjar Kartasasmita menolak masuk ke dalam kabinet baru hasil reshuffle atau Komite Reformasi.
Tidak hanya itu, ke-14 menteri itu juga membuat pernyataan sikap melalui tulisan yang ditandatangani di Gedung Bappenas.
Dalam pernyataan tertulis itu, mereka bahkan secara implisit meminta Soeharto untuk mundur.
Adapun, 14 menteri yang menandatangani, sebut saja Deklarasi Bappenas itu, secara berurutan adalah Akbar Tandjung, AM Hendropriyono, Ginandjar Kartasasmita, Giri Suseno Hadihardjono, Haryanto Dhanutirto, Justika S Baharsjah. Kemudian, Kuntoro Mangkusubroto, Rachmadi Bambang Sumadhijo, Rahardi Ramelan, Subiakto Tjakrawerdaya, Sanyoto Sastrowardoyo, Sumahadi MBA, Theo L Sambuaga, dan Tanri Abeng.
Sontak, pernyataan itu membuat Soeharto merasa terpukul.

Dia merasa ide Komite Reformasi akan gagal.
Soeharto tidak punya pilihan selain mundur.
Soeharto kemudian memanggil Wapres BJ Habibie, untuk menginformasikan kemungkinan tersebut.
Habibie diminta siap jika kekuasaan kepresidenan diserahkan Soeharto kepadanya.
Probosutedjo, adik Soeharto, yang berada di kediaman Jalan Cendana, malam itu, mengungkapkan, Soeharto pada malam itu terlihat gugup dan bimbang.
"Pak Harto gugup dan bimbang, apakah Habibie siap dan bisa menerima penyerahan itu.
Suasana bimbang ini baru sirna setelah Habibie menyatakan diri siap menerima jabatan Presiden," ujarnya.
Soeharto berbulat hati menyerahkan kekuasaan kepada Habibie. Konsultasi mengenai prosesi pergantian kepemimpinan pun dilakukan.
Kemudian, sekitar pukul 23.20 WIB Yusril bertemu Amien Rais.
