Sejarah Indonesia
Diberi Supersemar, Soeharto Malah Usir Soekarno dan Minta BK Lengser, Ratna Sari Dewi Sampai Kaget!
Tak pelak si Bung Besar Soekarno ikut terbawa-bawa namanya atas ulah PKI yang secara tak langsung bakal merobohkan kepemimpinannya
Diberi Supersemar, Soeharto Malah Minta Soekarno Lengser dan Usir ke Luar Negeri, Ratna Sari Dewi Kaget!
TRIBUNJAMBI.COM - Soekarno merupakan sosok yang disegani di penjuru dunia ketika dirinya masih menjabat.
Namun di akhir masa jabatannya nasib tragis dialami oleh "Putra Sang Fajar" Ia harus kehilangan jabatan dengan cara "menyakitkan".
Soekarno bahkan dikabarkan diusir oleh Soeharto penggantinya dari istana negara.
Peristiwa G30S/PKI 1965 benar-benar mengoyak kestabilan politik dan keamanan negara Indonesia.
Tak pelak si Bung Besar Soekarno ikut terbawa-bawa namanya atas ulah PKI yang secara tak langsung bakal merobohkan kepemimpinannya.
Untuk menertibkan keamanan maka turunlah Surat Perintah 11 Maret (Supersemar) 1966 yang kontroversial tersebut.
Baca: Najwa Shihab Pertanyakan Ijtima Ulama III, Kok Rasa BPN Prabowo-Sandiaga
Baca: Kegalauan Soeharto Jelang Lengser Mei 1998, Penghianat yang Ditolak Pak Harto Sampai Mati
Dalam isian Supersemar, Soekarno selaku presiden Republik Indonesia menginstruksikan agar Pangkopkamtib Mayjen Soeharto 'mengambil tindakan yang dianggap perlu' untuk mengatasi situasi keamanan dalam negeri yang buruk kala itu.

Berbekal instruksi tersebut, Soeharto lantas bergerak melaksanakan perintah pemulihan keamanan.
Segala orang yang dianggap dekat dengan Bung Karno pun ditanyai perihal G30S/PKI oleh Soeharto.
Tak terkecuali istri Soekarno yang berasal dari Jepang, Ratna Sari Dewi Soekarno.
Namun Soeharto tahu tak akan mudah bertemu dengan Dewi Soekarno lantaran dirinya bak primadona Indonesia kala itu terlebih dirinya istri presiden.
Jadi Soeharto harus hati-hati dalam bertindak.
Maka Soeharto menyuruh Brigjen TNI Yoga Sugomo selaku asisten I (Intelijen) Kostrad bersama dengan Martono yang kelak menjadi Menteri Transmigrasi era Orde Baru untuk merancang pertemuan dengan Dewi Soekarno.
Rencananya, Soeharto dan Ratna Sari Dewi akan bertemu di lapangan golf Rawamangun, Jakarta Timur.
"Tidak mudah mengatur pertemuan itu karena Dewi adalah istri presiden. Oleh karena itu, diusulkan agar pertemuan dilakukan secara tidak resmi. Rencananya, Soeharto akan bertemu dengan Dewi di lapangan golf," kata Yoga yang ditukil dari biografinya, Jenderal Yoga : Loyalis di Balik Layar.
Tujuan pertemuan itu jelas, yakni mengorek informasi kebijakan juga kegiatan Soekarno sebelum detik-detik G30S/PKI terjadi.
Maka bertemulah keduanya di lapangan golf Rawamangun pada 20 Maret 1966.

Dewi kala itu tak sadar jika pertemuannya dengan Soeharto amatlah penting dan dirinya yakin Supersemar dapat mengendalikan situasi serta kepemimpinan Soekarno akan terus langgeng di Indonesia.
Namun ketika pertemuan dengan Soeharto tersebut Dewi menyadari kepemimpinan Soekarno sudah habis dan kalah.
Soeharto kemudian memberi tiga pilihan kepada Dewi agar dipilih oleh Soekarno : Pertama, segera cabut keluar negeri untuk istirahat tanpa ada lagi urusan politik di Indonesia.
Kedua, tetap di Indonesia tapi sebagai presiden yang tak lagi punya wewenang alias sebutan saja.
Ketiga, Soekarno mengundurkan diri secara total sebagai presiden.
"Belakangan Dewi memberi kesaksian kepada saya bahwa begitu mendengar tiga opsi saran Soeharto itu, dia baru menyadari bahwa dia dan suaminya telah kalah dalam permainan," kata Aiko Kurasawa seorang sejarawan asal Jepang.
Baca: Debat di tv One Mahfud MD Bantah Fadli Zon Soal Garis Keras, Mahfud MD: Maksud Saya Bukan Begitu
Baca: Sederet Artis Cantik Ini Dikabarkan Melengang ke Senayan jadi Anggota DPR RI, Siapa Saja Mereka?
Baca: Hardiknas 2019 - 7 Kisah Viral Guru Indonesia, Mulai dari Honor Rp 75 Ribu Hingga Dituntut Siswa
Jika Soeharto berhasil memberikan tiga pilihan kepada Soekarno maka lain pula nasibnya ketika harus berhadapan dengan istrinya, Siti Hartinah atau ibu Tien Soeharto.
Ibu Tien tahu jika Soeharto bertemu secara diam-diam dengan Dewi Soekarno, ia dibakar api cemburu.
Walhasil Ibu Tien mendiamkan Soeharto beberapa hari lantaran ulah suaminya itu.

"Aduh, buat apa sih dipertemukan segala. Itu Bu Harto jadi marah," kata Probosutedjo, adik Soeharto.
Bukan hanya itu, Soekarno juga mengetahui pertemuan tersebut dan marah karena mengira Soeharto hendak menculik Ratna Sari Dewi.
"Tidak jelas mengapa rencana yang sudah diatur sangat rahasia itu bocor. Tentu saja, info tersebut sampai kepada presiden dengan penafsiran yang sudah keliru," kata Yoga Sugomo.(Seto Aji/Gridhot.ID)
Lapar dan Kesepian, Soekarno: Nasi Kecap Aja Saya Mau
Dipuja-puja saat masih berkuasa, siapa sangka Soekarno meninggal dalam kondisi kesepian.
Saat menjadi Presiden, Soekarno begitu dielu-elukan.
Bung Karno begitu disegani baik di dalam dan luar negeri.
Di era revolusi kemerdekaan Indonesia suara lantang Soekarno membuat risih kuping pemerintah Belanda.
Di era perang dingin Soekarno juga membuat gerah Amerika Serikat dengan komentar-komentarnya.
Namun di akhir kekuasaannya keadaan berbalik 180 derajat.
Soekarno ditinggalkan oleh orang-orang yang pernah mengelu-elukannya.
Tanggal 21 Juni 1970, 15 hari setelah merayakan ulang tahunnya ke-69 tahun, Bung Karno meninggal dunia.
Namun, meski memiliki banyak predikat 'agung' sebagai salah satu tokoh terbesar bangsa Indonesia, Bung Karno menjalani masa tuanya dalam penderitaan sebagai tahanan politik Orde Baru.

Beriktu ini sebuah kisah tragis mantan Presiden Soekarno di masa akhir kepemimpinannya.
Kisah ini dicuplik dari buku berjudul "Maulwi Saelan, Penjaga Terakhir Soekarno" terbitan Penerbit Buku Kompas 2014 dan ditulis oleh Asvi Warman Adam, Bonnie Triyana, Hendri F. Isnaeni, M.F. Mukti
Pada suatu pagi di Istana Merdeka, Soekarno minta sarapan roti bakar seperti biasanya.
Langsung dijawab oleh pelayan, “Tidak ada roti.”
Soekarno menyahut, “Kalau tidak ada roti, saya minta pisang.”
Dijawab, “Itu pun tidak ada.” Karena lapar, Soekarno meminta, “Nasi dengan kecap saja saya mau.”
Lagi-lagi pelayan menjawab, “Nasinya tidak ada.”
Akhirnya, Soekarno berangkat ke Bogor untuk mendapatkan sarapan di sana.
Maulwi Saelan, mantan ajudan dan kepala protokol pengamanan presiden juga menceritakan penjelasan Soekarno bahwa dia tidak ingin melawan kesewenang-wenangan terhadap dirinya.
“Biarlah aku yang hancur asal bangsaku tetap bersatu,” kata Bung Karno.
Di saat lain, setelah menjemput dan mengantar Mayjen Soeharto berbicara empat mata dengan Presiden Soekarno di Istana.
Maulwi mendengar kalimat atasannya itu, ”Saelan, biarlah nanti sejarah yang mencatat, Soekarno apa Soeharto yang benar.”
Maulwi Saelan tidak pernah paham maksud sebenarnya kalimat itu.
Ketika kekuasaan beralih, Maulwi Saelan ditangkap dan berkeliling dari penjara ke penjara.
Dari Rumah Tahanan Militer Budi Utomo ke Penjara Salemba, pindah ke Lembaga Pemasyarakatan Nirbaya di Jakarta Timur.
Sampai suatu siang di tahun 1972, alias lima tahun setelah ditangkap, dia diperintah untuk keluar dari sel.
Ternyata itu hari pembebasannya.
Tanpa pengadilan, tanpa sidang, namun dia harus mencari surat keterangan dari Polisi Militer agar tidak dicap PKI.
“Sudah, begitu saja,” kenangnya. (Yoyok Prima Maulana)